Rabu, 11 Mei 2016

Islam dan Ilmu Pengetahuan Teknologi

Perpaduan Konsep Islam Dalam Menghadapi Arus Teknologi Informasi

Oleh : Nurkholis

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang informasi dan komunikasi sunguh mengagumkan. Revolusi informasi di abad modern ini ditawarkan sebagai suatu rahmat besar bagi ummat manusia. Revolusi informasi juga mampu mengubah masyarakat secara radikal menjadi suatu masyarakat yang tercerahkan. Penjajahan informasi dan penyebaran informasi besar-besaran melalui TV, Radio, Surat kabar, Majalah, dan sebagainya begitu agresif. Kemajuan teknologi informasi seolah membawa kita ke suatu lompatan panjang ke arah peradaban yang lebih tinggi. Sehingga boleh dikata, hampir semua negara di dunia ini terlanda arus revolusi informasi, dan dinamakan juga abad ini " Abad informasi ".

Tidak lepas dari ini, negara-negara dibelahan dunia lainnya, khususnya negara Muslim, ikut juga menikmati kemajuan teknologi informasi yang kian membanjir. Padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan kepentinganya, dan bahkan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya negeri Muslim itu sendiri. Karena ketidaksesuaian itu ternyata berakibat, abad informasi bukan lagi rahmat, tetapi penyakit baru. Bagi masyarakat barat ia telah menghasilkan sejumlah problem, yang dimana, pemecahan terhadapnya terbukti tumpul bagi masyarakat Muslim.

Entah dengan hadirnya dunia teknologi informasi adalah jalan untuk mengefisiensi jarak komunikasi antar sesama, ataukah sebuah rekayasa dalam menelanjangi batas-batas moralitas. Kita tentu dilematis ketika diperhadapkan dengan berbagai macam kecanggihan dunia teknologi saat ini. Akibatnya, kita sedikit kesulitan dalam memecah substansi dari nilai guna teknologi tersebut.

Pandangan Yasraf Amir Piliang dalam bukunya 'Dunia Yang Dilipat' bahwa, saat ini kita sedang berada dalam sebuah zaman yang mengalami perubahan serba 'supercepat'. Gaya hidup supermodern di negara-negara maju dengan amat mudah dapat kita rasakan setiap saat, jam, dan hari. Melalui apa?!, tentu melalui Televisi, Handphone/seri tablet, Laptop, dan lain-lain sebagainya.

Sebuah dunia yang dilipat, kata Yasraf. Kini siapapun dapat menyaksikan dan memandang dunia secara keseluruhan. Negatifnya, representatif dari berbagai pertunjukan yang ditonton tersebut kemudian dijiwai dalam diri tanpa ada filterisasi. Ya.! Kehidupan yang baru. Maka pada prinsipnya, segala tindakan bersifat instan, cepat, dan tak menentu. Hal itu, kini menjadi suatu asupan yang wajib untuk dikonsumsi.

Arus informasi yang begitu cepat dari berbagai sumber dan kepentingan akhirnya kemudian akan membentuk paradigma dan keperibadian konsumennya, utamanya para remaja. Kemudian belum lagi dengan tayangan-tayangan televisi yang sekuler (seperti film barat misalnya), telah menjadi tontonan wajib sekaligus “trade mark” bagi identitas generasi masa kini. Tentu hal ini sedikit bertolak belakang dengan kebutuhannya sendiri. Perpaduan gaya dan kebutuhan kemudian dijewantahkan dalam bentuk-bentuk ciri. Tak heran jika identitas diri manusia muslim Indonesia seolah hilang kendali seiring kecepatan dunia teknologi. Tentu menyeret segala kepekaan dalam melihat porsi-porsi dampaknya. Maka tak heran jika manusia Indonesia sulit dibedakan dengan manusia Barat, dan akibat dari pada sesuatu yang berlebihan ini, maka terjadilah obesitas eksistensi (kegemukan pencitraan).

Segala bentuk pertunjukan yang nol akan nilai berlarian sana-sini. Seolah tak mau ketinggalan dalam mengikuti arus gaya (style) demi penilaian yang semu dari sesama pelaku teknologi. Maka pada akhirnya, gaya kemudian menjadi sebuah kebutuhan utama di masa kini. Segala keterbukaan telah mendorong perkembangbiakan, pelipatgandaan, dan penganekaragaman produksi informasi, serta tanda dan kesenangan tanpa batas dalam skala global.

Setelah semua batas-batas tersebut di atas lenyap, kemudian terbentuklah jaringan-jaringan transparansi diri. Didalam jaringan transparansi informasi (facebook misalnya), orang membaca, mendengar, melihat, menonton, menyukai, menyimpan, dan memamerkan apa saja yang dianggap amoral. Dengan lenyapnya daya tangkal dalam melihat sisi-sisi negatif, menyebabkan kita kehilangan energi spiritual, sebagaimana serangan virus HIV-AIDS yang mengerogoti daya tahan tubuh sehingga penyakit apapun dengan mudah masuk.

Memang, jamak dalam kehidupan ini selalu ada yang terbaik, bahkan diantara yang terburuk sekalipun. Tapi, wajah keeksistensian dengan gampang "berkat teknologi" dengan mudah bersalin rupa menjadi "wajar-wajar saja", jika semua pelaku teknologi mengangap itu adalah tabu.

Tan Malaka, dalam buku Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) serta Aksi Pergerakan Massa, memberikan sebuah penekanan dalam mengajak manusia Indonesia sebagai bangsa yang khas dengan keanekaragaman kultur untuk kembali ke esensial Indonesia yang sebenarnya. Ya.!! Manusia yang sarat akan nilai kebudayaan. Bukan bangsa yang plagiat, konsumtif, dan pragmatis.

Sekarang Kecepatan teknologi mengantarkan kita pada ruang-ruang instan yang banyak menimbulkan ketidakakuratan dalam melihat penentuan nilai. Hal ini dikarenakan tidak didasarinya Ilmu dan Agama, sehingga batasan-batasan etika dan estetika lenyap ditutupi ekstatse eksistensi. Terlihat dari arus informasi ini, banyak manusia yang tengelam di dalamnya. Arus informasi yang berlimpah ruah hanya sedikit yang mengandung makna, karena sudah terlepas dari basis tradisional masyarakat.

Lantas bagaimana kita menyikapi arus informasi ini. Sederhana, konsepnya perlu disusun berdasarkan dari konsep-konsep dasar Islam. Minimal ada tujuh konsep pokok Islam yang berkaitan langsung dengan penciptaan dengan penyebaran informasi, yaitu: tauhid (Ke-esaan Allah), 'ilm (Ilmu pengetahuan), hikmah (Kebijakan), 'adl (keadilan), ijma (konsensus), syura (musyawarah), istislah (kepentingan umum), dan ummah (komunitas muslim sedunia).

Dari tujuh konsep ini strateginya perlu dirancang, memadukan yang tradisional dan modern agar orientasinya tepat ke kebutuhan sendiri dan kepentingan umum, khususnya Muslim se dunia. Bukan untuk mereka pembuat teknologi dan penyebar informasi (dunia barat).

Beranjak dari konsep dan strategi itulah seharusnya dipancarkan informasi dunia Muslim. Hal itu agar sesuai dengan nilai-nilai Islami serta tidak kehilangan identitas sebagai bangsa peradaban yang mengedepankan ilmu pengetahuan.

Kelihatannya memang sedikit sulit, namun bagaimanapun juga sangat penting untuk dipikirkan, jika tidak, maka arus informasi bukan lagi rahmat, tetapi bencana bagi umat Islam itu sendiri. Sedikit saya mengutip penuturan Ali Syariati : " Rakyat dunia ketiga terlebih dahulu harus menegaskan warisan budaya mereka, termasuk warisan keagamaan mereka, sebelum mereka dapat berjuang melawan imprilialisme, dan agar mereka dapat meminjam teknologi barat tanpa kehilangan identitas mereka sendiri.(*)

Selasa, 03 Mei 2016

Romantislah Pada Tempatnya

ROMANTIS, adalah.....?????. Sejujurnya, saya sangat sulit mendeskripsikan romantis. Sebab, setiap pasangan memiliki cara yang berbeda dalam ber-romantisasi. Dan itulah yang menjadi kendala buat saya dalam mendudukan substansi dari romantis.

Namun, banyak gambaran romantis yang bertebaran bebas menabrak batas. Ada yang merayap dan ada yang melayang. Hal itu seakan menjadi suatu asupan jiwa untuk melanggeng status hubungan dalam kurun waktu yang selama-lamanya.

Entah sejak kapan romantis ini bergelora, dan sejak kapan adanya. Tentu sangat sulit kita menemukan kondisi yang berprinsip, namun apapun judul hubungannya, romantis tumbuh berkobar seiring panasnya cinta yang nyala.

Terkadang, posisi kita sebagai LAKI - LAKI yang sedikit BER - RAHANG KERAS, eh sory, maksudnya BERKARAKTER KERAS, agak kaku dalam menerima sifat dasar perempuan. Tapi, demi memuaskan birahi romantisasi sang gadis, style "miringkan kepala, bengkok-kan badan, julurkan lidah," dengan terpaksa dilakukan. Bahkan yang lebih cangih adalah, sms/bbm sekedar mengucap, "chayang, abis makan jang lupa minum air ee..." di scrand picture kemudian di upload di dunia maya. Maka pada akhirnya, obesitas romantisme terlihat fulgar dan sungguh mengelikan dipandang mata.

Romantis adalah sifat dasar perempuan manakala hatinya sudah terpaku pada orang yang dicinta. Dilain sisi, romantis dalam diri seorang perempuan merupakan suatu hal alamiah yang kelak akan mentransformasikan sikap kelembutan kepada anak-anaknya kelak.

Dalam buku Serial Cinta, karya Anis Matta pada pembahasan "Kelemahan Orang-orang Romantis", banyak memberikan gambaran tentang sisi-sisi melankolik dua insan yang jauh terjebak pada wilayah rasa, yang kemudian mengkerdilkan pemikirannya. Bahkan, kata Aniz, di zaman Rasulullah SAW, orang romantis pergi berperang dengan jiwa yang melankolik. Dalam gambarannya, sewaktu Perang Tabuk (perang melawan Bangsa Romawi), sebagian lelaki menolak turun ke medan perang dengan berbagai macam alasan. Adapun yang bergi, kata Anis, tubuhnya di medan perang, tetapi hatinya masih terpaut pada kehangatan ranjang. Kemungkinan inilah yang menjadi alasan diberlakukannya nikah Mut'ah (nikah kontrak) waktu itu. Sekarang so tarada...

Sepintas, memang kelihatannya sebuah kelemahan jika ditempatkan bukan pada tempatnya. Ibarat perhatian, "Buanglah Sampah Pada Tempatnya". Penegasan untuk menjaga "kebersihan" seolah relevan dalam setiap persoalan, termasuk perkara romantis. Tetapi, bagi saya, Anis Matta pun masih "galau" dalam menjelaskan sifat dasar manusia tentang romantis sebagai api cinta untuk mencairkan hubungan yang dingin membeku.

ah, maaf...!!! saya sudah terlalu banyak beromongkosong ria. Tapi, puncak klimaks dari tulisan ini adalah, romantis tidak selamanya berada pada wilayah foto bersama, jalan bersama, dan atau tidur bersama. Tetapi romantis yang paling agung adalah mendoakan dalam diam tanpa diketahui oleh siapapun.

Nurkholis Lamaau, Makassar, Kamis 8 Desember 2016