Senin, 21 Desember 2015

Euforia Demokrasi, Bencana Gempa


                                                   Oleh: Nurkholis
                                                        (Jurnalis)


     Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung di Kabupaten Halmahera Barat (HalBar) Provinsi Maluku Utara telah usai. Sepekan sebelum memasuki waktu pemilihan yang jatuh pada Rabu 9 Desember 2015, cukup menarik perhatian masyarakat. Mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua. Semua terbawa larut dalam "euforia pesta rakyat" tersebut. Magnet demokrasi yang berbarengan dengan musibah gempa bumi yang terjadi sejak Senin 16 November 2015 kemarin seolah merubah paradigma masyarakat atas dinamika kepolitikan yang lebih berskala nasional dibandingan dengan efek bencana yang mengamburadulkan ratusan rumah warga setempat.

Apakah pantas euforia yang hadir di tengah-tengah bencana?. Sedikit melihat keluar, para artis ibukota melacur suara, gemulai dengan goyangannya dibawa panji-panji partai. Sorak pendukung begitu semarak, seolah amnesia dengan kejadian alam yang baru saja terjadi. Entah uang menutup mata mereka, atau suara artis menutup telinga mereka. Para korban bencana alam (gempa) hanya bisa mendengar dan menontonnya dibalik tenda-tenda pengungsian.

Ada beberapa nilai yang dapat dipetik, bahwa nurani masyarakat Maluku Utara sampai saat ini seolah belum mampu terkontrol. Politik crime masih menjadi penyakit lama yang kronik tak tersembuhkan. Mulai dari money politic of transaction, hedonist campaign of politic, hingga bullying crime/intimidation people membuat masyarakat mustahil peka dengan keadaan sekitar. Sebab, percuma saja kita berbicara agama tapi hati tidak seputih agama, percuma kita bicara norma, tapi nyatanya, norma punya prioritas persepsi. Apakah ini tanda ambruknya peradaban manusia secara fundamentalistik nurani di Maluku Utara?. Menjadi sebuah keheranan bagi penulis adalah, satu ras yang tak lain adalah saudara kita sendiri merintih dengan doa dan harapan, sedangkan persoalan politik (Pilkada 2015) sama prioritasnya dengan bencana. Masyarakat dan politisi tak jauh beda, dan nyaris tak bisa dibedakan.

Mungkin, terlambat untuk menginterfensi sebab, menduduki jabatan sentral selama lima tahun berjalan dinilai cukup bergengsi, maka keseriusan dalam melihat momen ini cukup penting bagi mereka. Suatu kelaziman yang tabu di negeri ini. Pertanyaan awam pun mengalir seiring luka nestapa yang melanda daerahnya, apakah dengan melalui berbagai tahapan dalam bersaing merupakan niatan untuk kesejahteraan warga, ataukah sebagai alibi untuk penguatan elit penguasa. Semua bisa terjawab untuk pemimpin hari esok. Sebab, empat kandidat dari masing-masing pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam memperebutkan kursi nomor satu untuk periode 2015-2020 di daerah tersebut adalah penentu terhadap masa depan HalBar kedepan.

Kita tidak pernah tahu bahwa, energi api akan menghanguskan apa saja jika kita tidak bereksperimen dengan menyodorkan suatu benda. Analogi sederhana dari penulis dalam merefleksikan kepemimpinan kemarin dengan pendekatan empirisme/pengalaman. Secara realitas, pembangunan apa yang telah tertata sesuai rencana?. Kondisi infrastruktur, baik sarana pendidikan maupun sarana penunjang lainnya, Sumber Daya Masyarakat (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), semua masih jauh dari harapan dan kenyataan yang pernah dipidatokan. Tidak terlepas dari itu, penulis coba menyinggung sumber anggaran dari para paslon yang dimana, belum terpublis secara terperinci atas keberadaannya. Dengan mencari kerelevansian, sedikit studi kasus yang dibeberkan penulis atas persoalan yang terjadi di sekolah-sekolah.

Sewaktu penulis bertandang di salah satu sekolah, tepatnya di bagian pedalaman Halmahera Barat, terlihat adanya kekurangan guru. Terkait minimnya guru sebenarnya menurut penulis, guru tidak kurang. Kalaupun kurang tidak terlalu parah. Namun, persoalan sekarang, pendidikan di daerah dijadikan konsumsi politik bagi penguasa. Persoalan guru di daerah-daerah, hanyalah biasan dari politik. Kita sering melihat, di daerah seringkali terjadi mutasi. Selain karena kebutuhan yang biasa disebut pemerataan, misalnya mutasi atas permintaan sendiri, promosi jabatan dan atau, mendapat jabatan. Disamping itu, adanya mutasi karena intimidasi. Penulis berikan sedikit contoh, misalnya ada proyek yang diterima oleh sekolah. Tarulah membangun ruang belajar. Tim-tim sukses berupaya untuk proyek itu dipegang oleh mereka. Padahal, sesuai aturan, dana-dana renovasi sekolah masuk dalam sewa kelolah. Namun usut punya usut, apabila ada sekolah yang tidak mau, maka dia akan dilapor ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD), untuk selanjutnya memindahkan orang yang bersangkutan ke tempat yang jauh (Fakta lapangan hasil pengamatan penulis yang dikutip dari sejumlah sumber).

Terlebih lagi kebanyakan sekolah di daerah hanya bertahan dengan dana BOS yang disaring dari APBD, dan kalaupun semua telah dicernakan sesuai prosedur, kadangkala perjalanan anggaran tidak sampai ke sekolah. Inilah yang perlu dijadikan sebagai tugas utama untuk pemimpin kedepan. Berdasarkan aturan yang ada, untuk sekolah dasar (SD), idealnya Sembilan guru. Namun pada saat mutasi, katakan hanya enam guru yang ia mutasikan, sementara yang masuk tidak ada, sehingga inilah yang kadangkala dalam sebuah sekolah hanya empat hingga lima guru yang terlihat aktif mengajar, dan kejadian seperti ini lebih banyak dijumpai di daerah-daerah terpencil sebagai target utama yang ditutupi ke publik. Sementara mutasi dengan alasan pemerataan, kadangkala dia tidak melakukan pengkajian terhadap guru permata pelajaran dalam setiap sekolah. Namun hanya untuk balas dendam terhadap guru bersangkutan yang kemungkinan pada saat Pilkada, Pilwalkot, Pilgub, dan atau PiL - PiL lainnya, dia tidak termasuk dalam tim sukses yang bersangkutan, sehingga dengan alasan pemerataan, sang guru akhirnya dimutasi.

Maka dari itu, dengan harapan besar, usaikanlah agenda yang tak humanis ini. Kembalikan kesadaran masyarakat yang madani dalam kepekaan mereka secara soal. Kami berharap.(*)

Catatan: Opini ini diterbitkan di Media Cetak Harian Posko Malut, Senin (21/12/2015)

Jumat, 04 Desember 2015

Agama Dalam Agama

  

                                              Oleh: Nurkholis


       Dalam setiap sisi kehidupan suatu masyarakat, kita senantiasa diperhadapkan oleh berbagai bentuk kepercayaan yang sudah pada fase kesimpulan (permukaan). Namun, sedikit dari kita yang menelaah lebih jauh tentang sebab dari terpeliharanya kepercayaan itu. Tujuan untuk menemukan pembenaran bukan untuk meledeknya, tetapi sekedar menambah pengetahuan terhadap apa yang mesti kita hindari.

Terkadang, dinamika kepercayaan dari sebuah masyarakat senantiasa mempersempit ruang pemikiran untuk dikaji secara rasional bagi kita yang terpelajar. Sebab suatu kepercayaan yang telah tertanam kuat, akan mengakar dan terus tumbuh sesuai dengan bibit awal pemikiran yang telah ditanam tadi. Entah berupa cerita, mitos, atau apa, sehingga dampak dari pada ketakutan tadi melahirkan ke-ikhtiar-an manusia berikutnya dengan tetap menjaga untuk tidak dilanggar.

Namun jauh sebelum itu, Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firmannya; “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”QS, Al - Isra: 36.

Perkara ghaib mungkin tak dapat dikaji secara rasional, karena dia bersifat kasat mata, bahkan diluar dari kerja akal manusia. Namun bisa diilmiahkan dengan sudut pandang tertentu. Disini, saya coba mengunakan pendekatan Islam. Dalam Islam ada yang dikenal dengan ilmu Tarekat sebagai instrumen dalam mencapai ruang kejelasan tentang suatu kepercayaan. Mengambil arti dari ilmu tarekat sebagai 'jalan' adalah tahapan dalam menati. Diartikan secara harfiah berarti, orang yang sedang berjalan. Singkatnya, ia telah melewati sebuah tahapan yang juga menitikberatkan hukum-hukum kepercayaan dalam agama Islam (Ilmu Syariat). Namun, pada tahapan ini, terkadang manusia salah dalam melangkahkan tujuannya jika ia terlalu dangkal dalam memahami syariat sebagai landasan awal untuk menuju tiga tingkatan kedepan yakni, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat.

Pembahasan kematian adalah hal yang misteri bagi manusia dan menjadi kebesaran Tuhan dalam mengetahui tanpa diketahui oleh makhluk manapun, namun kematian selalu memberi tanda bagi mereka (manusia) yang dipilih oleh Tuhan atas perbuatan mulia yang mereka lakukan selama di dunia. Sedangkan manusia yang melihat realitas kematian, terkadang hanya mampu melahirkan cerita dengan selipan asumsi subjeknya jika sesuatu yang terjadi diluar dari biasanya. Bahkan celakanya, cerita kematian, fenomena alam selalu dikaitkan dengan hikayat turun temurun yang tak berdasar.

Islam sebagai suatu keyakinan tidak pernah menginterfensi setiap kepercayaan masyarakat. Ia hanya menyempurnakan pemahaman manusia tentang apa yang harus dipercayakan. Sedangkan dalam konteks agama, "Lakum diy nukum waliyadin: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" adalah suatu disiplin keyakinan tanpa mencampur adukan apa yang mesti diyakni, sebab agama telah di atur secara kompleks melalui teks maupun konteks kitab dari masing - masing agama. Walau, Al-Qur'an pada ayat - ayat selanjutnya, terdapat teks kalimat dalam bentuk ajakan dengan cara berfikir.

Ali Syariati dalam bukunya 'Agama VS Agama' menegaskan bahwa manusia sejak lahir hingga mati tetap dalam keadaan beragama (Agama dalam bentuk kepercayaan subjektif) sekalipun yang memilih jalan Atheis, mereka diklaim beragama oleh Ali Syariati. Karena Ali Syariati mengambil agama dalam konteks keyakinan. Maka, saya secara pribadi mendisertasikan "Agama dalam Agama".

Alasan memberi penggalan ini (Agama dalam Agama), karena melihat, masih banyak kepercayaan - kepercayaan baru yang timbul diluar dari garis kepercayaan dalam agama itu sendiri. Sehingga terbentuklah paradigma pemeliharaan terhadap kekuatan - kekuatan ghaib (pengkultusan) yang keluar dari koridor kekuasaan Tuhan.

Inilah alasan mengapa Rasululullah SAW dalam salah satu hadist: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam kami ini, sesuatu yang tidak ada dasar daripadanya, maka amalannya tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan berasal dari petunjuk kami maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim).

Namun, dinamika kepercayaan seperti itu tidak bisa kita persalahkan, atau menghakimi. Tuhan yang Maha Bijaksana telah berfirman: "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." QS. Al An'aam (6): 108.

Memang, agama tidak cukup untuk diartikan secara teks sanskerta (A-Tidak, Gama-Kacau). Sebab secara luas, ada sisi-sisi tertentu yang mengulas lebih mendalam lagi tentang mengapa manusia beragama?. "Annadha fatu minal iman: Kebersihan sebagian dari pada iman" tidak cukup untuk diartikan dalam praktek memungut kertas dan memasukkan kedalam tong sampah. Perintah "Udhuli islamu fiy kaffati" adalah sebuah kerelaan tentang mematuhi setiap ajaran yang disyariatkan.

Secara subjek, semua agama diyakini benar oleh penganutnya, namun secara objektif, diantara agama - agama yang ada, tentu ada agama yang mutlak kebenarannya. Dan, salah satu ungkapan filosofis masyarakat Ternate, "Adat Matoto Agama Madasar Kitabullah Se Sunnah Rasul," sangat relevan dengan salah satu penggalan hadist Nabi,"Sesungguhnya sebenar-benar perkataan itu adalah kitab Allah (Al-Quran). Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Muslim). Artinya, adat sebagai implementasi budaya yang berasal dari kekuatan berfikir manusia (Budi-berfikir, Daya-kekuatan) melahirkan aturan kehidupan manusia sehari - hari yang berlandaskan pada ajaran Agama (Islam) dengan berpedoman pada Al - Qur'an dan hadist Rasulullah SAW.(*)