Jumat, 27 Januari 2017

Tetaplah Galak Diantara Penjinak


Jumat 27 Januari 2017 malam, bertempat di sebuah warung kopi (Warkop) di bilangan kompleks Toddopuli, Kota Makassar, saya duduk ditemani salah seorang rekan jurnalis (panggilan tertinggi dari masyarakat) terhadap seorang pemberi kabar (warta-wan).

Sebut saja FR. Lelaki muda itu duduk diam dengan handphone blackberry di tangannya. Sesekali, ia mengarahkan pandangan ke wajah saya dengan raut risau. "Kanda, saya tidak diundang masuk kedalam group WhatzApp di salah satu lembaga pemerintahan yang dibuat Humasnya," ucapnya, mulai membuka masalah.

Mendengar hal itu, saya menjawab, "karena anda (watchdog-anjing penjaga) yang sulit dijinakkan," ucapku tak bermaksud 'bercanda' diselingi tawa secara bersamaan. Saya lanjut bertanya, berapa orang yang tidak diundang masuk kedalam group made in public relation itu. "Hanya saya sendiri," tandasnya.

"Cerita panjang," ucapku tanpa suara. Sebatang rokok ku tarik dari bungkusan bergambar tengkorak, yah... ritual kecil sebelum memulai sebuah percakapan serius. Silakan diingat, sudah berapa berita berbau kritik yang kau buat?, "banyak sekali," katanya.

Apakah dalam pemberitaan, mereka (yang diberitakan) mengancam bakal melaporkanmu ke lembaga penegak hukum lantaran datamu tidak akurat?, atau istilah ke-kini-annya, pencemaran nama baik. "Sejauh ini tidak ada," ucapnya tegas.

Namun, atas hal itu, ia mengaku sulit memperoleh agenda pemerintahan. Ah, kekuwatiranmu yang wajar itu, dapat mengakibatkan malam menjadi siang. "kamu bukan Humas dalam sebuah instansi pemerintahan yang sarat protokolerisme. Pergerakannmu bebas, tanpa mengabaikan etik. Kedudukanmu tidak lebih tinggi dari seorang pejabat dan tidak begitu rendah dari seorang peminta-minta. Kamu, sengaja, tidak diundang gabung (kedalam group) karena betapa berharganya kamu dalam mengontrol," kataku, disambut tawa secara bersamaan.

Maaf, atas ungkapan watchdog (anjing penjaga) itu. Sebab, istilah itu bukan hal baru dalam dunia jurnalistik. Dimana, istilah ini menjadi sebuah konotasi dari ciri khas hewan yang dikenal peka itu. Maka, dengan sifat tersebut, anjing kerap "dimanfaatkan" sebagai penjaga oleh sebagian orang. Bahkan dalam lembaga keamanan, anjing "digunakan" sebagai pelacak jejak (mengendus) sebuah kejadian.

(Baca: frase/arti kata "jinak" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tidak liar, tidak buas, atau tidak galak. Kalimat ini selalu kita jumpai dalam sifat hewan yang baru saja melalui tahapan penjinakkan (Baca: KBBI). Singkatnya, kata jinak adalah antonim (lawan kata) dari liar, buas, dan galak).

Watchdog Journalism (jurnalisme penjaga) bukan berarti sama dalam wewenang "digunakan" atau "dimanfaatkan" oleh mereka yang berkepentingan. Seorang wartawan dalam aktivitas kejurnalistikkan (kegiatan mengumpul berita) berperan sebagai pengawasan sosial (sosial of control) sebagaimana yang termuat dalam UU No 40 Tahun 1999. Namun, dalam pandangan teori pers bebas (journalism libertarian) kerap disalahtafsirkan. Sehingga pers dalam posisi ini rentan dimanfaatkan oleh sebagian pihak yang memiliki kepentingan.

Penempatan pers diantara legislatif, eksekutif, yudikatif dalam pilar demokrasi bukan tanpa alasan. Sebab pers merupakan lembaga yang tidak memihak terhadap kepentingan individual atau kelompok. Pada hakikatnya, pers bebas tidak bersifat mengikat (terikat kepentingan sepihak). Pers hanya berpihak pada kebenaran sebagai pegangan dalam melakukan pengontrolan secara terus - menerus (continue control).

Malam terperosok jauh kedalam. Menyisahkan hening, dingin, dan kenyataan yang tertuang dalam percakapan semalam. Jauh penatap Jakarta via berita, debat Kandidat Gubernur DKI Jakarta berlangsung alot. Sedang di beranda fesbuk, berita Hakim Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan berkelindan menyesakkan dada.

Ah! sayang yah, hakim (arti: keadilan), balik diadili. Dewi Themis dengan mata ditutupi kain, dua timbangan dan sebilah pedang dalam seperangkat simpul keadilan, simbol belaka. Manis kan?. Tak perlu berbelasungkawa, kawan. Diatas pengadilan dunia, tidak ada yang lebih adil dari Tuhan yang Maha mengadili,".

Untuk rekanku yang menabung risau. Aku berandai. Jika kita diberi kesempatan hidup hingga "Qiamat", tulis saja. Barangkali dengan berita, sehari sebelum penghancuran, mereka yang bangun pagi dengan koran dan secangkir minuman hangat di sisi kursi memiliki kesempatan merenung dan segera bertaubat. Taubatan nasuha...

NURKHOLIS, Makassar, Sabtu 28 Januari 2017

Rabu, 25 Januari 2017

PARPOL


Telaah kritis terhadap orientasi politisi dalam partai Islam hari ini

Islam dan Politik, bukan hal baru dalam rantaian sejarah. Sejak hijrah tahun 622 M hingga wafat tahun 632 M, posisi Nabi Muhammad SAW mengalami perubahan besar.

Di Madinah, menurut Harun Nasution, mereka mempunyai posisi yang baik dan segera menjadi suatu komunitas umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi pemimpin masyarakat yang multi kulture itu.

Pembentukan masyarakat muslim baru tersebut, ditandai dengan pembuatan perjanjian tertulis pada tahun 622 M antara Nabi dan kelompok-kelompok masyarakat Madinah yang kemudian dikenal dengan " Piagam Madinah ". Dimana, dalam undang-undang tersebut, mengatur kehidupan sosial politik bersama kaum muslim dan non muslim Madinah.

Namun, dalam memahami Islam dan politik, hal yang patut disadari adalah adanya beragam keunikan diantara perbedaan. Terlebih di Indonesia ini. Barangkali semboyan "Bhineka Tunggal Ika" mewakili keberagaman itu. Namun, seperti dikatakan tadi bahwa, walaupun tidak didapati dalam bentuk fisik, namun secara abstarksi terbentuk sebuah pola yang mengalami diskursus tentang politik Islam itu sendiri.

Berbagai doktirnisasi yang mengarah pada transhistoris menempati posisi sentral. Politik sendiri, secara umum dipahami sebagai cara memperoleh kekuasaan. Namun dalam hal ini, Hasan Al Banna membagi politik dalam dua sisi, yakni internal dan eksternal. Dimana, sisi internal politik adalah mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritik jika mereka melakukan kekeliruan. Sedangkan sisi eksternal politik adalah memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya.

Hanya saja, tak dapat dipungkiri bahwa, pendekatan historis dengan jargon " putra daerah " yang pada kenyataannya membentuk realitas politik baru. Karena aktivitas yang dilakukan menciptakan mosaik kesadaran, emosi, keberpihakan dan pilihan-pilihan politik masyarakat secara luas, sehingga terbentuklah peta-peta primodialisme sebagai wajah baru politik lokal.

Islam sendiri adalah ajaran yang serba mencakup dan menyeluruh atas dasar prinsip ajaran Nabi Ibrahim Alaihissalam (Ketahuidan). Hal ini tidak sekadar tercermin dalam kedua pedoman, Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi juga menjadi watak umat Islam itu sendiri. Dalam hal ini, Ahmad Zubaidi mengatakan, Islam tidak sekadar dipandang dalam bingkai orientalistik, tetapi juga sebagai instrumen dalam memahami dunia.

Hal ini, jika dilihat dalam perspektif Islam, tidak ada suatu persoalan pun yang keluar dari persoalan agama. Dalam salah satu hadist, Rasulullah SAW menegaskan, "antum bi umuri dunyakum " yang artinya : anda lebih mengetahui dunia, anda tahu urusan anda.

Disini, dalam kalimat dunyakum (dunia anda), banyak disalah tafsirkan sebagai lawan dari akhirat, yang dalam pandangan sekulerisme (paham-paham keduniaan) kemudian menjadi signifikan. Memisahkan dengan lawan kata, " Dunia dan Akhirat".

Pada dasarnya, harus diakui bahwa kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak terlepas dari politik. Mulai dari masa kolonialisme hingga reformasi, tokoh-tokoh politik Islam cukup kental dalam setiap sepak terjangnya. Dimana, Islam yang membentang selama beberapa abad ini membangun sistem kesadaran baru dan juga ruang yang baru. Berangkat dari traumatisasi sejarah yang ditimbulkan, pada gilirannya kemudian memetakan kekuatan-kekuatan sosial baru.

Dr Kuntowijoyo dalam artikelnya, "Obyektivikasi Agenda Reformasi Ideologi" mencoba memecahkan politik dan ideologi. Sejarah kita, kata Kuntowijoyo, adalah sejarah yang terputus. Menurutnya, jika saja Orde Baru memberikan ruang terhadap " nafas politik " yang sehat, tentu persoalan pertentangan telah usai. Sebab pada dasarnya, hal tersebut tidak bisa diharapkan manakala pemerintahan bergerak dengan pola militeristik. Karena yang ada hanyalah bara api dalam sekam. Dimana, pertentangan antara ideologi politik antara kaum nasionalis sekuler dan Islam orientalisme dalam bingkai Indonesia seakan tak pernah padam di era yang diklaim demokratis ini.

Dalam sejarahnya, pertentangan ideologis politik antara Islam dan sekuler telah menimbulkan korban. Terutama masa pengikut yang nyaris tak pernah mengerti political game para elit. Mereka (saya sebut awam) hanya akan beraksi manakala tekanan - tekanan serta agitasi elit yang menghembuskan janji manis. Belum lagi kearifan sejarah belum ditangkap secara sadar bagi mereka yang dikategorikan sebagai elit politik. Walaupun nuansa kesadaran para elit politik didominasi oleh ajaran yang bersifat normatif, namun disatu sisi, tidak dibarengi dengan kearifan sejarah yang memiliki nilai-nilai sosialis dan humanistik.

Dewasa ini, banyak kalangan, khususnya generasi muda, yang tiba-tiba merasa dirinya adalah seorang ketua partai, menjadi narasumber berita, juru bicara partai dalam berbagai forum. Its okey. Itu orientasi tiap-tiap individu yang barangkali tersirat sebuah cita-cita membangun negeri. Hanya saja, realitas tersebut kemudian berlanjut pada fase - fase yang begitu sulit. Khususnya bagi pendatang baru dengan pemahaman politik dan modal yang minim.

Kesulitan mulai timbul ketika ternyata, tidak banyak donatur yang siap memberikan modal untuk menutupi sewa sekretariat, perjalanan ke daerah, dan sebagainya. Disamping itu, mereka kemudian disibukan dengan memburu orang-orang yang mau didudukkan untuk mengisi formasi struktur Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hingga Dewan Perwakilan Cabang (DPC). Disamping tuntutan partai untuk harus hadir dan memperkenalkan diri kepada publik, sekadar mencari unsur pembeda atau keunggulan dalam membuat platform partai.

Implikasinya kemudian berdampak pada kebingunan massa yang sejatinya memiliki keragaman persepsional yang tidak sepenuhnya memahami political game para elit tadi. Tak heran jika hujan tudingan berdatangan. Dimana, segala persepsi mengarah pada elit yang dinilai, hanya mau menjadi jenderal tanpa siap menjadi kopral.

Mau tidak mau, elit akan diperhadapkan dengan populasi massa yang akrab disebut konstituen. Sebab berapapun jumlah populasi pendukungnya, jumlahnya tetap sama. Rumusan matematikanya, semakin banyak partai maka, bilangan pembagiannya semakin besar dan itu berarti perolehan suara menjadi kecil.

Makassar, kamis 26 Januari 2017

Rabu, 11 Januari 2017

LITERASI





 
















Oleh: Nurkholis Lamaau
 
(Redaktur Metro dan Pendidikan Koran Pedoman Makassar)



LITERASI. Awalnya, kata " literasi " adalah hal yang asing bagi saya. Literasi, baru saya ketahui setelah berkenalan dengan beberapa sahabat yang aktif bergerak sebagai relawan di komunitas - komunitas tersebut.


Literasi diartikan “membaca” yang tidak sekadar membaca biasa. Para pengamat pendidikan berpendapat, literasi lebih merujuk pada metode membaca substansif, reflektif, dan analisis. Substansif yang berarti membaca dengan melihat intisarinya, membaca reflektif yang berarti membaca sambil membuat perbandingan, dan membaca analisis yang berarti menganalisa sesuatu yang dibaca. 


Literasi sendiri penerapannya lebih dilakukan pada anak – anak usia dini. Tujuannya adalah untuk memenuhi kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan si anak yang bersangkutan. Sehingga, untuk mencapai semua itu, si anak harus dibiasakan dengan membaca . Tujuannya, generasi penerus bangsa tidak lagi mengalami buta huruf. Ya!, suatu problem yang belum tuntas sampai hari ini.


Beberapa waktu lalu, saya menyambangi salah satu toko buku di bilangan Jl Monginsidi Makassar. Di situ, saya temukan sebuah buku dengan judul “Literasi Media”. Jika sejauh ini, yang kita temui adalah sebuah komunitas tertentu yang aktif menyebarkan virus-virus membaca di kalangan anak – anak, lantas bagaimana pula dengan bentuk literasi media itu. Penerapannya pada siapa?. Sayangnya, saya tak berkesempatan memiliki buku itu lantaran bayangan tanggal tua yang tiba – tiba datang meneror. Semoga di awal Februari 2017, buku bersampul biru itu masih berdiam setia di rak toko buku itu.


Literasi dan Media


Sebagai pendatang baru yang bergelut dalam dunia media, bagi saya media dalam arti sempit bersifat penengah (mediator). Nah’ jika literasi dan media digabungkan maka, tentu memiliki pengertian yang berbeda. Saya rasa, setiap penulis memiliki alasan (latar belakang) untuk menyusun buku tersebut. Tentunya, dalam buku itu, pembahasannya cukup kompleks, walau dipaparkan dalam konteks yang relatif singkat. 


Namun, jika disematkan istilah literasi kedalam konteks media, tentu penjabaran dalam isi buku tersebut lebih spesifik dan merujuk pada isi atau konten berita yang disajikan di sejumlah media massa. Dimana, masyarakat dituntut lebih cerdas dalam membaca berita. Barangkali dengan mamahami isi berita yang disajikan, masyarakat akan lebih dewasa dalam menilai, apakah berita yang dibaca bersifat hoax, hoex, atau huax. Sebab, berita yang disajikan dapat berimpliksi terhadap kehidupan sosial masyarakat luas.


Singkat kata, literasi adalah membaca yang dibarengi kriteria – kriteria tertentu.
Di sini, saya sedikit berhati – hati untuk menyimpulkan isi buku yang belum saya baca itu. Namun, judulnya selalu menghantui saya untuk meraba, apa – apa yang dibahas dalam isi buku tersebut.


Atas perihal ini, saya sempat bertanya ke salah seorang guru. Dimana, belakangan ini, geliat literasi di Indonesia, terutama di daratan Maluku Utara semakin tumbuh subur. Berbagai aktivitas keliterasian kian meningkat. 


Bagaimana bapak melihat itu. Tanya saya kepada beliau. Jawabannya, “ yang harus kita ketahui, literasi itu memiliki makna tersendiri. Ada pesan – pesan pendidikan di dalamnya.

"Literasi kalau dilihat dalam program pemerintahan yakni Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Hanya saja, persoalan tersebut belum mencapai titik klimaks dalam mengikuti setiap perubahan. Hal ini tentu dilatari dari pemangku pendidikan yang belum menunjukan peranan secara maksimal," katanya.


Menurutnya, dari sisi kata, literasi itu membaca. Tapi masih di terjemahkan seperti PBA (Pemberantasan Buta Aksara). Karena yang dimaksud literasi adalah membaca substansif, reflektif, dan analisis. Namun nyatanya, literasi dalam program (PBA) yang dicanangkan pemerintah dilihat sebagai sesuatu kebiasan formalitas berupa sekadar membaca biasa. Sehingga, yang terlihat hanyalah belajar membaca, bukan membaca belajar. 

"Semua belum menyentuh ke arah itu, mengapa?, karena guru belum dimaksimalkan untuk mengimplementasikan program literasi yang dicanangkan pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu lulusan," ujarnya.


Ia memaparkan, pada umumnya, "mutu pendidikan" merupakan sebuah istilah lazim yang biasa dipakai secara umum dengan melihat penerpan yang berjalan di sekolah-sekolah. Sementara, berbicara mutu tak melulu terpaku pada mutu lulusan semata. Tetapi, mutu lebih disandarkan pada sebuah sistem. Diantaranya, mutu isi, mutu proses, mutu penilaian, mutu sekolah dan lain-lain. 

"Komponen – komponen inilah yang kemudian menjadi suatu sistem dalam satu kesatuan yang apabila semua dapat dicapai maka akan menciptakan suatu lulusan yang bermutu," tandasnya.


Pendidikan dan Realitas Hari Ini

Kalau kita mau menanam tetumbuhan dalam jumlah besar di sebuah lahan, tentu yang kita lakukan adalah memilih bibit unggul. Namun kenyataannya, kita belum memahami pendidikan secara utuh dan holistik. Baik dari aspek normatif maupun predikat. 


Dengan demikian, maka Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) itu, dianggap sebagai sesuatu yang formalitas, atau paling dasarnya, “yang penting anak bisa bermain”. Padahalnya, dia (anak) adalah bibit – bibit unggul yang sedang disiapkan untuk menunjang prosesnya kedepan. Hanya saja, nawacita itu belum dikelolah secara profesional oleh pemerintah. Kenyataan sekarang, guru PAUD adalah guru yang tidak sempat memperoleh ambisi utamanya, maka pilihannya adalah “jadi guru PAUD sajalah... yang penting ada yang dikerja sajalah...”. 


Tak bisa dibayangkan, apa yang akan mereka lakukan untuk bibit unggul tadi. Sebab, bibit-bibit unggul ini harus ditangani oleh mereka yang berkompeten sesuai dengan bidang keahliannya. Ada ahli psikologi anak, ahli psikologi perkembangan, ahli psikologi sosial, sehingga terbentuklah karakter yang berkualitas. Sebab, karakter bukan di ajarkan, tetapi dibentuk.


Apalagi, di tahun 2016 kemarin, dari Central Conectitut State University merilis, Indonesia termasuk negara yang tingkat membaca para warganya masih sangat rendah. Bahkan, berada di urutan ke 60 dari 61 negara. Untuk itu, dibutuhkan keseriusan semua pihak untuk ikut terlibat dalam menanggulanginya.

Pertanyaannya, jika buta aksara di Indonesia masih tetap bertahan di urutan 60 dari 61 negara, lantas bagaimana mereka membaca media ?... 


(Do'a dan harapan selalu ada untuk sahabat - sahabat pegiat literasi).

Minggu, 01 Januari 2017

2017 dan Profesionalisme Pers


Hal terburuk dalam profesi wartawan adalah bila wartawan hanya menyodorkan voice record atau alat perekam suara di depan mulut narasumber, lalu menunggu wartawan lain bertanya. Keberadaannya sekedar numpang pertanyaan sekaligus jawaban. Inilah yang kemudian menjadikan framing wacana dan bahkan penanda tekstual (huruf, titik, koma) di media massa menjadi sama, walaupun terdapat perbedaan pada judul berita. Sebab, berasal dari pertanyaan dengan jawaban yang sama pula. Wartawan tipe-tipe seperti ini banyak kita temukan.

Pada dasarnya, rubrik berita yang mengisi lembaran media massa, disesuaikan dengan post peliputan para wartawan. Seperti di post ekonomi & bisnis, krinimal, hukum, politik, metro, pemerintahan, dan lain sebagainya. Khusus untuk di lembaga pemerintahan, hampir semua lembaga/instansi tersebut, wartawan difasilitasi. Salah satu tempat yang disediakan adalah " press room ". Fasilitas tersebut disediakan untuk kemudahan dan kenyamanan wartawan dalam bekerja, sekaligus mengawal kerja-kerja pemerintah. Tak jarang jika wartawan membuat korps atau satuan - satuan tertentu yang disesuaikan dengan desk/post peliputannya. Misalnya, wartawan yang memiliki post peliputan di gedung pemerintah kota, disebut Pelita (Peliputan Kota), atau dalam liputan - liputan kriminal yang kerap berhubungan langsung dengan pihak-pihak keamanan disebut Wartawan Krimsus (Kriminal Khusus), dan kalau wartawan yang berhubungan dengan peliputan ekonomi, lebih banyak bercokol di group-group tertentu, seperti di WhatzApp, BBM, dan lain-lain dengan nama Wartawan Ekobis (Ekonomi Bisnis).

Seiring kemajuan teknologi, turut memudahkan pekerjaan para wartawan. Berbagai kejadian yang terjadi di belahan wilayah lainnya dapat disaksikan dalam waktu yang sama. Namun ada kalanya, kemajuan teknologi membuat informasi menjadi  berlebihan, sehingga mengurangi nilai atau kadar kualitas informasi itu sendiri. Di ruang redaksi, para redaktur tak lagi mengalami kekeringan atau kekurangan bahan. Redaktur bahkan menemukan kelebihan bahan. Ironisnya, bagi konsumen media, informasi tak lagi mencerahkan, melainkan membingungkan, dan bahkan menyesatkan.

Salah satu dampak dari kemudahan mengakses teknologi yang dialami wartawan masa kini adalah tumbuhnya wartawan " copy paste ". Berita copy paste biasanya diambil dari media - media tertentu (terutama media online), untuk ditempel di surat kabarnya. Padahal, dalam Kode Etik Jurnalistik yang tersusun dalam lembaga - lembaga pers, jelas tercantum larangan plagiarisme (penjiplakan). Kejadian ini pernah dilakukan salah satu media massa di Kota Ternate. Dimana, berita yang digarap sendiri oleh penulis dan diterbitkan di blog milik penulis, di " copy paste," -- sekaligus dengan foto--, lalu dimuat di halaman depan korannya, tanpa konfirmasi sedikitpun. Kejadian lainnya adalah sebuah aksi yang digalang oleh mahasiswa Maluku Utara di Kota Makassar terkait penolakan investasi kelapa sawit di daratan Gane , diterbitkan di sebuah media massa di Maluku Utara dengan judul yang benar - benar berbeda dari faktanya.

Pada akhirnya, konsumen yang merogoh kocek untuk mencari kebenaran informasi menemukan ada yang sama dalam isi berita. Padahal, tujuan pembeli, pembaca, pelanggan media (khususnya media cetak) ingin mencari informasi dalam perspektif yang berbeda.

Perilaku ini tentu merugikan kantor media tempat si wartawan bekerja dan sesuatu yang miris bagi wartawan yang bersangkutan. Wartawan seperti ini melakukan pekerjaan serba instan tanpa mengajukan pertanyaan. Tidak mau merasakan panas dan hujan debu di jalanan, tanpa merasakan amukan gelombang karakter narasumber garang di lapangan. Maka pada akhinya, kita hanya menemukan tulisan yang kering, tak berjiwa, dan hampar di mata pembaca.

Tanda tanya besar adalah tujuan menjadi seorang jurnalis untuk apa. Apakah sekedar berkeinginan foto-foto dengan artis, pejabat-pejabat besar, makan gratis, jalan-jalan gratis, atau, berkalung kamera kiri kanan, dan atau numpang lari dari kejaran stigma "pengangguran".

Semoga, di tahun 2017 ini, pers semakin profesional dalam bekerja. Dan, segala usaha yang tersaji di lembaran kertas media massa --tempat yang bersangkutan bekerja-- dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pembaca yang dewasa. Sebab, pembaca yang cerdas senantiasa mencari informasi yang berbeda dari kejadian yang sama.