Minggu, 28 Februari 2016

Lelaki, Perempuan, Celana Robek dan Perjuangan Gender


                          
                                                Oleh: Nurkholis

        Akhir-akhir ini, sebagian perempuan di negeri ini cukup aktif dalam mengampanyekan muatan gender berupa sobekan pada celana panjang, tepat di bagian lutut. Sukar dipungkiri bahwa perjuangan mereka sebatas ekspresi gundah gulana. Mereka tidak ingin celana robek di bagian lutut menjadi penanda sejati kaum lelaki. Isu kesetaraan gender pun ingin melibatkan soal style/gaya para lelaki. Celana robek-robek dalam pandangan mereka, tidak lagi domain kejantanan yang hanya didominasi lelaki. Toh sejak mengenakan celana robek-robek di dunia kampus, didapati pula para lelaki yang tampil jantan dengan celana robek-robek.

Celana Robek dan penegasan kelas nampaknya menggoda sebagian kaum perempuan untuk mengikutinya. Tidak sekadar meniru, bahkan mereka sejak lama secara sadar masuk dalam industrialisasi brand (merek) lewat taburan iklan. Lihatlah betapa banyak iklan fasion yang diperankan wanita-wanita Eropa menyuratkan sisi maskulin yang selalu melibatkan perempuan cantik dan seksi. Perempuan menjadi komplemen wajib dari hadirnya pejantan dalam sehelai benang. Hal ini seolah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Awalnya mungkin hanya menjadi figuran iklan, tapi lambat laun berubah menjadi gaya hidup. Glamorisme iklan niscaya menyertakan gaya hidup yang kemudian termanifestasikan dalam kesan dan citra. "Aku mengenakan celana robek-robek maka aku bergaya hidup". Yah, semacam adagium yang hadir, seiring larutnya perempuan dalam kapitalisasi tubuh dan gaya hidup. Maka, gaya para lelaki pun menjadi tiruan yang ampuh untuk mensejajarkan diri. Saat yang sama, pesona sobekan di sisi perempuan malah dilihat sebagai alat untuk perjuangan kelas dan gender. Jadilah gaya hidup yang kemudian mengideologi sebagai kesadaran menyetarakan diri dalam jagat materi.

Menolak bergaya sebagai ciri khas pria sejatinya logis saja. Mana mungkin simbol perjuangan kelas dan gender perempuan diklaim hanya milik pria. Padahal, celana robek-robek dalam kesehariannya sendiri memiliki fungsi praktis dan simbolis yang sudah lama melekat. Secara praktis mungkin saja kejantanan layak diperdebatkan bila hanya milik styles lelaki. Tapi, dalam praktis keseharian di negara kita misalnya, celana robek dari lelaki identik dengan kehidupannya yang tak perduli diri.

Celana robek-robek bagi kaum lelaki sering dianggap berfungsi sebagai kejantanan hingga hal tersebut semacam doping kala berhadapan dengan perempuan. Bahkan pada sebagian lelaki, celana robek sebagai candu wajib agar jiwa terus dilirik. Jiwa seolah hampar bahkan tak memiliki estetika apabila celana tidak dirobek. Demikianlah anggapan yang berkembang luas, bahkan diyakini jadi ideologi para lelaki bercelana robek.

Identitas styles itulah yang coba diimitasi oleh sebagian perempuan fasion, terutama yang aktif mengikuti trend. Bagi mereka, fungsi ideologis celana robek ini, berhak dikenakan perempuan. Bagaimanapun juga, dalam alam kesetaraan gender karakter ketidakpedulian menilai diri dari seorang lelaki bukan monopoli lelaki semata.

Di sisi lain, celana robek secara abstraksi juga memiliki nilai simbolis dan nilai ini sudah tabu di alam bawah sadar. Celana robek dalam kajian simbol, identik dengan kejantanan dalam arti organ genital lelaki. Sudah tentu, wilayah ini eksklusif dan tidak dapat direbut perempuan. Meskipun begitu, ada upaya di kalangan perempuan pencinta sesama jenis untuk menggunakan celana robek sebagai perantara maskulinitasnya.

Karena celana robek sebagai simbol genital lelaki, sangat mudah memahami bila iklan-iklan yang bertebaran sejatinya tidak hanya melibatkan unsur styles lelaki, tetapi juga superioritas lelaki secara percintaan. Celana robek mewakili genital lelaki, sementara perempuan direpresentasikan dalam bentuk berjalan lengak-lenggok indah menggoda. Sadar ataupun pura-pura, perempuan-perempuan tertentu, terutama gadis muda memainkan imajinasi lelaki dengan permainan tanda lewat cara mengapit betis dan memainkan gerak langkahnya dari sisi kulit yang terlihat. Praktik tanda ini disengaja untuk menarik objek yang disasar, entah satu ataupun ribuan.

Sebelum ada kesepakatan bahwa celana robek juga berhak dikenakan perempuan, generasi yang lahir sebelum era 1990-an ataupun media sosial masif dipakai pasti paham bagaimana permusuhan pencitraan khalayak pada citra perempuan. Dengan cara berpakaian seperti ini tentu biasanya di stigma nakal, liar, jalang, penggoda, atau minimal rumah tangganya tidak beres. Perempuan bergaya seperti ini banyak disimpulkan sebagai sosok tidak bermoral.

Citra-citra buruk itulah yang ingin diubah belakangan ini yang sayangnya, malah perilaku hidup perjuangannya nyaris setemali. Nyaris kehidupan bebas lepas menjadi kiblat, kendati dibungkusi label perjuangan kearifan membawa-bawa isu iklan dan dominasi asing. Para perempuan itu lupa bahwa selagi mereka masih mengkonfirmasi tanda-tanda yang melawan kodrat ketimuran yang tradisional, maka bersiaplah untuk dicurigai. Di ranah media mungkin mereka sudah dibantu, tapi tidak demikian di dunia nyata.

Belum lagi citra-citra sebagai simbol kemandirian lelaki yang dipakai malah kerap tumpang tindih dengan pesona kemesuman yang dilakukan sebagian perempuan. Amat berbeda para perempuan tua yang mengenakan pakaian disulam kain tetapi tetap saja dinilai si fakir miskin.

Celana robek bagi perempuan tua hanyalah musibah karena digigit tikus dan atau dimakan waktu sehingga disegerakan untuk ditambal/disulam. Ketika ditawarkan penggantinya berupa kebaya/rok atau minimal, celana yang tidak ada robeknya, tentu mereka menerima. Lain halnya dengan perempuan yang sadar tanda (semiotika). Mana ada keseksian yang ingin dihadirkan dengan kebaya atau rok. Tentu tidak seksi.

Gerakan tubuh yang dilakukan perempuan bercelana robek sejatinya menandai siapa dirinya. Dan itulah yang dikehendaki mereka. Maka, ketika ada perempuan yang tadinya dilihat baik-baik bercelana robek, maka gambaran-gambaran buruk bertebaran sana-sini. Karena melihat gaya mereka dengan celanannya yang robek sudah menjelaskan siapa mereka.(*)