Kamis, 20 April 2017

Kartini dibalik Kebaya Batik

Sejak Kamis kemarin, hingga Jumat 21 April 2017, pukul 02.17 Wita ini, saya diperhadapkan dengan beberapa naskah berita bertema Kartini. Baik dari politisi, aktivis, ekonom, sosialita, hingga organisasi-organisasi kaum hawa lainnya.

21 April adalah hari untuk ibu kita Kartini. Ya, sebuah hari yang didegungkan kaum hawa. Terlintas sederet teks hasil reportase jurnalis di lapangan, saya seakan membaca sejuta perlawanan, gugatan, keinginan, kritikan, peluang, perlindungan, kesetaraan dan harapan.

Kalau dari politisi, pembahasannya 'perempuan bisa terjun ke dunia politik untuk membawa aspirasi perempuan'. Dari aktivis, 'kesetaraan hak perempuan di lingkungan sosial'. Sedangkan perempuan-perempuan pebisnis, tentu tema-nya 'wanita adalah penggerak roda perekonomian'.

Tidak sampai di situ, sektor perhotelan hingga dealer otomotif pun tidak ketinggalan. Di hotel, instruksi bos General Manager meminta agar karyawan perempuannya mengenakan kebaya bermotif batik.

Sedang di dealer, promo-promo harga roda dua jenis matic ikut tampil meramaikan 21 April. Tak lupa, para owner menempatkan beberapa model (SPG) berkebaya batik.

Kembali saya membuka google, menatap foto-foto kartini, sepertinya Kartini hanya punya satu gambar. Foto sosok yang mengenakan batik kebaya memang menjadikan pahlawan emansipasi wanita Indonesia itu terlihat anggun, teduh, dan bersahaja.

Mungkin karena hanya satu gambar itulah yang menjadi salah satu faktor pengenalan Kartini dari generasi ke generasi dengan batik kebaya.

Batik kebaya adalah bagian budaya yang dikenakan perempuan Indonesia. Tapi itu bukan hak ekslusif Kartini. Meski tetap penting untuk memunculkannya sebagai budaya asli kita. Yang jelas, Kebaya Batik, atau Batik Kebaya-bukanlah-Kartini.

Perjuangan kartini dibalik kebaya itu hanya mencerdaskan kaum perempuan dari kebodohan, keterbelakangan ilmu dan keterampilan.

Kartini yang bangsawan itu tidak egois menikmati fasilitas kebangsawanannya. Ia tidak ingin cerdas sendiri di tengah kebodohan kaum perempuan pada masanya.

Sudah saatnya kita (perempuan) mengejewantahkan pikiran-pikirannya dari penggalan surat-suratnya yang terbukukan dalam, "habis gelap, terbitlah terang".

Zaman telah berubah. Kaum perempuan kini memiliki kesempatan sama menjadi cerdas. Perempuan dengan kemampuan setara pria, berhak mendapatkan tempat diranah yang tak berjenis kelamin ini.

Hanya saja, kodrat mengandung, melahirkan, dan menyusui jangan sampai dikesampingkan. Sebab hal tersebut adalah kodrat ilahiah yang tidak diberikan kepada pria, demi kelangsungan hidup manusia.

Namun terkadang, di titik ini sulit dilakoni kaum Hawa dengan sempurna hanya karena giuran posisi, peluang, ataupun karir di ruang-ruang publik.

Kartini adalah potret futuristik. Pikirannya jauh kedepan melampaui zamannya. Maka, perlu diingat bahwa bekal terpenting dari seorang perempuan bukanlah kemolekan tubuhnya, bukan pula kecantikannya, melainkan seberapa berilmu dan gunanya di tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, perempuan sekarang tidak harus selalu mengidentikkan diri sebagai Kartini yang fisik dan berkebaya. Tetapi dari sisi gagasan, perjuangan terus berlanjut, semangat tak boleh surut, serta pandangan tetap jauh kedepan.

Sebab dari tahun ke tahun Hari Kartini hanyalah perulangan cerita yang tak pernah berubah. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana mendinamisasinya melalui lahirnya gagasan-gagasan baru dari cerita lama.

Kartini - kartini baru harus lahir setiap tahun membawa perubahan bagi generasinya. Bukan menjadi Beban Sejarah.

Karena perempuan sebagai pusat kecintaan. Sudah saatnya perempuan menghargai urusan dirinya. Al-Qur'an menyebut perempuan di sisi laki-laki (al-Ahzab). Allah sangat menghargai keberadaan perempuan, yang mempunyai kesempurnaan yang sama dengan laki-laki. Karena perempuan adalah juru rawat sebuah masyarakat.

Salam untuk Perempuan...!!!

Nurkholis | Makassar 21 April 2017 |