Senin, 24 Juli 2017

JIKOMALAMO UNTUK SIAPA ?


Aktivitas warga Kecamatan Pulau Hiri di Pelabuhan rakyat, Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. (Istimewa)







Derita Dikala Musim Utara Menyapa...


JUMAT 30 Mei 2017 Pukul 09.40 WIT, aktivitas di sekitar lokasi tambatan perahu dari Kecamatan Pulau Hiri di Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, berjalan normal. Kendati disebut pelabuhan rakyat, namun lokasi berteluk mini ini belum layak disebut pelabuhan.

Sebab, perahu yang ditumpangi warga hanya menepi di bibir pantai. Tidak ada dermaga. Sementara, alur masuk perahu terdapat bebatuan karang yang mengangga. Melewati jalur ini dibutuhkan naluri yang matang dari juru mudi. Salah sedikit, perahu menghantam karang. Belum lagi gelombang pantai yang kerap menggulung meninggi. Derita tidak berhenti di situ. Penumpang yang turun ke daratan harus merelakan kakinya basah.

Mengantisipasi hal itu, ABK kerap meletakan sebuah papan di bagian buritan perahu ke pertepian pasir pantai. Fungsinya sebagai jembatan, agar kaki penumpang tidak basah. "Itu sudah berlangsung lama. Bahkan kalau musim utara, perahu kerap terbalik dihantam gelombang pantai," ujar Kadir Rakib, mantan Lurah Mado, Kecamatan Pulau Hiri kepada saya, Kamis (13/7/2017).

Kadir menuturkan, pada 2012 ada penumpang yang mengangkut buah amo (sukun) ke atas perahu menuju Ternate. Saat tiba di pesisir pantai Sulamadaha, perahu dihantam ombak hingga terbalik.

"Akhirnya orang punya amo hanyut semua. Di tahun 2013 ada dua perawat yang membawa pasien dari Hiri ke Ternate. Mereka pun tercebur ke laut, gara-gara perahu dihantam gelombang pantai. Peristiwa itu sudah terjadi berulang kali," bebernya.

Gelombang pasang di area pelabuhan penyeberangan Ternate - Kecamatan Pulau Hiri di Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. (Foto: Nurkholis Lamaau)


Prihatin dengan kondisi itu, Kadir akhirnya mengkonsolidasikan para lurah dari 6 kelurahan di Kecamatan Pulau Hiri untuk melakukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrembang). "Di tahun 2014, saya sebagai Ketua Delegasi Kecamatan Pulau Hiri mendorong Musrembang. Yang saat itu bertempat di Hotel Vellya Ternate," katanya.

Survei Pelabuhan Hiri di Jikomalamo, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. (Istimewa)

Dikatakan Kadir, jauh sebelum Musrembang dilaksanakan, dia dan beberapa lurah serta camat Pulau Hiri melakukan survei lokasi pelabuhan sebanyak 3 kali di Kelurahan Sulamadaha.

"Survei pertama itu lurah dengan camat, kemudian dari pihak kecamatan, dan terakhir pihak kecamatan dan lurah.  Hasil survei itu dia kena 1,8 kilo (jalur masuk hingga lokasi tambatan perahu). Nah, data itu kemudian kami dorong ke Musrembang Kecamatan Pulau Hiri. Tapi sampai hari ini, pelabuhan Jikomalamo belum difungsikan," jelasnya.

Penetapan Pelabuhan Jikomalamo oleh anggota DPRD ke masyarakat Hiri, kata Kadir, sempat juga dilakukan di Ruang Pertemuan Kelurahan di Sonyie Mado, Kecamatan Pulau Hiri. "Yang pasti anggota dewan Masri Tuara juga ada. Bahkan penetapan di malam itu, Pak Masri telepon saya. Dia tanya, ini mau ketuk ini (pengesahan pencairan anggaran), saya bilang, iya ketuk," bebernya.

Namun, sampai saat ini, perencanaan seakan putus di tengah harapan. Terminal belum ada. Pembebasan lahan juga belum ada. Kadir sempat menanyakan keberlanjutkan pekerjaan ke pihak yang menangani pembebasan lahan, katanya sudah mau dilakukan. "Semoga terwujud. Tapi kalau memang tidak dilakukan, setiap musim utara tiba, repot kita," tuturnya.

                                                                        (***)

Dermaga Tambatan Perahu di kawasan Jikomalamo yang terletak diantara Kelurahan Sulamadaha dan Kelurahan Takome, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. (Nurkholis Lamaau)






Hasil Musrembang: Jikomalamo Tambatan Perahu Ternate - Hiri


Setahun pasca Musrembang, Tambatan Perahu Jikomalamo akhirnya direalisasikan. Sebagaimana yang tertera dalam dokumen Pengadaan nomor 600/434/.a/DOK-PENG/ULP/DPU-KT/2015 tanggal 21 September 2015, proyek dibawa Dinas Perhubungan Kota Ternate ini dipegang oleh Apak, salah satu pengusaha berdarah Cina di Ternate, yang bergerak di multi sektor.

Hasil tender, Apak menangani dermaga tambatan perahu. Sedangkan Adam Marsaoli dibawa Dinas Pekerjaan Umum (PU) menangani akses jalan masuk ke lokasi dermaga. "Itu (Dermaga tambatan perahu) proyek Dinas Perhubungan Kota Ternate di tahun 2015. Anggarannya Rp800 Juta, yang diperuntukkan untuk pelabuhan saja," ujar Hamadaeng, Pelaksana Proyek Tambatan Perahu Jikomalamo, saat saya temui di kediamannya.

Dokumen Pengadaan pembangunan tambatan perahu Jikomalamo 21 Sptember 2015. (Istimewa)

Anggaran sebesar Rp800 Juta itu kemudian dibagi untuk Pajak Penghasilan (PPH) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Waktu itu kami dikasi waktu 4 bulan pengerjaan, tapi kami mampu menyelesaikan dalam jangka waktu sekitar 2 bulan sekian. Saat itu orang-orang Hiri juga ikut turun bekerja," ujarnya.

Sementara, akses jalan masuk ke lokasi tambatan ditangani kontraktor Adam Marsaoli. "Kami tangani pelabuhan. Kalau Pak Adam untuk akses jalan masuk, mereka dibawa PU Kota Ternate," jelasnya.

                                                                     (***)
                                                             
Pembangunan Villa milik Adam Marsaoli, salah satu kontraktor ternama di Kota Ternate, yang dihentikan Dinas Lingkungan Hidup Kota Ternate. (Nurkholis Lamaau)
                                                                  

"Pemilik lahan itu diantaranya Ahadi, Husen, Yusuf, dan saya sendiri. Ada juga lahan milik Hamjah yang dibeli Adam Marsaoli. Kalau saya punya, Pak Kapolda yang langsung bayar sebesar Rp30 Juta." Rustam, warga Sulamadaha dan juga salah satu diantara pemilik lahan tersebut.


Disulap Wisata, Hingga Pembangunan Villa untuk Sang Jenderal?

Dermaga beton yang dikawal Hamadaeng selesai lebih awal dari target yang disepakati dalam kontrak kerja. Akses jalan masuk dibawa Dinas PU pun selesai sesuai kesepakatan kontrak. Di pertengahan 2016, proyek terhenti. Namun, pembukaan ruang di sekitar lokasi tidak untuk terminal atau ruang tunggu, sebagaimana yang dibahas dalam Musrembang.

Pantauan saya di seputaran lokasi, di sisi kiri dan kanan berdiri sejumlah lapak pedagang. Sedangkan di sebelah timur, berdiri beberapa villa. Bahkan sebuah villa dengan ukuran besar terlihat menempel di bibir tebing di atas pantai. "Villa ini Adam Marsaoli bangun untuk ditempati Pak Kapolda bersantai," ujar salah seorang warga setempat kepada saya.

Penasaran, saya coba menelusuri, siapa pemilik lahan dan apakah benar, wacana yang berkembang terkait, pembangunan Villa untuk Kapolda Maluku Utara, Brigjen Pol Drs. Tugas Dwi Apriyanto itu. Faktanya, di wilayah itu ada beberapa lahan milik warga yang dijual ke Adam Marsaoli.

"Pemilik lahan itu diantaranya Ahadi, Husen, Yusuf, dan saya sendiri. Ada juga lahan milik Hamjah yang dibeli Adam Marsaoli. Kalau saya punya, Pak Kapolda yang langsung bayar sebesar Rp30 Juta," ujar Rustam, warga Sulamadaha dan juga salah satu diantara pemilik lahan tersebut.

Sebelumnya, pasca merebaknya pemberitaan di media massa terkait, keterlibatan Kapolda Maluku Utara atas kehadiran Villa ditepis oleh kapolda sendiri. "Itu bukan milik saya, tetapi  punya pak Adam Marsaoly," ungkap Kapolda Malut, Brigjen Pol Drs. Tugas Dwi Apriyanto, saat menggelar jumpa pers di Lantai II Kantor Polda Malut baru-baru ini.

Jenderal bintang satu itu menambahkan, kehadirannya di Jikomalamo lantaran ia hoby mancing dan diving. " Itu pun di luar tugas, tapi kalau maunya saya tidak ke situ, maka saya sudah tidak ke situ lagi," ungkapnya.

"Saya pertaruhkan pangkat dan jabatan saya, bahkan saya juga tidak akan melacurkan pangkat dan jabatan saya hanya untuk lokasi Jikomalamo semata," tandas mantan Kapolda Malut yang sudah serah terima jabatan (Sertijab) di Mabes Polri pada Jumat (7/7/2017) lalu, dan digantikan Brigjen (Pol) Achmad Juri untuk menduduki kursi nomor One di Polda Malut.







Beberapa buah foto yang memperlihatkan Kapolda Maluku Utara Brigjen Pol Drs. Tugas Dwi Apriayanto bersama ajudannya, menyambangi lokasi Jikomalamo, sebelum berdirinya Villa yang kini menuai masalah. (Istimewa)










"Masalah Sudah Selesai..!!! "


Beberapa waktu lalu, saya memperoleh beberapa buah foto yang memperlihatkan Kapolda Malut Brigjen Pol Drs. Tugas Dwi Apriyanto bersama beberapa ajudannya, menyambangi lokasi tersebut. Di foto itu, nampak Kapolda mengenakan kaos orange lengan panjang, celana panjang warna hitam, dan memakai topi coklat, bermotif loreng. Di foto itu, mereka tampak memantau lokasi sebelah timur yang kini berdiri beberapa villa.

Selasa (4/7/2017) saya bergegas ke Polda Maluku Utara. Pagi itu, suara musik menghentak keras di halaman kantor Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Malut. Sejumlah anggota tanpa pakaian dinas harian (PDH), asik menikmati dentuman musik. Sebagian terlihat ikut berjoget dan menyanyi riang, mengikuti alunan musik.

Di salah satu sudut ruangan, beberapa anggota tengah menikmati santapan siang. Semua larut merayakan Hari Ulang Tahun Bhayangkara Polri yang ke-71 di Mako Polda Malut, pagi itu. Beberapa saat kemudian, Kapolda Maluku Utara Brigjen Pol Tugas Dwi Apriyanto, serta beberapa ajudan berjalan beriringan di halaman depan kantor.

Saya coba mendekat untuk mengkonfirmasi perihal foto itu, sekaligus menanyakan wacana keterlibatannya, yang sempat membuming di media massa di Kota Ternate belum lama ini. Namun para ajudan langsung mencegat. Mereka mengatakan, kasus Jikomalamo sudah selesai. "Kasus Jikomalamo sudah selesai yah. Pak Kapolda sibuk, tidak bisa diwawancara," tegas salah satu ajudan.

Melihat anak buahnya mencegat, jenderal bintang satu itu hanya berjalan, berlalu melewati beberapa anggota dengan suara musik menghentak kencang.

Terpisah, Kabid Humas Polda Malut AKBP Hendry Badar kepada saya, juga mengatakan hal yang sama. Jikomalamo sudah selesai. Menanyakan, apakah sudah masuk dalam ranah hukum, kata Hendry, karena belum ada yang melapor.

"Anda terlambat info. Silahkan tanya ke Pak Adam Marsaoli. Karena Pak Kapolda ke Jikomalamo hanya diving dan mancing. Jadi masalah Jikomalamo sudah selesai," tegasnya.

Diperlihatkan beberapa foto atas keberadaan Kapolda Malut Brigjen Pol Tugas Dwi Apriyanto di lokasi Jikomalamo, Hendry hanya menjawab singkat, "Masalah sudah selesai. Saya mau pergi rapat," tutupnya.
                                                                        (***)

Puluhan warga di Kota Ternate tengah menikmati liburan di kawasan Jikomalamo, Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. (Nurkholis Lamaau)









Wisata di Lahan Sengketa


Sabtu (1/6/2017) siang, tepat di akhir pekan libur lebaran 2017. Sinar mentari menyengat kulit. Ribuan warga terlihat memenuhi kawasan Jikomalamo, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. Namun, kawasan yang diapit Kelurahan Sulamadaha dan Takome ini masih menjadi polemik penetapan batas wilayah. Tarik ulur di tingkat kelurahan hingga lembaga adat dan pemerintahan, belum memberikan titik terang.

"Lahan itu pernah menjadi rebutan dua orang. Mereka warga saya, namanya Pak Hamjah dan Mahmud Rogu," ujar Samsudin Samad, Lurah Sulamadaha, saat saya temui di kediamannya.

Klaim-mengklaim antara Mahmud Rogu sebagai penggugat dengan Hamjah sebagai tergugat pun terjadi. Menurut kedua bela pihak, lahan tersebut milik orang tua mereka, yang sudah dikelola turun-temurun. Hal itu mereka buktikan dengan beberapa tanda batas.

Upaya penyelesaian di tingkat pemerintah kelurahan hingga agama pun sudah dilakukan. Namun tidak ada hasil. Akhirnya, persoalan tersebut dibawa ke ranah hukum. "Setelah diambil sampel, kajian di lapangan, serta keterangan dari berbagai pihak, akhirnya Pengadilan Negeri Kota Ternate memutuskan. Dan hasil sidang dimenangkan oleh tergugat Hamjah," katanya.

Karena fakta kepemilikan lahan disahkan oleh Pengadilan, maka posisi Hamjah di atas angin. Lahan tersebut kemudian dijual ke rekanan Adam Marsaoli. "Lahan itu dijual ke Pak Adam dan akhirnya digarap sebagai ikon pariwisata," katanya.

Menanyakan berapa harga yang dilego serta surat kepemilikan lahan dari dinas terkait, Samsuddin mengaku tidak tahu. "Kalau persoalan itu, langsung saja tanyakan ke Pak Hamjah. Karena saya tidak tahu," tambahnya.

Jalur masuk ke wilayah Jikomalamo tak pernah sepi. Hilir mudik kendaraan roda dua dan empat tak pernah putus. Hal ini seakan menegaskan bahwa, kawasan Jikomalamo menjadi 'magnet hiburan baru' di Kota Ternate. Bahkan, kata Samsuddin, Wisata Pantai Sulamadaha yang dikelolah Dinas Pariwisata Kota Ternate sepi pengunjung.

Hanya saja, kawasan Jikomalamo yang diklaim sebagai ikon pariwisata itu tidak dikelolah Dinas Pariwisata Kota Ternate. Di kawasan Jikomalamo, tidak ada ucapan 'selamat datang di kawasan pariwisata', sebagaimana yang dijumpai di sejumlah kawasan pariwisata pada umumnya.

Tarif parkir kendaraan di lokasi tersebut pun bervariasi. Untuk kendaraan roda dua dipatok Rp5000. Sedangkan roda empat Rp10.000. Semua diberlakukan tanpa karcis kendaraan. "Iya, semua itu dikelolah secara swadaya oleh masyarakat," kata Syamsuddin.

Di depan jalur masuk kawasan Jikomalamo, berdiri sebuah papan penanda yang tertulis 'Wilayah Hukum Adat-Kaha Kie Se Kolano-Tanah Adat Kesultanan Ternate'. Menanggapi hal itu, lagi-lagi Samsudin mengaku tidak tahu. "Pengklaiman kesultanan bukan wilayah saya," tandas Samsuddin yang juga tidak tahu-menahu persoalan sertifikat tanah tersebut.

Di depan jalur masuk kawasan Jikomalamo, berdiri sebuah papan penanda yang tertulis 'Wilayah Hukum Adat Kaha Kie Se Kolano, Tanah Adat Kesultanan Ternate. (Nurkholis Lamaau)





Menanggapi hal itu, Jogugu (setingkat Perdana Menteri-red) Kesultanan Ternate, Julkiram kepada saya menjawab datar. Katanya, persoalan sengketa lahan Jikomalamo sudah dikonfirmasi lebih awal di beberapa media massa (media di Kota Ternate).

"Jadi kalau terkait hal itu (Jikomalamo) silahkan konfirmasi ke Pak Sultan (Ir Sjarifuddin Sjah). Tapi biasanya hal-hal seperti itu saya yang menanggapi sih, cuman sudah dalam beberapa tahapan komunikasi dan selanjutnya nanti melalui beliau (Sultan) yang jelaskan, supaya satu pintu kan," ujar Julkiram.

Dikonfirmasi terpisah, Sultan Ternate dengan jabatan 'Kolano Masoa' Ir Sjarifuddin Sjah mengatakan, tanah itu milik 'Aha Kolano' (milik Kesultanan Ternate). Hal ini ditandai dengan berdirinya sebuah papan di depan akses jalan masuk kawasan Jikomalamo yang tertulis 'Wilayah Hukum Adat-Kaha Kie Se Kolano-Tanah Adat Kesultanan Ternate' itu.

Bahkan, kata Sjarifuddin, lahan di kawasan tersebut terdata di Dinas Pertanahan. Hanya saja tidak terlampir dalam bentuk surat seperti, akta tanah atau nota tanah. Menanggapi persoalan transaksional lahan yang melibatkan salah satu petinggi Polda Maluku Utara, pihak rekanan/kontraktor dan warga setempat, saudara kandung Sultan Ternate yang ke-48, (Alm) Mudaffar Sjah ini tak menampik.

"Iya saya tahu itu. Nah, kalau dijual kan harus diperlihatkan dulu bukti sertifikatnya, ada atau tidak, jangan main jual begitu. Kalau penyelesaiannya, langsung saja tanyakan ke Jogugu," tutupnya.
(***)

Pantai Wisata di Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat. Salah satu destinasi wisata di Kota Ternate yang dikelola Dinas Pariwisata Kota Ternate. http://desnantara-tamasya.blogspot.co.id/TAKJUB INDONESIA






"Berdasarkan data di bulan Januari tahun 2017 pendapatan per minggu di Pantai Sulamadaha mencapai Rp15 Juta sampai Rp16 Juta. Itu angka pasti. Namun sekarang sudah di angka Rp7 Juta." Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate, Samin Marsaoly.



Jikomalamo Seret Pendapatan Pantai Wisata Sulamadaha


Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate, Samin Marsaoly kepada saya mengatakan, Jikomalamo bukan milik Pemerintah Kota Ternate. "Sudah pasti, jika ada muncul destinasi atau objek wisata baru, orang pasti akan mengarah ke situ," kata Samin kepada saya via telephone, Rabu (19/7/2017).

Menurut Samin, pemerintah tidak melulu berpikir target Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Tetapi yang dipikirkan adalah masyarakat punya pendapatan. "Jadi tidak harus melulu ke PAD yah. Tapi bagaimana peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Itu yang lebih penting," tandasnya.

PAD, kata Samin, bisa dikejar jika lokasi tersebut dikelola pemerintah. Sebab Jikomalamo milik orang per orang. "Jadi kalau mau dikembangkan silahkan, asal tetap memperhatikan ketentuan dan aturan yang berlaku," katanya.

Samin mengakui, di pertengahan 2016 tepatnya usai lebaran, pendapatan di Pantai Wisata Sulamadaha mengalami penurunan. "Pokoknya separuh dari pendapatan biasa," tandasnya.

Ia menerangkan, berdasarkan data di bulan Januari tahun 2017 pendapatan per minggu di Pantai Sulamadaha mencapai Rp15 Juta sampai Rp16 Juta. Namun sekarang sudah di angka Rp7 Juta. "Persoalannya kan kepemilikan lahan di Jikomalamo belum dikelola pemerintah daerah saja," ujarnya.

Selain itu, alasan pemerintah belum mengambil alih untuk dijadikan sebagai destinasi secara full, karena persoalannya terletak pada tata ruang. Selain itu, alasan Dinas Pariwisata tidak terburu-buru mau mengambil alih karena, pembebasan lahan membutuhkan modal yang cukup besar."Tetapi sesungguhnya pemerintah tidak ada perbedaan pendapat persoalan itu," ujar Samin.

Berdasarkan informasi yang diterima, lanjut Samin, sudah ada rentang waktu yang diberikan hingga akhir 2017. Dimana, kawasan Jikomalamo akan ditata kembali. Ditata dalam arti, lahan milik orang per orang di Jikomalamo harus mengikuti masterplannya. Sehingga, mereka harus menyesuaikan dengan tata ruang. "Pokoknya mulai 6 bulan ke depan rencana itu sudah jalan," katanya.

(***)

Salah satu villa yang cukup besar, menempel tepat di tebing sebelah kiri di kawasan Jikomalamo. (Nurkholis Lamaau)



















"Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jikomalamo masuk dalam kawasan hutan produksi. Sementara, yang diajukan berupa kegiatan resort (pariwisata). Kalau persoalan perubahan bentang alam, nanti ada dokumen baru bisa di tela'ah." Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate, Edy Hatari.



Penantian Izin Prinsip hingga Pemulangan UKL-UPL Warnai Pengembangan Resort


Di tengah berlangsungnya aktivitas pengembangan resort di kawasan Jikomalamo, belakangan diketahui, formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang semestinya diajukan Pemrakarsa ke DLH sebelum aktivitas resort dimulai, ternyata diserahkan saat aktivitas pengembangan (perubahan bentang alam dan pembangunan villa) tengah berjalan.

Formulir yang disusun oleh konsultan dan kemudian diserahkan melalui Pemrakarsa itu bahkan dikembalikan, lantaran belum memenuhi beberapa item. "Karena ada beberapa item yang belum dipenuhi. Makanya aktivitas pembangunan di Jikomalamo dihentikan sementara," ujar Edy Hatari, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate, saat saya temui di kantornya, Selasa (11/7/2017).

Edy menjelaskan, mekanisme permohonan UKL - UPL terlebih dahulu disusun oleh konsultan, dengan mengajukan surat permohonan arahan dokumen lingkungan hidup yang dilengkapi dengan gambaran rencana kegiatan (termasuk skala besaran kegiatan) ke DLH. "Disitu baru kita kaji lagi, apakah layak dikeluarkan UPL - UKL nya atau tidak," katanya.

Menanyakan alasan formulir UKL-UPL yang diserahkan Pemrekarsa dikembalikan, Edy mengatakan, karena ada beberapa item yang belum dilengkapi. Salah satunya adalah izin prinsip dari Badan Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang (BKPRD) dari Badan Perencanaan dan Pembangunan (BAPPEDA) Kota Ternate.

"Makanya aktivitas pembangunan di Jikomalamo dihentikan sementara. Coba tanya ke BAPPEDA. Karena harus ada izin prinsip dari mereka," katanya.

Peta Rencana Hutan Produksi di Kota Ternate yang dapat di konversi. (Foto: BAPPEDA Ternate)

Wilayah Jikomalamo, kata Edy, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masuk dalam kawasan hutan produksi. Sementara, yang diajukan berupa kegiatan resort (pariwisata). Menanyakan, apakah hutan produksi dapat dikonversi menjadi lokasi resort, hingga ada perubahan bentang alam, kata Edy, "Kalau perubahan bentang alam nanti ada dokumen baru bisa di tela'ah," tandasnya.

"Kemarin di Jikomalamo itu tidak ada reklamasi. Tetapi pemadatan di bagian tebing. Makanya karena tidak memiliki dokumen, DLH imbau aktivitas pembangunan dihentikan sementara," tambahnya.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menandatangani PP Nomor 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

Jokowi menandatangani PP tersebut pada 22/12/2015. Seperti dikutip dari situs Setkab, dalam PP itu disebutkan, perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial, atau untuk wilayah provinsi. Perubahan secara parsial dilakukan melalui: a. tukar-menukar kawasan hutan; atau b. pelepasan kawasan hutan.

"Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: a. menteri atau pejabat setingkat menteri; b. gubernur atau bupati/wali kota; c. pimpinan badan hukum; atau d. perorangan, kelompok orang, dan/atau masyarakat," bunyi pasal 8 ayat 1 dan 2 PP tersebut.

Adapun perubahan peruntukan kawasan hutan melalui tukar-menukar menurut PP ini, hanya dapat dilakukan pada: a. hutan produksi tetap, dan/atau b. hutan produksi terbatas. Dimana, mekanisme tukar-menukar sebagaimana dimaksud, dilakukan untuk: a. pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen; b. menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan; atau c. memperbaiki batas kawasan hutan.

"Tukar-menukar kawasan hutan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan ketentuan: a. tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit 30 persen dari luas DAS (Daerah Aliran Sungai), pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, dan b. mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola," bunyi pasal 12 ayat 1 PP tersebut.

Lebih lanjut disampaikan bahwa tukar-menukar kawasan hutan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan lahan pengganti dari: a. Lahan bukan kawasan hutan; dan/atau b. kawasan hutan produksi yang dapat dikonservasi, dengan memenuhi persyaratan:

a. Letak, luas, dan batas lahan pengganti yang jelas;
b. Terletak dalam DAS, provinsi, atau pulau yang sama;
c. Dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional kecuali yang berasal dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang masih produktif;
d. Tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan;
e. Mendapat pertimbangan  dari gubernur tentang informasi lahan pengganti.


Menurut PP itu, permohonan tukar-menukar kawasan hutan diajukan oleh pemohon kepada menteri. Selanjutnya, menteri akan membentuk tim terpadu yang akan menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi kepada menteri.

Dalam hal tukar-menukar kawasan hutan dengan luas paling banyak 2 hektar dan untuk kepentingan umum terbatas yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah, menteri membentuk tim yang anggotanya berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

"Berdasarkan hasil penelitian tim terpadu atau tim sebagaimana dimaksud, menteri menerbitkan persetujuan prinsip tukar-menukar kawasan hutan atau penolakan," bunyi pasal 13 ayat 5 PP tersebut.

Dalam hal rekomendasi tukar-menukar kawasan hutan yang disampaikan tim terpadu menunjukkan bahwa tukar-menukar kawasan hutan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, menurut PP ini, menteri sebelum menerbitkan persetujuan prinsip tukar-menukar kawasan hutan, harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari DPR.

"Persetujuan prinsip tukar-menukar kawasan hutan diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 2 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun," bunyi pasal 15 ayat 1 PP ini.

Pelepasan Kawasan Hutan

PP ini juga menegaskan, kawasan Hutan Produksi yang dapat dilakukan pelepasan berupa kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak produktif, kecuali pada provinsi yang tidak tersedia lagi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak produktif.

"Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi dengan luas kawasan hutan sama atau kurang dari 30 persen kecuali dengan cara tukar-menukar kawasan hutan," bunyi pasal 19 PP ini.

Menurut PP ini, pemegang keputusan pelepasan kawasan hutan wajib: a. menyelesaikan tata batas kawasan hutan yang dilakukan pelepasan; dan b, mengamankan kawasan hutan yang dilakukan pelepasan.

Tata batas sebagaimana dimaksud diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 1 tahun sejak diterbitkannya keputusan pelepasan kawasan hutan dan tidak dapat diperpanjang. Kecuali dalam hal pemegang keputusan pelepasan kawasan hutan merupakan instansi pemerintah dapat diperpanjang paling lama 1 tahun.

"Pemegang keputusan pelepasan kawasan hutan yang belum memenuhi kewajiban dilarang memindahtangankan kawasan hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain," bunyi pasal 23 PP ini.

Diwaktu yang sama, saya menyambangi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Ternate di Jalan Cengkeh Afo, Kota Ternate. Namun Kepala Bappeda Said Assagaf tidak berada di ruangannya. Sementara, Kasubdit Tata Ruang Bappeda Ternate, Syaiful menolak diwawancara.

Saya diarahkan menemui Kepala Bidang Fisik dan Prasarana. Namun jawaban yang sama terlontar dari mulut pria yang enggan menyebut namanya itu. "Jangan saya. Persoalan itu langsung tanyakan ke Pak Kaban (Kepala BAPPEDA Ternate). Saya mencoba mencari nomor telephone Kepala BAPPEDA Ternate, Said Assagaf. Ketemu.

Melalui sambungan telephone, Said Assagaf mengatakan, sebelumnya BKPRD telah melakukan rapat dengan melibatkan beberapa SKPD terkait. Sayangnya dari hasil rapat itu, ia mengaku belum tahu. "Hasilnya saya belum tahu . Maaf yah, sementara saya masih di Jakarta. Nanti saya konfirmasikan dengan Sekda dulu," katanya.

Menanyakan pengajuan UKL dan UPL dari Pemrakasa dipulangkan DLH lantaran belum memenuhi Izin Prinsip dari BKPRD, Said mengaku baru tahu informasi itu. "Oh, saya baru tahu itu. Iya nanti saya coba koordinasikan ke DLH Ternate yah. Karena saya masih di Jakarta," tutupnya.

Saya pun memutar motor menuju kediaman Adam Marsaoli di Jalan Batu Angus, Kelurahan Ake Huda, Kecamatan Ternate Utara. Namun, rumah megah bercat putih itu tampak sepi. Pagar depan rumah digembok. Tak ada aktivitas yang terlihat. "Pak Adam sudah keluar. Dia pulang tidak menentu," ujar salah satu pedagang nasi yang berjualan di pojok kanan pagar rumah berbahan beton, milik kontraktor ternama di Kota Ternate itu.

(***)

Aktivitas penggusuran di sekitar lokasi Jikomalamo. (Istimewa)


"Sejauh ini kita terkendala di RTRW yang ternyata, di situ (kawasan Jikomalamo) adalah hutan produksi. Jadi harus ada Izin Prinsip dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Bappeda. Kalau itu sudah selesai, proyek pembangunan terminal dan ruang tunggu kita lanjut." Kepala Dinas Perhubungan Kota Ternate, Thamrin Alwi.



Terkendala Status Lahan


Kepala Dinas Perhubungan Kota Ternate, Thamrin Alwi kepada saya via Telephone, Selasa (18/7/2017) mengatakan, terkait Jikomalamo pihaknya sudah melakukan kajian internal dengan beberapa instansi terkait. Proses yang berlangsung sebanyak 4 tahapan itu akhirnya disetujui oleh Walikota Ternate, H. Burhan Abdurrahman. Bahkan nilai anggaran yang disiapkan untuk pembangunan terminal dan ruang tunggu sudah disampaikan ke pihak legislatif.

"Kami tinggal menunggu hasilnya seperti apa. Dan kalaupun disetujui, tentu dengan pertimbangan status tanah (Jikomalamo) harus jelas. Sebab tarulah itu tanah negara atau tanah tidak bertuan, kemudian kita bayar ganti rugi lahannya. Tentu di pemeriksaan saya kena. Jadi konyol bodoh-bodoh namanya" kata Thamrin.

Thamrin menuturkan, upaya pembukaan ruang untuk dermaga Ternate-Pulau Hiri sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Tahap pertama, direncanakan di Pelabuhan Rakyat (pelabuhan sekarang), namun ditolak. Kedua di Hol Sulamadaha, yang menjadi objek wisata Sulamadaha saat ini, juga ditolak.

"Sehingga, daripada anggarannya sia-sia dan jangan sampai pemerintah dianggap tidak serius, maka dari pelbagai pertimbangan, alternatif terakhir adalah Jikomalamo. Dengan harapan, setelah Jikomalamo maka akses penghubung menuju ke lokasi kurang lebih 2 kilo itu akan dibangun, dan itu sudah dibangun oleh PU," jelasnya.

Terakhir, ia menandaskan bahwa area pelabuhan harus tetap pelabuhan. Pariwisata pun demikian. Tidak boleh ada penggabungan dalam satu ruang. "Jadi sekarang saya tinggal menunggu hasil dari status tanah tersebut. Karena Jikomalamo itu sudah di tahap ketiga setelah menuai masalah di perencanaan sebelumnya. Jadi saya juga tidak mau gegabah mengambil keputusan," bebernya.


Kecamatan Pulau Hiri. (Foto: Nurkholis Lamaau)


Nurkholis Lamaau
(Jurnalis)

JIKOMALAMO UNTUK SIAPA ?


Aktivitas warga Kecamatan Pulau Hiri di Pelabuhan rakyat, Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. (Istimewa)









 Derita Dikala Musim Utara Menyapa...


JUMAT 30 Mei 2017 Pukul 09.40 WIT, aktivitas di sekitar lokasi tambatan perahu dari Kecamatan Pulau Hiri di Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, berjalan normal. Kendati disebut pelabuhan rakyat, namun lokasi berteluk mini ini belum layak disebut pelabuhan.

Sebab, perahu yang ditumpangi warga hanya menepi di bibir pantai. Tidak ada dermaga. Sementara, alur masuk perahu terdapat bebatuan karang yang mengangga. Melewati jalur ini dibutuhkan kematangan naluri juru mudi. Salah sedikit, perahu menghantam karang. Belum lagi gelombang pantai yang kerap menggulung meninggi. Derita tidak berhenti di sini. Penumpang yang turun ke daratan harus merelakan kakinya basah.

Mengantisipasi itu, ABK (Anak Buah Kapal) kerap meletakan papan di buritan perahu yang terhubung ke pertepian pasir pantai. Fungsinya sebagai jembatan, agar kaki penumpang tidak basah. "Itu sudah berlangsung lama. Bahkan kalau musim utara, perahu kerap terbalik dihantam gelombang pantai," ujar Kadir Rakib, mantan Lurah Mado, Kecamatan Pulau Hiri, kepada saya, Kamis (13/7/2017).

Gelombang pasang di area pelabuhan penyeberangan Ternate - Kecamatan Pulau Hiri di Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. (Foto: Nurkholis Lamaau)

Kadir menuturkan, pada 2012 ada penumpang yang mengangkut buah amo (sukun) ke atas perahu menuju Ternate. Saat tiba di pesisir pantai Sulamadaha, perahu dihantam ombak hingga terbalik.

"Akhirnya orang punya amo hanyut semua. Di tahun 2013 ada dua perawat yang membawa pasien dari Hiri ke Ternate. Mereka pun tercebur ke laut, gara-gara perahu dihantam gelombang pantai. Peristiwa itu sudah terjadi berulang kali," bebernya.

Prihatin dengan kondisi itu, Kadir akhirnya mengkonsolidasikan para lurah dari 6 kelurahan di Kecamatan Pulau Hiri untuk melakukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrembang). "Di tahun 2014, saya sebagai Ketua Delegasi Kecamatan Pulau Hiri mendorong Musrembang. Yang saat itu bertempat di Hotel Vellya Ternate," katanya.

Survei Pelabuhan Hiri di Jikomalamo, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. (Istimewa)

Dikatakan Kadir, jauh sebelum Musrembang dilaksanakan, ia dan beberapa lurah serta camat Pulau Hiri mensurvei lokasi pelabuhan sebanyak 3 kali di Kelurahan Sulamadaha. Survei pertama dilakukan lurah dan camat, kemudian dari pihak kecamatan. Terakhir, pihak kecamatan dan lurah. 

"Hasil survei itu dia kena 1,8 kilo (jalur masuk hingga lokasi tambatan perahu). Nah, data itu kemudian kami dorong ke Musrembang Kecamatan Pulau Hiri. Tapi sampai hari ini pelabuhan Jikomalamo belum difungsikan," jelasnya.

Penetapan Pelabuhan Jikomalamo oleh anggota DPRD ke masyarakat Hiri, kata Kadir, sempat dilakukan di Ruang Pertemuan Kelurahan di Sonyie Mado, Kecamatan Pulau Hiri. "Yang pasti anggota dewan Masri Tuara juga ada. Bahkan penetapan di malam itu, Pak Masri telepon saya. Dia tanya, ini mau ketuk ini (pengesahan pencairan anggaran). Saya bilang, iya ketuk," bebernya.

Namun sampai saat ini, perencanaan seakan putus di tengah harapan. Terminal belum ada. Pembebasan lahan juga belum dilakukan. Kadir sempat menanyakan keberlanjutkan pekerjaan ke pihak yang menangani pembebasan lahan, katanya sudah mau dilakukan. "Semoga terwujud. Tapi kalau tidak dilakukan, setiap musim utara tiba, repot kita," tuturnya.

                                                                        (***)

Dermaga Tambatan Perahu di kawasan Jikomalamo yang terletak diantara Kelurahan Sulamadaha dan Kelurahan Takome, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. (Nurkholis Lamaau)





Hasil Musrembang: Jikomalamo Tambatan Perahu Ternate - Hiri


Setahun pasca Musrembang, Tambatan Perahu Jikomalamo akhirnya direalisasikan. Sebagaimana yang tertera dalam dokumen Pengadaan nomor 600/434/.a/DOK-PENG/ULP/DPU-KT/2015 tanggal 21 September 2015, proyek dibawa Dinas Perhubungan Kota Ternate ini dipegang oleh Apak, salah satu pengusaha berdarah Cina di Ternate, yang bergerak di multi sektor.

Hasil tender, Apak menangani dermaga tambatan perahu. Sedangkan Adam Marsaoli dibawa Dinas Pekerjaan Umum (PU) menangani akses jalan masuk ke lokasi dermaga. "Itu (Dermaga tambatan perahu) proyek Dinas Perhubungan Kota Ternate di tahun 2015. Anggarannya Rp800 Juta, yang diperuntukkan untuk pelabuhan saja," ujar Hamadaeng, Kepala Pelaksana Proyek Tambatan Perahu Jikomalamo, saat saya temui di kediamannya.

Dokumen Pengadaan pembangunan tambatan perahu Jikomalamo 21 Sptember 2015. (Istimewa)

Anggaran sebesar Rp800 Juta itu kemudian dibagi untuk Pajak Penghasilan (PPH) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Waktu itu kami diberi waktu 4 bulan pengerjaan, tapi kami mampu menyelesaikan dalam jangka waktu sekitar 2 bulan sekian. Saat itu orang-orang Hiri juga ikut turun bekerja," ujarnya.

Sementara, akses jalan masuk ke lokasi tambatan ditangani kontraktor Adam Marsaoli. "Kami tangani pelabuhan. Kalau Pak Adam untuk akses jalan masuk, mereka dibawa PU Kota Ternate," jelasnya.

                                                                     (***)
                                                             
Pembangunan Villa milik Adam Marsaoli, salah satu kontraktor ternama di Kota Ternate, yang dihentikan Dinas Lingkungan Hidup Kota Ternate. (Nurkholis Lamaau)
                                                                  

"Pemilik lahan itu diantaranya Ahadi, Husen, Yusuf dan saya sendiri. Ada juga lahan milik Hamjah yang dibeli Adam Marsaoli. Kalau saya punya Pak Kapolda yang langsung bayar sebesar Rp30 Juta." Rustam, warga Sulamadaha dan juga salah satu diantara pemilik lahan tersebut.


Disulap Wisata dan Villa untuk Sang Jenderal


Dermaga beton yang dikawal Hamadaeng selesai lebih awal dari target yang disepakati dalam kontrak kerja. Akses jalan masuk dibawa Dinas PU pun selesai sesuai kesepakatan kontrak. Di pertengahan 2016, proyek terhenti. Namun, pembukaan ruang di sekitar lokasi tidak untuk terminal atau ruang tunggu, sebagaimana yang dibahas dalam Musrembang.

Pantauan saya di seputaran lokasi, di sisi kiri dan kanan berdiri sejumlah lapak pedagang. Sedangkan di sebelah timur, berdiri beberapa villa. Bahkan sebuah villa dengan ukuran besar terlihat menempel di bibir tebing di atas pantai. "Villa ini Adam Marsaoli bangun untuk ditempati Pak Kapolda bersantai," ujar salah seorang warga yang tak ingin namanya ditulis.

Penasaran, saya coba menelusuri siapa pemilik lahan dan apakah benar, wacana yang berkembang terkait pembangunan Villa untuk Kapolda Maluku Utara, Brigjen Pol Drs. Tugas Dwi Apriyanto itu. Beredar kabar, di wilayah itu ada beberapa lahan milik warga yang dijual ke Adam Marsaoli.

"Pemilik lahan itu diantaranya Ahadi, Husen, Yusuf dan saya sendiri. Ada juga lahan milik Hamjah yang dibeli Adam Marsaoli. Kalau saya punya Pak Kapolda yang langsung bayar sebesar Rp30 Juta," ujar Rustam, warga Sulamadaha dan juga salah satu diantara pemilik lahan tersebut.

Pasca merebaknya pemberitaan di media massa terkait keterlibatan Kapolda Maluku Utara atas kehadiran Villa, ditepis oleh kapolda sendiri. "Itu bukan milik saya, tetapi  punya Pak Adam Marsaoly," ungkap Kapolda Malut, Brigjen Pol Drs. Tugas Dwi Apriyanto, saat menggelar jumpa pers di Lantai II Kantor Polda Malut baru-baru ini.

Jenderal bintang satu itu menambahkan, kehadirannya di Jikomalamo lantaran ia hoby mancing dan diving. " Itu pun di luar tugas. Tapi kalau maunya saya tidak ke situ (Jikomalamo), saya sudah tidak ke situ lagi," ungkapnya.

"Saya pertaruhkan pangkat dan jabatan saya. Saya juga tidak akan melacurkan pangkat dan jabatan saya hanya untuk lokasi Jikomalamo semata," tandas mantan Kapolda Malut yang sudah serah terima jabatan (Sertijab) di Mabes Polri pada Jumat (7/7/2017) lalu, dan digantikan Brigjen (Pol) Achmad Juri untuk menduduki kursi nomor One di Polda Malut.







Beberapa buah foto yang memperlihatkan Kapolda Maluku Utara Brigjen Pol Drs. Tugas Dwi Apriayanto bersama ajudannya, menyambangi lokasi Jikomalamo, sebelum berdirinya Villa yang kini menuai masalah. (Istimewa)










Masalah Sudah Selesai..!!!


Beberapa waktu lalu, saya memperoleh sejumlah foto yang memperlihatkan Kapolda Malut Brigjen Pol Drs. Tugas Dwi Apriyanto bersama beberapa ajudannya menyambangi lokasi tersebut. Di foto itu, nampak Kapolda mengenakan kaos orange lengan panjang, celana panjang warna hitam dan memakai topi coklat bermotif loreng. Di foto itu, mereka tampak memantau lokasi sebelah timur yang kini berdiri beberapa villa.

Selasa (4/7/2017) saya bergegas ke Polda Maluku Utara. Pagi itu, suara musik menghentak keras di halaman kantor Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Malut. Sejumlah anggota tanpa pakaian dinas harian (PDH), asik menikmati dentuman musik. Sebagian terlihat ikut berjoget dan menyanyi riang, mengikuti alunan musik.

Di salah satu sudut ruangan, beberapa anggota tengah menikmati santapan siang. Semua larut merayakan Hari Ulang Tahun Bhayangkara Polri yang ke-71 di Mako Polda Malut pagi itu. Beberapa saat kemudian, Kapolda Maluku Utara Brigjen Pol Tugas Dwi Apriyanto, serta beberapa ajudan berjalan beriringan di halaman depan kantor.

Saya coba mendekat untuk mengkonfirmasi perihal foto itu, sekaligus menanyakan wacana keterlibatannya yang sempat membuming di media massa di Kota Ternate belum lama ini. Namun para ajudan langsung mencegat. Mereka mengatakan, kasus Jikomalamo sudah selesai. "Kasus Jikomalamo sudah selesai yah. Pak Kapolda sibuk, tidak bisa diwawancara," tegas salah satu ajudan.

Melihat anak buahnya mencegat, jenderal bintang satu itu hanya berjalan, berlalu melewati beberapa anggota dengan suara musik menghentak kencang.

Terpisah, Kabid Humas Polda Malut AKBP Hendry Badar kepada saya, juga mengatakan hal yang sama. Jikomalamo sudah selesai. Menanyakan, apakah sudah masuk dalam ranah hukum, kata Hendry, karena belum ada yang melapor.

"Anda terlambat info. Silahkan tanya ke Pak Adam Marsaoly. Karena Pak Kapolda ke Jikomalamo hanya diving dan mancing. Jadi masalah Jikomalamo sudah selesai," tegasnya.

Diperlihatkan beberapa foto atas keberadaan Kapolda Malut Brigjen Pol Tugas Dwi Apriyanto di lokasi Jikomalamo, Hendry hanya menjawab singkat, "Masalah sudah selesai. Saya mau pergi rapat," tutupnya.
                                                                        (***)

Puluhan warga di Kota Ternate tengah menikmati liburan di kawasan Jikomalamo, Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate. (Nurkholis Lamaau)









Wisata di Lahan Sengketa


Sabtu (1/6/2017) siang, tepat di akhir pekan libur lebaran 2017, ribuan warga terlihat memadati kawasan Jikomalamo. Namun, kawasan yang diapit Kelurahan Sulamadaha dan Takome ini masih menjadi polemik penetapan batas wilayah. Tarik ulur di tingkat kelurahan hingga lembaga adat dan pemerintahan, belum memberikan titik terang.

"Lahan itu pernah menjadi rebutan dua orang. Mereka warga saya, namanya Pak Hamjah dan Mahmud Rogu," ujar Samsudin Samad, Lurah Sulamadaha, saat saya temui di kediamannya.

Klaim-mengklaim antara Mahmud Rogu sebagai penggugat dengan Hamjah sebagai tergugat pun terjadi. Menurut kedua bela pihak, lahan tersebut milik orang tua mereka, yang sudah dikelola turun-temurun. Hal itu mereka buktikan dengan beberapa tanda batas.

Upaya penyelesaian di tingkat pemerintah kelurahan hingga agama pun sudah dilakukan. Namun tidak ada hasil. Akhirnya, persoalan dibawa ke ranah hukum. Setelah diambil sampel, kajian di lapangan, serta keterangan dari berbagai pihak, akhirnya Pengadilan Negeri Kota Ternate memutuskan. "Hasil sidang dimenangkan oleh tergugat Hamjah," katanya.

Karena fakta kepemilikan lahan disahkan oleh Pengadilan, maka posisi Hamjah di atas angin. Lahan tersebut kemudian dijual ke rekanan Adam Marsaoli. "Lahan itu dijual ke Pak Adam dan akhirnya digarap sebagai ikon pariwisata," katanya.

Menanyakan berapa harga yang dilego serta surat kepemilikan lahan dari dinas terkait, Samsuddin mengaku tidak tahu. "Kalau persoalan itu, langsung saja tanyakan ke Pak Hamjah. Karena saya tidak tahu," tambahnya.

Jalur masuk ke wilayah Jikomalamo tak pernah sepi. Hilir mudik kendaraan roda dua dan empat tak pernah putus. Hal ini seakan menegaskan bahwa, kawasan Jikomalamo menjadi 'magnet baru pariwisata' di Kota Ternate. Bahkan, kata Samsuddin, Wisata Pantai Sulamadaha yang dikelolah Dinas Pariwisata Kota Ternate sepi pengunjung.

Hanya saja, kawasan Jikomalamo yang diklaim sebagai ikon pariwisata itu tidak dikelolah Dinas Pariwisata Kota Ternate. Di kawasan Jikomalamo, tidak ada ucapan 'selamat datang di kawasan pariwisata', sebagaimana yang dijumpai di sejumlah kawasan pariwisata pada umumnya.

Tarif parkir kendaraan di lokasi tersebut pun bervariasi. Untuk kendaraan roda dua dipatok Rp5000. Sedangkan roda empat Rp10.000. Semua diberlakukan tanpa karcis kendaraan. "Iya, semua itu dikelolah secara swadaya oleh masyarakat," kata Syamsuddin.

Di depan jalur masuk kawasan Jikomalamo, berdiri sebuah papan penanda yang tertulis 'Wilayah Hukum Adat-Kaha Kie Se Kolano-Tanah Adat Kesultanan Ternate'. Menanggapi hal itu, lagi-lagi Samsudin mengaku tidak tahu. "Pengklaiman kesultanan bukan wilayah saya," tandas Samsuddin yang juga tidak tahu-menahu persoalan sertifikat tanah tersebut.

Di depan jalur masuk kawasan Jikomalamo, berdiri sebuah papan penanda yang tertulis 'Wilayah Hukum Adat Kaha Kie Se Kolano, Tanah Adat Kesultanan Ternate. (Nurkholis Lamaau)





Menanggapi hal itu, Jogugu (setingkat Perdana Menteri-red) Kesultanan Ternate, Julkiram kepada saya menjawab datar. Katanya, persoalan sengketa lahan Jikomalamo sudah dikonfirmasi lebih awal di beberapa media massa (media di Kota Ternate).

"Terkait Jikomalamo silahkan konfirmasi ke Pak Sultan (Ir Sjarifuddin Sjah). Tapi biasanya hal-hal seperti itu saya yang menanggapi sih, cuman sudah dalam beberapa tahapan komunikasi dan selanjutnya nanti melalui beliau (Sultan) yang jelaskan, supaya satu pintu kan," ujar Julkiram memelas.

Dikonfirmasi terpisah, Sultan Ternate dengan jabatan 'Kolano Masoa' Ir Sjarifuddin Sjah mengatakan, tanah itu milik 'Aha Kolano' (milik Kesultanan Ternate). Hal ini ditandai dengan berdirinya sebuah papan di depan akses jalan masuk kawasan Jikomalamo yang tertulis 'Wilayah Hukum Adat-Kaha Kie Se Kolano-Tanah Adat Kesultanan Ternate' itu.

Bahkan, kata Sjarifuddin, lahan di kawasan tersebut terdata di Dinas Pertanahan. Hanya saja tidak terlampir dalam bentuk surat seperti, akta tanah atau nota tanah. Menanggapi persoalan transaksional lahan yang melibatkan salah satu petinggi Polda Maluku Utara, pihak rekanan/kontraktor dan warga setempat, saudara kandung Sultan Ternate yang ke-48, (Alm) Mudaffar Sjah ini tak menampik.

"Iya saya tahu itu. Nah, kalau dijual kan harus diperlihatkan dulu bukti sertifikatnya, ada atau tidak, jangan main jual begitu. Kalau penyelesaiannya, langsung saja tanyakan ke Jogugu," tutupnya.
(***)

Pantai Wisata di Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat. Salah satu destinasi wisata di Kota Ternate yang dikelola Dinas Pariwisata Kota Ternate. http://desnantara-tamasya.blogspot.co.id/TAKJUB INDONESIA





"Berdasarkan data di bulan Januari tahun 2017 pendapatan per minggu di Pantai Sulamadaha mencapai Rp15 Juta sampai Rp16 Juta-an. Itu angka pasti. Tapi sekarang sudah di angka Rp7 Juta." Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate, Samin Marsaoly.


Jikomalamo Seret Pendapatan Pantai Wisata Sulamadaha


Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate, Samin Marsaoly kepada saya mengatakan, Jikomalamo bukan milik Pemerintah Kota Ternate. Namun, jika muncul kawasan baru (resort/pariwisata), tentu masyarakat akan beralih. "Sudah pasti itu," kata Samin kepada saya via telephone, Rabu (19/7/2017).

Menurut Samin, pemerintah tidak melulu berpikir target Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Tetapi yang dipikirkan adalah masyarakat punya pendapatan. "Jadi tidak harus melulu ke PAD yah. Tapi bagaimana peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Itu yang lebih penting," tandasnya.

PAD (Pedapatan Asli Daerah), kata Samin, bisa dikejar jika lokasi tersebut dikelola pemerintah. Sebab status Jikomalamo milik orang per orang. "Jadi kalau mau dikembangkan silahkan, asal tetap memperhatikan ketentuan dan aturan yang berlaku," katanya.

Samin mengakui, di pertengahan 2016 tepatnya usai lebaran, pendapatan di Pantai Wisata Sulamadaha mengalami penurunan. "Pokoknya separuh dari pendapatan biasa," tandasnya.

Ia menerangkan, berdasarkan data di bulan Januari tahun 2017 pendapatan per minggu di Pantai Sulamadaha mencapai Rp15 Juta sampai Rp16 Juta. Namun sekarang sudah di angka Rp7 Juta-an. "Persoalannya kan kepemilikan lahan di Jikomalamo belum dikelola pemerintah daerah saja," ujarnya.

Selain itu, alasan pemerintah belum mengambil alih secara full lantaran persoalannya terletak pada tata ruang. Disamping itu, alasan Dinas Pariwisata tidak terburu-buru mau mengambil alih karena, pembebasan lahan membutuhkan modal yang cukup besar. "Tetapi sesungguhnya pemerintah tidak ada perbedaan pendapat persoalan itu," ujar Samin.

Berdasarkan informasi yang diterima, lanjut Samin, sudah ada rentang waktu yang diberikan hingga akhir 2017. Nantinya, kawasan Jikomalamo akan ditata kembali. Ditata dalam arti, lahan milik orang per orang di Jikomalamo harus mengikuti masterplannya. Sehingga, mereka harus menyesuaikan dengan tata ruang. "Pokoknya mulai 6 bulan ke depan rencana itu sudah jalan," katanya.

(***)

Salah satu villa yang cukup besar, menempel tepat di tebing sebelah kiri di kawasan Jikomalamo. (Nurkholis Lamaau)



















"Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jikomalamo masuk dalam kawasan hutan produksi. Sementara, yang diajukan berupa kegiatan resort (pariwisata). Kalau persoalan perubahan bentang alam, nanti ada dokumen baru bisa di tela'ah." Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate, Edy Hatari.


Penantian Izin Prinsip hingga Pemulangan UKL-UPL


Di tengah berlangsungnya aktivitas pengembangan resort di kawasan Jikomalamo, belakangan diketahui, formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang semestinya diajukan Pemrakarsa ke DLH sebelum aktivitas resort dimulai, ternyata diserahkan saat aktivitas pengembangan (mengubah bentang alam dan pembangunan villa) tengah berjalan.

Formulir yang disusun oleh konsultan dan kemudian diserahkan melalui Pemrakarsa itu bahkan dikembalikan, lantaran belum memenuhi beberapa item. "Karena ada beberapa item yang belum dipenuhi. Makanya aktivitas pembangunan di Jikomalamo dihentikan sementara," ujar Edy Hatari, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate, saat saya temui di kantornya, Selasa (11/7/2017).

Edy menjelaskan, mekanisme permohonan UKL - UPL terlebih dahulu disusun oleh konsultan, dengan mengajukan surat permohonan arahan dokumen lingkungan hidup yang dilengkapi dengan gambaran rencana kegiatan (termasuk skala besaran kegiatan) ke DLH. "Disitu baru kita kaji lagi, apakah layak dikeluarkan UPL - UKL nya atau tidak," katanya.

Menanyakan alasan formulir UKL-UPL yang diserahkan Pemrekarsa dikembalikan, Edy mengatakan, karena ada beberapa item yang belum dilengkapi. Salah satunya adalah izin prinsip dari Badan Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang (BKPRD) dari Badan Perencanaan dan Pembangunan (BAPPEDA) Kota Ternate.

"Makanya aktivitas pembangunan di Jikomalamo dihentikan sementara. Coba tanya ke BAPPEDA. Karena harus ada izin prinsip dari mereka," katanya.

Peta Rencana Hutan Produksi di Kota Ternate yang dapat di konversi. (Foto: BAPPEDA Ternate)

Wilayah Jikomalamo, kata Edy, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masuk dalam kawasan hutan produksi. Sementara, yang diajukan berupa kegiatan resort (pariwisata). Menanyakan, apakah hutan produksi dapat dikonversi menjadi lokasi resort, kata Edy, "nanti ada dokumen baru bisa di tela'ah,".

"Kemarin di Jikomalamo itu tidak ada reklamasi, tetapi pemadatan di bagian tebing. Makanya karena tidak memiliki dokumen, DLH imbau aktivitas pembangunan dihentikan sementara," tambahnya.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menandatangani PP Nomor 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

Jokowi menandatangani PP tersebut pada 22/12/2015. Seperti dikutip dari situs Setkab, dalam PP itu disebutkan, perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial, atau untuk wilayah provinsi. Perubahan secara parsial dilakukan melalui: a. tukar-menukar kawasan hutan; atau b. pelepasan kawasan hutan.

"Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: a. menteri atau pejabat setingkat menteri; b. gubernur atau bupati/wali kota; c. pimpinan badan hukum; atau d. perorangan, kelompok orang, dan/atau masyarakat," bunyi pasal 8 ayat 1 dan 2 PP tersebut.

Adapun perubahan peruntukan kawasan hutan melalui tukar-menukar menurut PP ini, hanya dapat dilakukan pada: a. hutan produksi tetap, dan/atau b. hutan produksi terbatas. Dimana, mekanisme tukar-menukar sebagaimana dimaksud, dilakukan untuk: a. pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen; b. menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan; atau c. memperbaiki batas kawasan hutan.

"Tukar-menukar kawasan hutan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan ketentuan: a. tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit 30 persen dari luas DAS (Daerah Aliran Sungai), pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, dan b. mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola," bunyi pasal 12 ayat 1 PP tersebut.

Lebih lanjut disampaikan bahwa tukar-menukar kawasan hutan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan lahan pengganti dari: a. Lahan bukan kawasan hutan; dan/atau b. kawasan hutan produksi yang dapat dikonservasi, dengan memenuhi persyaratan:

a. Letak, luas, dan batas lahan pengganti yang jelas;
b. Terletak dalam DAS, provinsi, atau pulau yang sama;
c. Dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional kecuali yang berasal dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang masih produktif;
d. Tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan;
e. Mendapat pertimbangan  dari gubernur tentang informasi lahan pengganti.


Menurut PP itu, permohonan tukar-menukar kawasan hutan diajukan oleh pemohon kepada menteri. Selanjutnya, menteri akan membentuk tim terpadu yang akan menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi kepada menteri.

Dalam hal tukar-menukar kawasan hutan dengan luas paling banyak 2 hektar dan untuk kepentingan umum terbatas yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah, menteri membentuk tim yang anggotanya berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

"Berdasarkan hasil penelitian tim terpadu atau tim sebagaimana dimaksud, menteri menerbitkan persetujuan prinsip tukar-menukar kawasan hutan atau penolakan," bunyi pasal 13 ayat 5 PP tersebut.

Dalam hal rekomendasi tukar-menukar kawasan hutan yang disampaikan tim terpadu menunjukkan bahwa tukar-menukar kawasan hutan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, menurut PP ini, menteri sebelum menerbitkan persetujuan prinsip tukar-menukar kawasan hutan, harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari DPR.

"Persetujuan prinsip tukar-menukar kawasan hutan diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 2 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun," bunyi pasal 15 ayat 1 PP ini.

Pelepasan Kawasan Hutan

PP ini juga menegaskan, kawasan Hutan Produksi yang dapat dilakukan pelepasan berupa kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak produktif, kecuali pada provinsi yang tidak tersedia lagi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak produktif.

"Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi dengan luas kawasan hutan sama atau kurang dari 30 persen kecuali dengan cara tukar-menukar kawasan hutan," bunyi pasal 19 PP ini.

Menurut PP ini, pemegang keputusan pelepasan kawasan hutan wajib: a. menyelesaikan tata batas kawasan hutan yang dilakukan pelepasan; dan b, mengamankan kawasan hutan yang dilakukan pelepasan.

Tata batas sebagaimana dimaksud diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 1 tahun sejak diterbitkannya keputusan pelepasan kawasan hutan dan tidak dapat diperpanjang. Kecuali dalam hal pemegang keputusan pelepasan kawasan hutan merupakan instansi pemerintah dapat diperpanjang paling lama 1 tahun.

"Pemegang keputusan pelepasan kawasan hutan yang belum memenuhi kewajiban dilarang memindahtangankan kawasan hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain," bunyi pasal 23 PP ini.

Di waktu yang sama, saya menyambangi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Ternate di Jalan Cengkeh Afo, Kota Ternate. Namun Kepala Bappeda Said Assagaf tidak berada di ruangannya. Sementara, Kasubdit Tata Ruang Bappeda Ternate, Syaiful menolak diwawancara.

Saya diarahkan menemui Kepala Bidang Fisik dan Prasarana. Namun jawaban yang sama terlontar dari mulut pria yang enggan menyebut namanya itu. "Jangan saya. Persoalan itu langsung tanyakan ke bapak (Kepala BAPPEDA Ternate Said Assagaf). Saya mencoba mencari nomor telephone Kepala BAPPEDA Ternate, Said Assagaf. Ketemu.

Melalui sambungan telephone, Said Assagaf mengatakan, sebelumnya BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) telah melakukan rapat dengan melibatkan beberapa SKPD terkait. Sayangnya dari hasil rapat itu, ia mengaku belum tahu. "Hasilnya saya belum tahu . Maaf yah, sementara saya masih di Jakarta. Nanti saya konfirmasikan dengan Sekda dulu," katanya.

Menanyakan pengajuan UKL dan UPL dari Pemrakasa dipulangkan DLH lantaran belum memenuhi Izin Prinsip dari BKPRD, Said mengaku baru tahu informasi itu. "Oh, saya baru tahu itu. Iya nanti saya coba koordinasikan ke DLH Ternate yah. Karena saya masih di Jakarta," tutupnya.

Saya pun memutar motor menuju kediaman Adam Marsaoli di Jalan Batu Angus, Kelurahan Ake Huda, Kecamatan Ternate Utara. Namun, rumah megah bercat putih itu tampak sepi. Pagar depan rumah digembok. Tak ada aktivitas yang terlihat. "Pak Adam sudah keluar. Dia pulang tidak menentu," ujar salah satu pedagang nasi yang berjualan di pojok kanan pagar rumah berbahan beton, milik kontraktor ternama di Kota Ternate itu.

(***)

Aktivitas penggusuran di sekitar lokasi Jikomalamo. (Istimewa)


"Sejauh ini kita terkendala di RTRW yang ternyata, di situ (kawasan Jikomalamo) adalah hutan produksi. Jadi harus ada Izin Prinsip dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Bappeda. Kalau itu sudah selesai, proyek pembangunan terminal dan ruang tunggu kita lanjut." Kepala Dinas Perhubungan Kota Ternate, Thamrin Alwi.



Terkendala Status Lahan


Kepala Dinas Perhubungan Kota Ternate, Thamrin Alwi kepada saya via Telephone, Selasa (18/7/2017) mengatakan, terkait Jikomalamo pihaknya sudah melakukan kajian internal dengan beberapa instansi terkait. Proses yang berlangsung sebanyak 4 tahapan itu akhirnya disetujui oleh Walikota Ternate, H. Burhan Abdurrahman. Bahkan nilai anggaran yang disiapkan untuk pembangunan terminal dan ruang tunggu sudah disampaikan ke pihak legislatif.

"Kami tinggal menunggu hasilnya seperti apa. Dan kalaupun disetujui, tentu dengan pertimbangan status tanah (Jikomalamo) harus jelas. Sebab tarulah itu tanah negara atau tanah tidak bertuan, kemudian kita bayar ganti rugi lahannya. Tentu di pemeriksaan saya kena. Jadi konyol bodoh-bodoh namanya" kata Thamrin.

Thamrin menuturkan, upaya pembukaan ruang untuk dermaga Ternate-Pulau Hiri sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Tahap pertama, direncanakan di Pelabuhan Rakyat (pelabuhan sekarang), namun ditolak. Kedua di Hol Sulamadaha, yang menjadi objek wisata Sulamadaha saat ini, juga ditolak.

"Sehingga, daripada anggarannya sia-sia dan jangan sampai pemerintah dianggap tidak serius, maka dari pelbagai pertimbangan, alternatif terakhir adalah Jikomalamo. Dengan harapan, setelah Jikomalamo maka akses penghubung menuju ke lokasi kurang lebih 2 kilo itu akan dibangun, dan itu sudah dibangun oleh PU," jelasnya.

Ia menandaskan bahwa, area pelabuhan harus tetap pelabuhan. Pariwisata pun demikian. Tidak boleh ada penggabungan dalam satu ruang. "Jadi sekarang saya tinggal menunggu hasil dari status tanah tersebut. Karena Jikomalamo itu sudah di tahap ketiga setelah menuai masalah di perencanaan sebelumnya. Jadi saya juga tidak mau gegabah mengambil keputusan," bebernya.


Kecamatan Pulau Hiri. (Foto: Nurkholis Lamaau)


Nurkholis Lamaau
(Jurnalis)

Kamis, 20 April 2017

Kartini dibalik Kebaya Batik

Sejak Kamis kemarin, hingga Jumat 21 April 2017, pukul 02.17 Wita ini, saya diperhadapkan dengan beberapa naskah berita bertema Kartini. Baik dari politisi, aktivis, ekonom, sosialita, hingga organisasi-organisasi kaum hawa lainnya.

21 April adalah hari untuk ibu kita Kartini. Ya, sebuah hari yang didegungkan kaum hawa. Terlintas sederet teks hasil reportase jurnalis di lapangan, saya seakan membaca sejuta perlawanan, gugatan, keinginan, kritikan, peluang, perlindungan, kesetaraan dan harapan.

Kalau dari politisi, pembahasannya 'perempuan bisa terjun ke dunia politik untuk membawa aspirasi perempuan'. Dari aktivis, 'kesetaraan hak perempuan di lingkungan sosial'. Sedangkan perempuan-perempuan pebisnis, tentu tema-nya 'wanita adalah penggerak roda perekonomian'.

Tidak sampai di situ, sektor perhotelan hingga dealer otomotif pun tidak ketinggalan. Di hotel, instruksi bos General Manager meminta agar karyawan perempuannya mengenakan kebaya bermotif batik.

Sedang di dealer, promo-promo harga roda dua jenis matic ikut tampil meramaikan 21 April. Tak lupa, para owner menempatkan beberapa model (SPG) berkebaya batik.

Kembali saya membuka google, menatap foto-foto kartini, sepertinya Kartini hanya punya satu gambar. Foto sosok yang mengenakan batik kebaya memang menjadikan pahlawan emansipasi wanita Indonesia itu terlihat anggun, teduh, dan bersahaja.

Mungkin karena hanya satu gambar itulah yang menjadi salah satu faktor pengenalan Kartini dari generasi ke generasi dengan batik kebaya.

Batik kebaya adalah bagian budaya yang dikenakan perempuan Indonesia. Tapi itu bukan hak ekslusif Kartini. Meski tetap penting untuk memunculkannya sebagai budaya asli kita. Yang jelas, Kebaya Batik, atau Batik Kebaya-bukanlah-Kartini.

Perjuangan kartini dibalik kebaya itu hanya mencerdaskan kaum perempuan dari kebodohan, keterbelakangan ilmu dan keterampilan.

Kartini yang bangsawan itu tidak egois menikmati fasilitas kebangsawanannya. Ia tidak ingin cerdas sendiri di tengah kebodohan kaum perempuan pada masanya.

Sudah saatnya kita (perempuan) mengejewantahkan pikiran-pikirannya dari penggalan surat-suratnya yang terbukukan dalam, "habis gelap, terbitlah terang".

Zaman telah berubah. Kaum perempuan kini memiliki kesempatan sama menjadi cerdas. Perempuan dengan kemampuan setara pria, berhak mendapatkan tempat diranah yang tak berjenis kelamin ini.

Hanya saja, kodrat mengandung, melahirkan, dan menyusui jangan sampai dikesampingkan. Sebab hal tersebut adalah kodrat ilahiah yang tidak diberikan kepada pria, demi kelangsungan hidup manusia.

Namun terkadang, di titik ini sulit dilakoni kaum Hawa dengan sempurna hanya karena giuran posisi, peluang, ataupun karir di ruang-ruang publik.

Kartini adalah potret futuristik. Pikirannya jauh kedepan melampaui zamannya. Maka, perlu diingat bahwa bekal terpenting dari seorang perempuan bukanlah kemolekan tubuhnya, bukan pula kecantikannya, melainkan seberapa berilmu dan gunanya di tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, perempuan sekarang tidak harus selalu mengidentikkan diri sebagai Kartini yang fisik dan berkebaya. Tetapi dari sisi gagasan, perjuangan terus berlanjut, semangat tak boleh surut, serta pandangan tetap jauh kedepan.

Sebab dari tahun ke tahun Hari Kartini hanyalah perulangan cerita yang tak pernah berubah. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana mendinamisasinya melalui lahirnya gagasan-gagasan baru dari cerita lama.

Kartini - kartini baru harus lahir setiap tahun membawa perubahan bagi generasinya. Bukan menjadi Beban Sejarah.

Karena perempuan sebagai pusat kecintaan. Sudah saatnya perempuan menghargai urusan dirinya. Al-Qur'an menyebut perempuan di sisi laki-laki (al-Ahzab). Allah sangat menghargai keberadaan perempuan, yang mempunyai kesempurnaan yang sama dengan laki-laki. Karena perempuan adalah juru rawat sebuah masyarakat.

Salam untuk Perempuan...!!!

Nurkholis | Makassar 21 April 2017 |