Oleh: Nurkholis
(Jurnalis)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung di Kabupaten Halmahera Barat (HalBar) Provinsi Maluku Utara telah usai. Sepekan sebelum memasuki waktu pemilihan yang jatuh pada Rabu 9 Desember 2015, cukup menarik perhatian masyarakat. Mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua. Semua terbawa larut dalam "euforia pesta rakyat" tersebut. Magnet demokrasi yang berbarengan dengan musibah gempa bumi yang terjadi sejak Senin 16 November 2015 kemarin seolah merubah paradigma masyarakat atas dinamika kepolitikan yang lebih berskala nasional dibandingan dengan efek bencana yang mengamburadulkan ratusan rumah warga setempat.
Apakah pantas euforia yang hadir di tengah-tengah bencana?. Sedikit melihat keluar, para artis ibukota melacur suara, gemulai dengan goyangannya dibawa panji-panji partai. Sorak pendukung begitu semarak, seolah amnesia dengan kejadian alam yang baru saja terjadi. Entah uang menutup mata mereka, atau suara artis menutup telinga mereka. Para korban bencana alam (gempa) hanya bisa mendengar dan menontonnya dibalik tenda-tenda pengungsian.
Ada beberapa nilai yang dapat dipetik, bahwa nurani masyarakat Maluku Utara sampai saat ini seolah belum mampu terkontrol. Politik crime masih menjadi penyakit lama yang kronik tak tersembuhkan. Mulai dari money politic of transaction, hedonist campaign of politic, hingga bullying crime/intimidation people membuat masyarakat mustahil peka dengan keadaan sekitar. Sebab, percuma saja kita berbicara agama tapi hati tidak seputih agama, percuma kita bicara norma, tapi nyatanya, norma punya prioritas persepsi. Apakah ini tanda ambruknya peradaban manusia secara fundamentalistik nurani di Maluku Utara?. Menjadi sebuah keheranan bagi penulis adalah, satu ras yang tak lain adalah saudara kita sendiri merintih dengan doa dan harapan, sedangkan persoalan politik (Pilkada 2015) sama prioritasnya dengan bencana. Masyarakat dan politisi tak jauh beda, dan nyaris tak bisa dibedakan.
Mungkin, terlambat untuk menginterfensi sebab, menduduki jabatan sentral selama lima tahun berjalan dinilai cukup bergengsi, maka keseriusan dalam melihat momen ini cukup penting bagi mereka. Suatu kelaziman yang tabu di negeri ini. Pertanyaan awam pun mengalir seiring luka nestapa yang melanda daerahnya, apakah dengan melalui berbagai tahapan dalam bersaing merupakan niatan untuk kesejahteraan warga, ataukah sebagai alibi untuk penguatan elit penguasa. Semua bisa terjawab untuk pemimpin hari esok. Sebab, empat kandidat dari masing-masing pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam memperebutkan kursi nomor satu untuk periode 2015-2020 di daerah tersebut adalah penentu terhadap masa depan HalBar kedepan.
Kita tidak pernah tahu bahwa, energi api akan menghanguskan apa saja jika kita tidak bereksperimen dengan menyodorkan suatu benda. Analogi sederhana dari penulis dalam merefleksikan kepemimpinan kemarin dengan pendekatan empirisme/pengalaman. Secara realitas, pembangunan apa yang telah tertata sesuai rencana?. Kondisi infrastruktur, baik sarana pendidikan maupun sarana penunjang lainnya, Sumber Daya Masyarakat (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), semua masih jauh dari harapan dan kenyataan yang pernah dipidatokan. Tidak terlepas dari itu, penulis coba menyinggung sumber anggaran dari para paslon yang dimana, belum terpublis secara terperinci atas keberadaannya. Dengan mencari kerelevansian, sedikit studi kasus yang dibeberkan penulis atas persoalan yang terjadi di sekolah-sekolah.
Sewaktu penulis bertandang di salah satu sekolah, tepatnya di bagian pedalaman Halmahera Barat, terlihat adanya kekurangan guru. Terkait minimnya guru sebenarnya menurut penulis, guru tidak kurang. Kalaupun kurang tidak terlalu parah. Namun, persoalan sekarang, pendidikan di daerah dijadikan konsumsi politik bagi penguasa. Persoalan guru di daerah-daerah, hanyalah biasan dari politik. Kita sering melihat, di daerah seringkali terjadi mutasi. Selain karena kebutuhan yang biasa disebut pemerataan, misalnya mutasi atas permintaan sendiri, promosi jabatan dan atau, mendapat jabatan. Disamping itu, adanya mutasi karena intimidasi. Penulis berikan sedikit contoh, misalnya ada proyek yang diterima oleh sekolah. Tarulah membangun ruang belajar. Tim-tim sukses berupaya untuk proyek itu dipegang oleh mereka. Padahal, sesuai aturan, dana-dana renovasi sekolah masuk dalam sewa kelolah. Namun usut punya usut, apabila ada sekolah yang tidak mau, maka dia akan dilapor ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD), untuk selanjutnya memindahkan orang yang bersangkutan ke tempat yang jauh (Fakta lapangan hasil pengamatan penulis yang dikutip dari sejumlah sumber).
Terlebih lagi kebanyakan sekolah di daerah hanya bertahan dengan dana BOS yang disaring dari APBD, dan kalaupun semua telah dicernakan sesuai prosedur, kadangkala perjalanan anggaran tidak sampai ke sekolah. Inilah yang perlu dijadikan sebagai tugas utama untuk pemimpin kedepan. Berdasarkan aturan yang ada, untuk sekolah dasar (SD), idealnya Sembilan guru. Namun pada saat mutasi, katakan hanya enam guru yang ia mutasikan, sementara yang masuk tidak ada, sehingga inilah yang kadangkala dalam sebuah sekolah hanya empat hingga lima guru yang terlihat aktif mengajar, dan kejadian seperti ini lebih banyak dijumpai di daerah-daerah terpencil sebagai target utama yang ditutupi ke publik. Sementara mutasi dengan alasan pemerataan, kadangkala dia tidak melakukan pengkajian terhadap guru permata pelajaran dalam setiap sekolah. Namun hanya untuk balas dendam terhadap guru bersangkutan yang kemungkinan pada saat Pilkada, Pilwalkot, Pilgub, dan atau PiL - PiL lainnya, dia tidak termasuk dalam tim sukses yang bersangkutan, sehingga dengan alasan pemerataan, sang guru akhirnya dimutasi.
Maka dari itu, dengan harapan besar, usaikanlah agenda yang tak humanis ini. Kembalikan kesadaran masyarakat yang madani dalam kepekaan mereka secara soal. Kami berharap.(*)
Catatan: Opini ini diterbitkan di Media Cetak Harian Posko Malut, Senin (21/12/2015)