Jumat 27 Januari 2017 malam, bertempat di sebuah warung kopi (Warkop) di bilangan kompleks Toddopuli, Kota Makassar, saya duduk ditemani salah seorang rekan jurnalis (panggilan tertinggi dari masyarakat) terhadap seorang pemberi kabar (warta-wan).
Sebut saja FR. Lelaki muda itu duduk diam dengan handphone blackberry di tangannya. Sesekali, ia mengarahkan pandangan ke wajah saya dengan raut risau. "Kanda, saya tidak diundang masuk kedalam group WhatzApp di salah satu lembaga pemerintahan yang dibuat Humasnya," ucapnya, mulai membuka masalah.
Mendengar hal itu, saya menjawab, "karena anda (watchdog-anjing penjaga) yang sulit dijinakkan," ucapku tak bermaksud 'bercanda' diselingi tawa secara bersamaan. Saya lanjut bertanya, berapa orang yang tidak diundang masuk kedalam group made in public relation itu. "Hanya saya sendiri," tandasnya.
"Cerita panjang," ucapku tanpa suara. Sebatang rokok ku tarik dari bungkusan bergambar tengkorak, yah... ritual kecil sebelum memulai sebuah percakapan serius. Silakan diingat, sudah berapa berita berbau kritik yang kau buat?, "banyak sekali," katanya.
Apakah dalam pemberitaan, mereka (yang diberitakan) mengancam bakal melaporkanmu ke lembaga penegak hukum lantaran datamu tidak akurat?, atau istilah ke-kini-annya, pencemaran nama baik. "Sejauh ini tidak ada," ucapnya tegas.
Namun, atas hal itu, ia mengaku sulit memperoleh agenda pemerintahan. Ah, kekuwatiranmu yang wajar itu, dapat mengakibatkan malam menjadi siang. "kamu bukan Humas dalam sebuah instansi pemerintahan yang sarat protokolerisme. Pergerakannmu bebas, tanpa mengabaikan etik. Kedudukanmu tidak lebih tinggi dari seorang pejabat dan tidak begitu rendah dari seorang peminta-minta. Kamu, sengaja, tidak diundang gabung (kedalam group) karena betapa berharganya kamu dalam mengontrol," kataku, disambut tawa secara bersamaan.
Maaf, atas ungkapan watchdog (anjing penjaga) itu. Sebab, istilah itu bukan hal baru dalam dunia jurnalistik. Dimana, istilah ini menjadi sebuah konotasi dari ciri khas hewan yang dikenal peka itu. Maka, dengan sifat tersebut, anjing kerap "dimanfaatkan" sebagai penjaga oleh sebagian orang. Bahkan dalam lembaga keamanan, anjing "digunakan" sebagai pelacak jejak (mengendus) sebuah kejadian.
(Baca: frase/arti kata "jinak" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tidak liar, tidak buas, atau tidak galak. Kalimat ini selalu kita jumpai dalam sifat hewan yang baru saja melalui tahapan penjinakkan (Baca: KBBI). Singkatnya, kata jinak adalah antonim (lawan kata) dari liar, buas, dan galak).
Watchdog Journalism (jurnalisme penjaga) bukan berarti sama dalam wewenang "digunakan" atau "dimanfaatkan" oleh mereka yang berkepentingan. Seorang wartawan dalam aktivitas kejurnalistikkan (kegiatan mengumpul berita) berperan sebagai pengawasan sosial (sosial of control) sebagaimana yang termuat dalam UU No 40 Tahun 1999. Namun, dalam pandangan teori pers bebas (journalism libertarian) kerap disalahtafsirkan. Sehingga pers dalam posisi ini rentan dimanfaatkan oleh sebagian pihak yang memiliki kepentingan.
Penempatan pers diantara legislatif, eksekutif, yudikatif dalam pilar demokrasi bukan tanpa alasan. Sebab pers merupakan lembaga yang tidak memihak terhadap kepentingan individual atau kelompok. Pada hakikatnya, pers bebas tidak bersifat mengikat (terikat kepentingan sepihak). Pers hanya berpihak pada kebenaran sebagai pegangan dalam melakukan pengontrolan secara terus - menerus (continue control).
Malam terperosok jauh kedalam. Menyisahkan hening, dingin, dan kenyataan yang tertuang dalam percakapan semalam. Jauh penatap Jakarta via berita, debat Kandidat Gubernur DKI Jakarta berlangsung alot. Sedang di beranda fesbuk, berita Hakim Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan berkelindan menyesakkan dada.
Ah! sayang yah, hakim (arti: keadilan), balik diadili. Dewi Themis dengan mata ditutupi kain, dua timbangan dan sebilah pedang dalam seperangkat simpul keadilan, simbol belaka. Manis kan?. Tak perlu berbelasungkawa, kawan. Diatas pengadilan dunia, tidak ada yang lebih adil dari Tuhan yang Maha mengadili,".
Untuk rekanku yang menabung risau. Aku berandai. Jika kita diberi kesempatan hidup hingga "Qiamat", tulis saja. Barangkali dengan berita, sehari sebelum penghancuran, mereka yang bangun pagi dengan koran dan secangkir minuman hangat di sisi kursi memiliki kesempatan merenung dan segera bertaubat. Taubatan nasuha...
NURKHOLIS, Makassar, Sabtu 28 Januari 2017
