Sabtu, 23 Januari 2016

Kebebasan Pers, Kendali Penguasa dan Tanggungjawab Sosial


Oleh: Nurkholis
_______________
                                                                                       

           Sebelum memulai sebuah penjelasan tentang pendapat yang berpacu dari tema di atas, ada baiknya, penulis memberikan sedikit penjelasan tentang pengertian dari pers itu sendiri. Pers berasal dari perkataan Belanda yang artinya menekan. Kata pers merupakan kesepadanan dari kata press dalam bahasa Inggris yang juga memberi arti yang sama, menekan. Maka, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi dewasa ini, pers atau press digunakan untuk merujuk pada semua kegiatan kejurnalistikan yang dilakukan oleh wartawan dalam kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita.

Sebagaimana sendi-sendi kehidupan yang memiliki pengertian filsafat, dalam tulisan ini, penulis sengaja menyematkan filsafat yang tentunya tidak akan keluar dalam topik dari tema di atas (kebebasan pers, kendali penguasa, dan tanggungjawab sosial). Dalam buku Jurnalistik-Teori dan Praktek, penulis Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat menyatakan, pers pun memiliki filsafatnya sendiri. Sama halnya dalam buku Jurnalisme Modern, pada bagian ketiga tentang Filsafat dan Jurnalistik, yang ditulis langsung oleh Saidulkarnain Ishak. Walaupun pada prinsipnya mereka tetap memisahkan dua hal ini namun pada haikatnya, ujung tombak pemberitaan berlandaskan pada kebenaran (substansi informasi), bukan sekedar yang salah di benar-benarkan hanya karena mengejar oplah pendapatan.

Singkatnya, Filsafat dalam bahasa Inggris yakni philosophy dan Arab falasafah adalah sebuah pedoman yang berurusan dengan tata nilai, atau prinsip-prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan yang bersifat praktis. Falasafah pers disusun berdasarkan sistem politik yang dianut oleh masyarakat. Dimana, pers memiliki hubungan dengan kehidupan. Falasafah pers yang dianut bangsa Amerika berpaham liberalistis. Liberalistis dalam konteks Amerika jangan dipahami dengan bebas tanpa batas. Karena pemahaman ini sudah ditinggalkan Amerika sejak 1956. Walaupun, Amerika sendiri lebih menganut paham liberal. Sedangkan falasafah pers yang dianut Indonesia dengan sistem politik demokrasinya sangat berlainan dengan falasafah pers yang dianut Myanmar yang sarat akan materialistis.

Berbicara falasafah pers, terdapat sebuah buku klasik mengenai hal ini, yaitu 'empat teori tentang pers'. Buku ini ditulis oleh Siebert, Peterson, dan Schramm, lalu kemudian diterbitkan oleh Universitas Illinois pada tahun 1956. Dari karya ini, pada tahun 1980, muncul teori baru tentang tanggungjawab sosial dalam komunikasi massa yang dipelopori oleh Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka berjudul Responsibility in Mass Communication. Baik Siebert maupun Rivers, pada prinsipnya, keduanya sama dalam mewakili pandangan Barat yang pada dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat. Ketiga cara tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia yaitu negara, kebenaran, dan perilaku moral. Hanya saja, bagi Siebert, ketiga cara tersebut merupakan landasan untuk lahirnya empat teori tentang pers. Sedangkan bagi Rivers, menjadi konsep dasar untuk mengembangkan teori baru tentang tanggungjawab sosial dalam komunikasi massa.

Dalam teori pers, pada dasarnya merupakan perkembangan dari teori libertarian yang tidak terlalu jauh beda dengan teori tanggungjawab sosial dalam buku empat teori tentang pers. Hanya saja, perlu diketahui bahwa penerimaan atas teori Rivers ini didukung oleh kecurigaan dan ketidakpuasan orang terhadap libertarianisme dan jurnalisme yang terlalu pers-sentris. Dalam buku klasik tersebut banyak memaparkan pandangan normatif dari Siebert, tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe masyarakat. Dari asumsi dasar mereka adalah bahwa, pers selalu mengambil bentuk dan warna struktrual sosial dan politik dimana ia beroperasi. Sehingga berdasarkan sistem dasar sosial dan politik yang berlaku di dunia itulah sehingga dikembangkanlah empat teori tentang pers tersebut.

Teori pertama dalam buku tersebut yakni Teori Pers Otoriter, yang diakui sebagai teori pers paling tua yang hadir dari abad-16. Ia berasal dari falasafah kenegaraan yang membela kekuasaan secara absolut. Penetapan tentang hal-hal yang benar, dipercayakan hanya kepada segelintir orang bijaksana yang dianggap mampu dalam memimpin. Maka pada dasarnya, pendekatan lebih dilakukan dari atas ke bawah (top down). Dimana, pers harus mendukung kebijakan pemerintahan dan mengabdi kepada negara. Para penerbit diawasi melalui paten-paten, izin-izin terbit, dan sensor. Menurut Siebert, konsep inilah yang kemudian menetapkan pola asli bagi sebagian besar sistem-sistem pers nasional dunia, dan itu masih bertahan hingga sekarang.

Jika dilihat dalam teori pers otoriter ini, negara seakan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Artinya, jika dipandang pembenaran negara dalam sudut kekuatan, siapa yang berkemampuan memiliki kekuatan maka, mereka akan mendapat kekuasaan, termasuk mengendalikan kebebasan pers. Lihat saja dinamika pers Indonesia selama 32 tahun (1965-1997) dibawah rezim Orde Baru Soeharto. Jenderal Soeharto yang berhasil mengambil alih kekuasaan atas kendali pemerintahan dan kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI ke-2 pada tahun 1967, mencanangkan untuk melaksanakan UU 1945 secara murni dan penuh konsekuen. Tetapi, pada pasal 28 konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat itu tetap saja tidak dijalankan secara konsekuen. Kebebasan pers Indonesia diwaktu itu seolah dipasung. Rambu-rambu untuk membatasi kebebasan pers seperti SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) untuk penerbitan pers dan sensor yang masih ditambah dengan praktek instansi militer yang sewaktu-waktu meminta ditangguhkannya pemuatan suatu berita hanya melalui telepon. Jika sebuah media tidak mematuhi permintaan tersebut maka, pemerintah dapat mencabut SIUPP media yang bersangkutan. Di bawa resim Orde Baru, pemerintah Indonesia begitu menganut sistem otoriter yang keras sekeras-kerasnya.

Seiring kebebasan politik, agama, dan ekonomi yang semakin tumbuh, maka hadir pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Sehingga hal inilah yang kemudian melahirkan teori baru yakni Libertarian Theory, atau Teori Pers Bebas, yang dimana teori ini mencapai puncaknya hingga di abad ke-19. Dengan lahirnya teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Sehingga teori inilah yang kemudian memberikan penekanan terhadap pers sebagai mitra dalam upaya pencarian kebenaran, bukan sebagai alat pemerintahan. Jadi, tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berdasarkan teori ini terjadi.

Di Indonesia sendiri, sejak masuknya era reformasi pasca dilengserkannya Soeharto dari kursi kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia pun kembali longgar. Di masa kepemimpinan B.J. Habibie, kran-kran kebebasan berpikir yang tidak dirintangi oleh rambu-rambu sensor, izin-izin, atau larangan-larangan melalui media massa mulai dibuka. Meskipun pada tahun 1975, mulai muncul lembaga SIT di Jakarta yang disebabkan kebijakan mutlak dari Pimpinan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Cabang Jakarta dengan mengusulkan kepada Pimpinan KMKB-DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) agar diberlakukannya izin terbit bagi penerbitan pers, yang dimana, pada waktu itu PWI merasa terganggu dengan bermunculan secara bebas penerbitan-penerbitan pers yang mencari keuntungan dengan menyiarkan berita dan tulisan-tulisan tentang seks, pembunuhan, gosip, dan sebagainya yang dinilai kelewatan batas.

Sebutan terhadap pers sebagai 'pilar kekuasaan keempat' setelah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi umum dan diterima dalam teori libertarian tadi. Tetapi dengan maksud, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah dalam upaya mencari kebenaran. Tentunya, semua gagasan harus dikembangkan sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan sedangkan sebaliknya akan lenyap.

John Milton dengan gagasannya tentang "proses menemukan sendiri kebenaran" dan "kebebasan menjual gagasan" menjadi sentral dalam teori pers bebas. Berdasarkan gagasan Milton ini, dalam sistem pers bebas (pers libertarian), pers dikontrol self-righting process of turth, lalu diperhadapkan dengan free market of ideas dan oleh pengadilan. Artinya, implikasi dari self righting process adalah bahwa, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan setiap orang punya akses yang sama untuk menuju ke sana.

Sangat diakui bahwa, teori pers bebas ini memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas tidak sekedar hadir sebagai sebuah substansi informasi, tetapi hadir dengan ratusan rubrik yang ditawarkan. Namun ironisnya, dibalik dari kebebasan itu, paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit pula mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Sebagian besar aturan-aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemiliknya sendiri. Singkatnya, pers semacam ini cenderung kurang sekali tertarik pada kepentingan masyarakat. Misalnya, penulis mengambil salah satu contoh dari sebuah peristiwa berupa bencana alam gempa bumi yang terjadi di Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, sejak 16 November 2015 kemarin, dimana, informasi yang diperoleh penulis berupa bantuan beras dari Badan Logistik (Bulog) sebanyak 2 ton ternyata rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi oleh penggungsi, hanya menghempas sejenak. Entah hal tersebut tidak terlepas dari intrik persaingan lawan politik yang bertepatan dengan pemilihan kepala daerah di wilayah tersebut namun, lagi-lagi wacana itu tersapu gelombang euforia pemilu. Barangkali penuturan dari Lord Northclife mengatakan bahwa, "News is anything out of ordinary: berita adalah segala sesuatu yang tidak biasa", sangat relevan dengan orang yang berada dibalik kasus beras rusak, bukan orang biasa. Ataukah, berita tentang sumber air Ake Gaale di Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara cukup disorot datar, karena orang yang berada dibalik bisnis tersebut bukan orang biasa, maka hal tersebut bukan berita. Ataukah memang warisan Orde Baru masih bersemayam di wilayah tersebut. Prasangka ini merupakan sebuah konsekuensi atas ketidaktransparannya fungsi informasi yang berasal dari segelintir orang yang kemungkinan paham akan kinerja pers.

Dalam salah satu teori, yaitu 'Teori Pers Bertanggungjawab Sosial'. Teori ini diturunkan sebagai sebuah modifikasi dengan penjabaran berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam pers libertarian, para pemilik dan operator pers paling intens dalam menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan dan dalam versi apa. Teori pers libertarian diklaim tidak berhasil memahami masalah-masalah seperti proses kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab sosialnya ini kemudian diformulasikan secara jelas pada tahun 1949 dalam laporan, "Commission on the Freedom of the Press" yang diketuai oleh Robert Hutchins. Maka, dibentuklah sebuah komisi yang terkenal dengan sebutan Hutchins Commission dengan mengajukan 5 prasyarat sebagai syarat bagi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat. (Lihat: John C. Merril, Journalism Ethics - Philosophical Foundations for News Media, St. Martin's Press, New York, 1997).

Teori pers bertanggungjawab sosial itu merespon pendapat bahwa orang dengan sia-sia mengharapkan adanya pasar media yang mengatur dan mengontrol sendiri sebagaimana digembargemborkan oleh pendukung teori pers libertarian. Dalam fungsi pers libertarian, fungsi ganda media massa yang dimiliki oleh perusahaan swasta, yaitu untuk mencari keuntungan dan melayani para peng-iklan mereka ketimbang melayani publik yang dipenuhi secara sepihak. Sehingga, Lazarferld dan Merton mengatakan, "perusahaan besar membiayai produksi dan distribusi media massa dan di atas segala-galanya, dia yang menanggung biaya dialah yang menentukan semuanya,".(Lihat: P.F. Lazarsfeld dan R.K. Merton, Mass Communication, Populer Taste and Organized Sosial Action, dalam Wilbur Schramm, Urbana, III, 1947). Masih dalam tulisan yang sama, keduanya memberikan ciri pada fungsi-fungsi media dalam masyarakat bahwa, "karena media massa kita yang disponsori secara komersial itu mempromosikan kesetiaan tanpa berpikir kepada struktur sosial kita, media massa ini tidak dapat diandalkan bekerja untuk perubahan, bahkan perubahan kecil pun dalam struktur tersebut."

Memang, teori 'pers bertanggungjawab sosial' ini masih relatif teori baru dalam kehidupan pers di dunia. Tidak seperti teori pers bebas (libertarian). Teori ini memungkinkan dimilikinya tanggungjawab oleh pers yang padahalnya, dengan teori ini juga pers memberikan banyak informasi dan penghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan. Sebagaimana fungsi pers sendiri yang menjadikan manusia sebagai objek informasi dalam komunikasi, selain dia harus mendapatkan informasi, disamping itu dia harus memberikan informasi kepada orang lain. Semestinya, tugas dan fungsi kontrol pers dalam ruang pemerintahan adalah masuk dibalik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintahan dan atau perusahaan (investigatif). Pers harus memberitakan apa yang berjalan dengan baik dan tidak baik. Fungsi "watchdog/anjing penjaga" atau fungsi kontrol ini harus dilakukan dengan lebih aktif dan tentunnya, tetap berpedoman pada kode etik yang diberlakukan. Sebab, media yang lebih informatif tidak akan pernah kehilangan pembaca seiring nilai kebenaran yang diberitakannya, ketimbang media yang melacur suara demi keuntungan yang berslogan terpercaya.

______________

Sumber referensi:

*https://id.m.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru
*https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_pers
*http://sejarahdoloe.blogspot.co.id/2014/04/pers-sejarah-pers-di-          indonesia.html
*Buku Jurnalisme Modern. Penulis; Saidulkarnain Ishak.
*Buku Jurnalistik, teori & praktik. Penulis; Hikmat Kusumaningrat dan       Purnama kusumaningrat.
*Buku Ilmu Negara, penulis; Prof. H. Abu Daud Busroh, S.H.
*http://pinisijuanga.blogspot.co.id/2015/11/pengguna-jalan-tersentuh-bencana-alam.html
*http://pinisijuanga.blogspot.co.id/2016/01/lambat-menangani-persoalan-sumber-air.html

Selasa, 12 Januari 2016

Rekam Jejak : Catatan dari SJI PWI Sulsel 2013:

               
                                Mengagumkan dan Bersahabat

                                       Oleh: Nurkholis Lamaau
(Wartawan Tabloid Lintas Makassar / Wartawan Harian Ujungpandang Ekspres Makassar / Pengelolah Media Online Pinisi Juanga Makassar

     Mengagumkan dan bersahabat. Sebuah ungkapan yang pantas untuk mengawali tulisan ini. Sedikit kesan yang tersimpan di dalam hati, saat mengikuti Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Angkatan II Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulsel, di Gedung PWI Sulsel, Jl AP Pettarani 31, Makassar, 12-23 November 2013.

Bertemu dengan peserta dari berbagai media cetak, media elektronik, dan media online, dalam satu ruangan memberikan kesan tersendiri. Ditambah lagi dengan pengalaman dan karakter dari masing-masing pemateri, sangat mengundang decak kagum bagi para peserta.

Profesional, ketangguhan, serta disiplin dan kemauan yang tinggi, mampu membangkitkan semangat bagi para peserta. Serasa, patut untuk di tiru.

Pre-tes yang diberikan oleh tiap pemateri sebagai uji kemampuan awal, sedikit membuat bingung para peserta, karena banyak hal yang belum diketahui oleh peserta SJI ini.

"Materi yang membuat saya berpikir keras adalah materi feature yang dibawakan oleh ibu Artini," kata Khaerudin, perwakilan media Daulat Rakyat, yang ditemui selepas penutupan.

Awalnya, kata Udin-sapaan akrab Khaeruddin-dirinya mengira kalau feature adalah sebuah berita berupa gambar dengan sedikit keterangan yang singkat.

"Namun setelah diberikan sedikit pemahaman menyangkut feature dari pemateri, barulah saya sedikit paham, bahkan membuat saya lebih rajin untuk menulis dengan gaya feature," katanya.

Sejalan dengan apa yang telah diberikan pemateri berupa pengetahuan jurnalistik pada umumnya, di akhir materi diberikan post-test untuk menguji kembali para peserta SJI sampai sejauh mana pengetahuan mereka setelah mendapatkan pemaparan dari masing-masing pemateri.

Ada yang menarik dari kegiatan ini, yaitu suasana tegang pada dua hari terakhir sebelum penutupan. Beberapa teman peserta saling bertanya, apakah mereka akan lulus atau tidak. Pertanyaan lain yang muncul yaitu, kira-kira berapa banyak yang tidak lulus, dan seterusnya.

Menjawab berbagai pertanyaan tersebut, Dedi Kurniawan, perwakilan tabloid Kibar Indonesia dan sekaligus sebagai Ketua Kelas SJI Angkatan II, langsung memberikan support kepada teman-teman.

"Ayo semangat kawan-kawan. Jangan patah semangat. Yang penting rajin hadir, kerjakan tugas-tugas yang diberikan pemateri, dan banyak belajar," katanya dalam dialek Medan.

Beberapa saat sebelum penutupan, Sabtu, 23 November 2013, Wakil Ketua PWI Sulsel yang bertindak selaku Kepala Sekolah SJI Angkatan II PWI Sulsel, Ismail Asnawi, mengumumkan bahwa dari 40 peserta SJI, hanya 29 orang yang dinyatakan lulus, sedangkan 11 peserta tidak lulus.

Peserta terbaik I atas nama Rahmawati (Media Online UIN Alauddin), terbaik II Ahmad Mubaroq (Majalah Akselerasi dari UMI), sedangkan peserta terbaik ketiga atas nama Asmiwati (Majalah Almamater).

Wakil Ketua PWI Pusat yang juga Ketua Yayasan SJI PWI, Marahsakti Siregar, mengimbau para peserta SJI agar terus-menerus belajar dan tidak sombong dengan ilmu pengetahuan jurnalistik yang diperoleh dari SJI PWI.

Sementara Ketua PWI Sulsel Zulkifli Gani Ottoh, memanfaatkan acara penutupan untuk bercanda dengan para peserta SJI.

"Kalau pulangki nanti ke rumah masing-masing, itu medali yang sudah dikalungkan di leher kalian, gantung di dalam kamar kalian masing-masing. Biar teringat terus, bahwa inilah bukti kalau saya pernah ikut SJI," katanya yang langsung disambut tawa para peserta SJI.

Seusai penutupan, para peserta foto bersama dengan pengurus PWI dan para pemateri. Teman-teman peserta tak henti-hentinya saling memotret dengan menggunakan kamera yang dibawa beberapa peserta. Terlihat sejumlah peserta berpose dengan berbagai maca gaya.

Tidak puas dengan pemotretan di dalam ruangan, mereka kemudian berpindah di depan kantor PWI untuk melakukan pemotretan rombongan sebagai kenang-kenangan.

Semoga ilmu dan pengalaman yang telah kami peroleh selama mengikuti SJI, dapat membuka wawasan perpikir kami untuk terus menerus belajar dan menghasilkan karya-karya jurnalistik.(*)