Jumat, 14 Oktober 2016

Dialog

Bagian I

Kita belum terekspos dan belum menjadi suatu market pembangunan yang nantinya dijadikan sebagai sebuah pegangan. Kalau di Ternate menjadi perjumpaan dari semua budaya tadi, bahwa ada jalur niaga, tapi hari ini sudah tidak ada. Ini kan hanya fobia. Tidak bisa memiliki standar yang namanya perubahan pembangunan. Kenapa, karena lanscap perubahan yang terjadi diakibatkan oleh perjumpaan budaya (akulturasi) sehingga terjadi reduksi nilai-nilai tadi. Padahal, jauh sebelumnya, kita sudah mengenal uang dollar. Bukan baru hari ini. Dulu, orang bayar cengkeh menggunakan uang dollar. Silahkan dilihat datanya di buku Dunia Maluku, Leonard D Andaya. Semua jelas di situ. Dimana, kaum perempuan pun terlibat kedalam bisnis penjualan cengkeh dengan bangsa luar.

Jadi ada tiga hal yang melahirkan isu kepusakaan itu. Pertama, eks pemerintahan dalam konteks benteng. Kedua, nilai agama yang di praktekkan oleh klompok-kelompok dari luar Indonesia yang memiliki relevansi dengan pembangunan hari ini sebagai dasar-dasar terbobrok pembangunan dalam konteks swasta, atau yang bisa memainkan ritme dalam kompetisi-kompetisi yang dimainkan oleh kelompok-kelompok lokal yang mengatasnamakan putra daerah, walaupun putra daerah tidak terlibat reformasi, tapi sampai hari ini, dicap saja.

Berbicara putra daerah tidak pernah mati di reformasi ini. Dan gara-gara reformasi, semua orang berbondong-bondong memerangi budaya demi bargening politiknya. Di Ternate ada klenten, gereja,  masjid, yang masih bisa di ukur secara fisik. Sisanya, hanya dilihat dari karakter. Mungkin kalau dilihat dari bahasa, misalkan basombar, leper, kadera, macam-macam. Jadi, ada ribuan kalimat yang menjadi alat komunikasi kita yang bersumber dari pengaruh dari Portugis. Saya mau menegaskan bahwa mudah-mudahan dalam diskusi ini, kita bisa mengetahui bahwa, sekali lagi Ternate kota puska dari aspek apa saja masih bisa. Hanya saja, apakah kepusakaan ini menjdi patron pembangunan atau tidak. Bagi saya tidak!, Kenapa, kerena tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang melindungi. Semestinya, puska ini harus dilindungi oleh Perda sebagaimana yang tertuang dalam UUD No 6 tahun 2014. Kalau hanya banyak cerita, ataukah institusi yang melindungi itu, tidak bisa.

Bagi saya, jawban dengan tema 'masih layakkah Ternate berstatus kota pusaka?', secara tegas saya mengatakan masih bisa. Tapi pertanyaannya adalah, bisakah keinginan tersebut diikuti dengan logika pembangunan pemerintah. Ada satu disertasi terbaik di Universitas Indonesia (UI) yang mengangkat tentang 'satu kota dua aturan'. Disertasi ini ditulis oleh Herman Usman, mungkin arahnya lebih merujuk pada persoalan ini.

Jadi, dari pengantar saya ini, (tema dialog) tetap masih bisa. Sebab secara fisik, masih ada klenten, gereja, masjid, dan benteng. Ini menjadi saksi bisu atas sejarah kita yang kemudian mengidentikkan kita dengan kepusakaan. Bagi saya, pemerintah hari ini harus bekerja keras, sesuai visi misi pemerintah dalam buku Ternate Kota Pusaka yang di angkat langsung oleh Walikota Ternate, Burhan Abdurahman pada saat beliau terpilih pertama sebagai Walikota Ternate, tentang konsep bagimana membangun kota pusaka. Intinya, bagaimana Ternate maju dengan mempertahankan nilai-nilai yang ada, dan bisa bergaung dalam konteks perjumpaan-perjumpaan budaya. Baik itu Eropa, Asia, dan segala macam budaya. Semua akan ketemu di sini (Ternate). Kalau anda lihat kasus Sail Morotai, kebetulan saya sempat mendekam dalam jeruji besi selama seminggu, gara-gara menolak Presiden SBY dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) hanya gara-gara masalah lanskap kota pusaka. Makanya, tema yang sudah hampir kami tidak mau diskusikan lagi.
Jadi terkait kepusakaan ini, mestinya ada ruang yang harus di sterilisasi. Untuk itu, ada budaya Cina, Eropa, dan Lokal yang bisa terinstitusi melalui lembaga. Tapi sayangnya, itu memiliki keterkaitan langsung dengan nilai-nilai agama. Jadi mungkin ini cacatan singkat dari saya untuk sementara.

Pertanyaan peserta forum :

Saya, Abdul Qadir Soamloe, perwakilan dari Ikatan Mahasiswa Kota Ternate (IPMKT) Makassar. Jadi, terkait tema yang di angkat Pusmat ini, saya pikir sudah layak karena. Disini, menurut saya, pemateri hanya menyampaikan gambaran umum saja. Sebab, berbicara Ternate kita perlu sistematikan secara pemetaan dulu. Karena di Ternate itu, ada utara, tengah, dan selatan. Dari dua wilayah itu, memiliki kultur  yang berbeda. Sementara, berbicara pusaka, yang mau saya tanyakan, kepusakaan apa yang dimaksud pemateri. Kalau pusaka yang dimaksud itu lebih ke aspek pembangunan, saya pikir itu lebih umum. Sedangkan, pusaka yang dilekatkan ke masyarakat di bagian utara, itu lebih menyentuh pada esensi. Puska yang mendalam, bagi saya adalah etika di situ sangat luar biasa. Kalau Ternate tidak layak mendapatkan predikat pusaka, bagi saya, itu keliru.

Sementara, salah satu pembicara mewakili HIPMIN Makassar, Dikoks mengatakan, tema yang diangkat PUSMAT Cabang Makassar membuat dirinya merasa tertantang. Ia mengatakan, kalau kita bicara kelayakan, tentu ada indikator/barometer yang kemudian menentukan layak atau tidaknya sebuah kota pusaka.

Kedua, status. Apakah Ternate sudah memiliki status?, Kalau ada, apa buktinya, apa dasarnya?. Kemudian, jika kita giring ke konteks  pembangunan, apakah Ternate yang berstatus sebagai kota pusaka ini termuat dalam program perencanaan pembangunan kota Ternate atau tidak. Apakah ada di RPJP, RPJMD, atau RPJN, sehingga ini menjadi imbas koneksivitas yang pada akhirnya kita harapkan akhir dari diskusi ini melahirkan sebuah gagasan, dan rekomendasi yang kemudian diberikan ke Pemkot Ternate untuk menjadikan sebuah landasan untuk diperjuangan. Itu pertanyaannya.

Terakhir, saya mau sampaikan bahwa, kemarin, saya dapat data dari teman di Tidore, itu ada tim riset, Konsultan Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) dari Kementerian PU dan Perumahan Rakyat. Jadi, dia bahas terkait tentang rencana pembangunan Kota Sofifi dan Tidore sebagai kota pusaka dunia. Pertanyaanya,  mampukah kawan-kawan mahasiswa Ternate mendorong Kota Ternate yang di gadang-gadang menjadi kota pusaka atau tidak. Dimana, jika direalisasi maka hal ini dapat diakomodir dalam program pembangunan nasional.

Dua hari kemarin, ada pertemuan terkait Rencana Wilayah Pembangunan Kota Sofifi dan Tidore yang bakal menjadi kota baru. Pertanyaannya, mampukah Ternate bersaing dengan Tidore dalam merebut kue pembangunan. Berikutnya, seberapa besar teman – teman Kota Ternate meyakinkan Pemkot Ternate. Sebab, dalam dialog kali ini, menarik kalau ada dari pihak pemerintah kota yang hadir. Karena dia bertanggungjawab terhadap proses pembangunan. Tapi kalau aspek teknis, regulasi, saya kira Ternate layak menjadi Kota Pusaka. Terakhir, jika hasil dari dialog ini di rekomendasi, coba dicek di Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) Pemkot Ternate, apakah di akoomodir. Terus, bagaimana model pembangunan dalam konteks pariwisata. Apakah dimasukan kedalam atau tidak. Kalau tidak, maka percuma saja.

Sementara, salah satu peserta forum, Yanto Hasan, mewakili Asrama Mahasiswa Maluku Utara (ASMALUT) Makassar, mengatakan di RPJMB itu sudah ada. Tapi, kondisi hari ini sangat jauh dari harapan. Ia mengatakan, mereka pernah melakukan dialog bersama Sultan Ternate, H. Mudaffar Sjah (alm). "Waktu itu, Ou (sebutan untuk sultan) meminta batas reklamasi berhenti tepat di Kampug Makassar, Lelong. Namun, upaya tersebut berlanjut hingga ke Salero pantai. Tentu ini ada semacam indikasi konspirasi yang dibangun oleh kaum konservatisme. Pertanyannya, PUSMAT mau bergerak dari mana?."

Sementara, salah satu peserta dialog asal Kota Tidore, Fatir Muhammad  angkat bicara. Ia menanggapi pernyataan salah satu peserta asal Tidore, Dikoks, terkait status Kota Tidore sebagai Kota Pusaka Dunia, dan status Ternate yang terdaftar dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) dalam skala nasional.

"Berdasarkan data, Kota Ternate sudah terdaftar dalam keanggotaan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Sedangkan Tidore dan bahkan Gowa, yang kita kenal sebagai daerah yang memiliki histroris besar pun tidak terdaftar. Ini saya bawa datanya," tegas Fatir, sembari memperlihatkan datanya.

Ia mengatakan, tentu hal tersebut menjadi persoalan dan misteri. Bahkan, konkretisasinya menjadi beban dan tanggungjawab bagi Kota Ternate. Apalagi, berdasarkan data yang dirangkum dari Badan Pusat Statistik (BPS) Malut, ada peningkatan angka kelahiran. Jika di sinkronkan dengan data pembangunan di Ternate, tentu sangat berpengaruh terhadap status kepusakaan ini. Fatir bahkan mempertanyakan bahwa, mengapa kepusakaan tidak digiring kedalam konteks Bioetik yang lebih bermanfaat di masa depannya.

"Saya menantang anda sekalian, apakah standar kepusakaan ini dapat menjamin peradaban kehidupan anda di masa depan? jelas tidak. Hanya saja kita telah terjerumus dalam peraturan perundang-undangan aset kebudayaan di negeri ini bahwasanya benda mati pun masuk dalam aset pusaka," tukasnya.

Sementara, Nurkholish Lamaau selaku pengamat di lapangan membeberkan, berdasarkan amatan di lapangan, nasib aset kepusakaan banyak yang rusak akibat ketidakjelasan pemerintah dalam pelestariannya. Misalnya beberapa benteng di bagian Ternate tengah dan selatan yang hancur. Atau dermaga kesultanan Ternate, Dodoku Ali yang kini telah di reklamasi. Hal ini kemudian diikuti dengan ketidakjelasan zona cagar budaya yang masih entah berentah dalam penetapannya. "Tentunya ada pergeseran upaya yang kontra terhadap statusnya sebagai Kota Pusaka," pungkas Nurkholis.

Usai mendengar penjelasan dan pertanyaan dari tiga audiens tersebut, pemateri Sumarlin Maate mengaku kagum atas keberanian mereka dalam membongkar kebobrokan lembaga pemerintah daerah. Ia mengatakan, mengapa dirinya menyebut lembaga pemerintah. Disini, ada yang namanya leader drust akademik, dari legion drust akademik, dia akan berubah menjadi leader drust politic. Kemudian dari tiga drust politik akan diperdebatkan melalui Badan Legislasi Daerah, yang anehnya dipakai menjadi Peraturan Daerah (PERDA). Jadi mematok otonomi daerah dan kemudian memberikan ruang. Jadi agak aneh memang.
Disini, ada daerah otonomi baru, dan daerah otonomi. Kalau Ternate dan Tidore ada di situ, lucu. Kok sampai hari ini kita masih memperdebatkan tentang budaya. Agak mengelitik bagi saya. Kalau saya dari Taliabu Kabupaten Sula, atau dari hutan sana, baru tiba-tiba berbicara birokrasi, kan lucu. Memang, tema ini cukup menantang. Saya juga binggung, Mu dibawa kemana daerah ini. Aapalagi sampai bupati mengeluarkan statemen, keluar (dari Provinsi Malut) dan bergabung dengan Sulawesi Tengah (Sulteng). Sejujurnya, saya gelisah. Sama seperti kalian, dan memilih pindah ke Makassar. Sebab di Maluku Utara, tidak cukup untuk kita berbicara seperti ini. Kita selalu bangga dengan sejarah yang kita punya, tetapi secara realitas, hari ini kita masih terpinggirkan.
Oke, saya ingin kalian sepakat di sini dulu, bahwa sejarah kita hanyalah runtuhan fakta – fakta yang di opok – opok oleh berbagai macam logika kebijakan sentral bisnis. Jadi memang DPRD di Indonesia Timur ini, ya Allah hu Akbar... Saya pernah menjadi salah satu publishing atau bidang Penelitian dan Pengembangan dalam salah satu LSM yang bergerak pada pemantauan atau monitoring perlamen, pintu terakhir presiden sistrealisme yang di anut oleh Indonesia. Gaya ini menganut Quantit Parlement State. Kenapa saya katakan quantit? Sebab kita berbeda dengan Amerika. Di Indonesia, presiden memegang kekuasaan tertinggi terhadap pemerintahan. Begitupun di daerah.

Jadi memang kendala kita ada di sini. Kemarin, Jokowi menolak 103 Perda lokal yang menyangkut nilai- nilai kearifan lokal. Di dalamnya, kalau menyangkut kearifan lokal, jujur saja ada lembaga kesultanan. Sudah pasti menganut nilai-nilai yang jauh dengan apa yang kita bayangkan di republik ini. Nah, jadi mau kota pusaka dunia, nasional kalau modelnya seperti itu, sama saja.

Teruntuk Ternate, memang sudah masuk pusaka nasional. Itu sudah disepakati. Tapi, di sini, maksud saya adalah perubahan-perubahan inilah yang kalau saya mengunakan istilah Toffler dalam pergeseran yang dimana, laju perkembangan industri akan membawa masyarakat stagnan di tengah-tengahnya. Kira-kira kalau di analogikan seperti kita tidur kemudian bermimpi sedang berlari terus sambil memikul benda berat. Nah, jadi seperti itulah mentalitas pemerintah daerah kita. Makanya, orang berlomba-lomba mencari format masa lalu untuk melegitimasi kekuasan politiknya. Dalam UU pemekaran Provinsi Maluku Utara, sudah jelas bahwa Kota Sofifi sebagai kota administrasi, dan itu jelas. Kalaupun sebagaimana yang disampaikan teman-teman forum, maka disini saya tegaskan bahwa pembangunan dalam logika perencanaan manapun, atau dalam pendekatan kebijakan negara manapun,  ada 3 hal. Pertama, sektor pemerintahan tersendiri, sektor pendidikan tersendiri, sektor budaya tersendiri, sektor pasar tersendiri. Ini yang acak di Malut sebenarnya. Jadi nilai-nilai budaya juga nanti ketemu di belakang. Logikanya begini, Utara-Selatan. Ataukah dari Taliabu saja misalnya, (yang belum sepenuhnya tahu budaya di Ternate) kemudian ketemu di belakang, akhirnya rusak semua. Jadi, yang saya maksud platfrom pembangunan pemerintah itu harus di tegaskan tujuannya. Mana wilayah yang dikatakan kearifan lokal? Kan tidak ada. Kendalanya di mana? RANPERDA. Ini yang tidak ada di Malut.

Karena ini penting agar kita tahu, mana wilayah pendidikan, pasar, dan budaya. Tapi kenyataanya kan campur aduk semua. Akhirnya seperti hutan rimba. Mahasiwa pun sudah tergabung di situ, kapitalis bawa modal. Akhirnya sulit kita temukan teori pembangunan tersebut. Ingat, bicara teori pembangunan itu gampang saja, tinggal bagaimana kita melihat arah mata angin untuk menyelesaikan itu. Karena saya rasa kita semua punya referensi yang sama. Di sini, ada infra maupun supra. Manivest dari infra akan terjawab lewat supra. Ujungnya aturan yang bicara. Karena kita negara republik yang menganut sistem demokrasi. Isyarat utamanya adalah peraturan hukum. Jadi tidak bisa mengatakan, kita ini masa lalu, tidak bisa!. Di situ harus di atur, karena memang ada konsekuensi terhadap perundang-undangan. Di Malut saya juga bingung. Badan Legislatifnya mana?.

Ingat indikator kemajuan suatu wilayah otonomi adalah dimana, DPRDnya aktif melahirkan peraturan. Kenapa, karena yang dia tahu Perda itu cuma satu. Perda apa? Perda perubahan APBDP. Tidak ada Perda Pembangunan. Di sini saya tidak mengada-ada. Padahal kita diberikan otonomi itu jelas, jadi bisa dibijaki seluas luasnya. Kecuali yang diatur oleh UU. Misalnya alutista, itu tidak bisa diatur di daerah, peradilan, kemiliteran, HI, keuangan, dari lima hak ini tidak diberikan di daerah. Kenapa, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, di Malut kelemahan kita hanya satu, yakni lembaga - lembaga pemerintahan belum mampu menafsirkan kehendak otonomi daerah. Sehingga atas hal ini semestinya harus ada lembaga non govermen organisasi. Tapi wajar saja, sebab ada dinamika baru di dalamnya. Memang di sini bisa dilihat di daerah baru. Pemerintahnya ingin anggaran yang besar untuk membangun daerahnya. Pertanyaan sederhana, ada 2 ruang yang saling bertahan di Malut. Terus tiba-tiba ada tambang berdiri. Tidak tahu siapa yang izin. Inilah yang turut mempengaruhi budaya tadi. Tentu dengan hadirnya tambang, karyawan dari luar masuk, terjadi pertukaran budaya, selesai. Jadi menurut saya, yang bisa dibilang pusaka ini satu saja, bekas pemerintahan VOC. Itu kalau mau jujur.

Perlu kita ketahui bahwa yang namanya nilai-nilai budaya dalam kajian kosmologi pasti mengandung nilai magic. Makanya, dikatakan karismatik menurut Webber melahirkan rasionalisme kepemimpinan, kesatria. Oleh karena itu, memang benar di daerah otonomi baru atau otonomi rata-rata kecelakan kita adalah pemahaman tentang bagaimana msyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan.

Kalau lembaga – lembaga  budaya tadi bisa kita jadikan suatu patron gerakan untuk mengontrol nilai - nilai ini, selesai. Kenapa? UU lembaga MD 3 salah satu pasal 126 C menjelaskan, masyarakat bisa melakukan evaluasi terhadap anggota DPR melalui pengusulan terhadap badan kehormatan dewan. Nah kalau dewan isap ganja, masyarakat cium tangan, tidak bisa. Makanya saya katakan, pijakan otonomi itu bukan putra daerah yang teriak. Tetapi teman – teman  yang bukan dari Maluku, Maluku Utara, berteriak di 1998. Ada yang mati di tembak, sebagian hilang belum sempat dicari, disitu lahirlah otonomi. Nah, maksud saya adalah kira - kira Peraturan Daerah (Perda) mana yang mau kita jadikan indikator. Tapi Alhamdulillah, ada kementerian. Kalau kita mau buka-bukaan sejarah, inikan sederhana saja. Syarat pemekaran otonomi, secara normatif, oke ada UUD. Tapi secara sosiologi, pertama, perguruan tinggi masuk. Bagaimana pergeseran IT akan mmpengaruhi semua nilai - nilai tercabut dari akarnya. Fukuyama bilang, akan muncul kelompok yang tidak tahan dalam bersaing, maka akan muncul radikalisasi, dan Malut sudah mengarah ke situ.

Makanya, orang menggunakan budaya untuk bertahan. Saya anak si ini, saya anak si ini, jadi hanya sebatas itu. Makanya kita harus melihat, kira – kira  kepusakaan ini dalam bentuk konstitusi ini sederhana, oke saya pinjam Bahari Berkesan, Ternate Kota Madani, dan lain – lain. Jadi ini tidak bisa lagi dipungkiri, karena ini merupakan konsekuensi.

Realitas – realitas  ini yang kemudian dimana, kita tidak pernah ada partisipasi. Apakah Pusmat mampu di sini, ataukah elemen menengah lain yang mampu membaca fenomena ini?. Untuk sementra, ada  tapi itu untuk diri sendiri atau kelompok. Kalau di Malut, banyak. Satu hal yang paling baik dalam demokrasi itu ada 4 pilar. Pertama pers, perguruan tinggi, partai politik, dan LSM. Sebab partisipasi demokrasi modern, 4 komponen ini mestinya kita di kota Ternate yang berbicara kota pusaka. Maka dari sinilah Perda kita belum sampai di Malut. Bahkan study akademiknya, orang pakai UGM, UI. Kalau mereka pakai di sana, mereka tidak melihat efek sosiologi, walau normatifnya jalan.

Walaupun dalam penerapan sebuah aturan kita menganut 3 aspek di dalamnya. Ada kemanfaatan, ada kepastian, ada keadilan, pertanyaan – pertanyaan  ini yang kemudian bergeliat menjadi satu makna pembangunan. Okelah, untuk terminal menghubungkan antara utara dan selatan. Kalau tidak ada pasar, celaka. Ini lanskap yang dibangun. Apalagi dana pemerintahan Saya rasa kalian sudah tahu, berapa miliar pertahun. Namanya kota dan kabupaten itu beda, hanya 1 saja yang bisa di andalkan di kota. Kalau bukan maritim, berarti instansi pemerintahan.

Di Malut, untuk Kota Ternate dan Tidore itu, dia akan disanggah oleh daerah lain. Oleh karena itu dia (Ternate – Tidore) menghadapi dua fenomena, baik fenomena, nasional, global, maupun lokal, dalam rangka membiayai pemerintahan daerahnya. Tentu akselerasi pembangunan harus dibuka dengan historis secara kompetitif dalam membangun suatu rencana pembangunan, sehingga makna sejarah tadi kita bisa jadikan platform untuk mengambil sebuah keputusan dan keputusan keputusan itu bisa ditafsirkan.

Logisnya, demokrasi itu sederhana, budgetnya dalam pembangunan. Tapi di Ternate itu, untuk mengurus Jiko Malamo, Sulamadaa atau drainase di pasar saja tidak bisa. Kenapa, karena ada ruang yang masih dipertahankan oleh kelompok tertentu dalam tanda kutip, kelompok ini dalam teori sosiologis dikatakan kelompok konserfatisme, atau kelompok – kelompok tua yang masih mempertahankan ruang – ruang  budaya sebagai sumber legitimasi politiknya di era demokrasi modern. Jadi mau rancang bagaimanapun kalau saya tidak menang tidak jadi. Kata kasarnya begitu. Ini masih menjadi geliat. Memang kalau anda lihat di Komite Pemantau Pemberdayaan Wilayah Otonomi Daerah, rata – rata otonomi baru itu bermasalah di situ. Di ruang birokrasi, orang berdebat tentang penguasa lama dan baru. Ini menjadi konflik yang di distribusikan oleh struktur birokrasi yang nantinya masyarakat muncul dengan ego sektoral/budaya, bahkan sampai – sampai mempengaruhi keyakinan kita. Padahal sesunguhnya bagaimana mencoba mempertahankan nilai – nilai lama. Hanya disinilah kita bisa mengetahui, mau dibawa ke mana negeri ini. Saya kira kelompok - kelompok non departemen negara ada di sini kerjanya. Terkait APBN, logika hitungannya begini, satu jiwa memiliki kebutuhan dikali dengan luas wilayah, sama dengan DAK. Semua ini masuk dalam class platform tadi yang nantinya di gabung dalam pembangunan. Apa tujuan negara atau pemerintah pusat?, mempercepat kemandirian daerah untuk mampu membiayai daerahnya sendiri. Kalau tidak, akan dilakukan pengabungan wilayah. Mudah – mudahan Ternate tidak menjadi wilayah tersebut. Tapi jika dilihatdari kondisinya tidak bisa.

Tidak ada yang bisa menjawab akselerasi perjumpaan wilayah – wilayah tersebut. Padahal, secarah historis, dia (Ternate) menjadi pelabuhan yang menghubungkan wilayah – wilayah perairan barat. Kota pusaka dunia bagi saya masih membentuk tatanan konsepsi sehingga orang mencoba mencari rumusan – rumusan. Nah, untuk mau focus dimana, bagi saya, cek APBD. Itu dari mana sumbernya. Sebenarnya yang memberi anggaran itu kapitalis. APBD itu dari mana. Kalau tidak ada metode untuk membongkar APBD, sekali lagi kita hanya mengulangi sakit hati. Terakhir kita buat gerbong, kelompok A, B, C, bertemu di demokrasi langsung, ujung – ujungnya kacau. Saya kira organ – organ atau elemen – elemen gerakan kita belum menyentuh ke ruang itu. Seingga, disini kita bias mengukur, dimana yang diseriusi.

Jumat, 07 Oktober 2016

Kesultanan, Tapal Batas, dan Konspirasi

Kata Sultan sudah sangat familiar di masyarakat Ternate, karena kata tersebut menjadi bahasa dan wacana keseharian masyarakat di suatu tempat, akibat daripada akulturasi budaya melalui jalur dagang (Baca: Ternate jalur sutra). Dewasa ini, Sultan di identikan dengan kerajaan dan lembaga adat, sebab ikon suatu kebudayaan berkiblat pada kesultanan (raja dan kadaton). Lembaga suatu kerajaan dibawa kendali Sultan atau seorang Raja. Ketentuan ini diatur secara normatif dalam hukum adat, sistem monarki dan hirarki yang dipakai sehingga kekuasaan tertinggi berada pada keputusan suara tunggal dari seorang idin.

Sultan adalah seorang pemimpin dalam suatu lembaga kerajaan, namun fungsi sosialnya pada skala masyarakat lokal, dalam arti dia menjadi pemimpin pada masyarakat lokal yang menganut atau menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional.

Dari beberapa buku historis yang saya baca (terkait keternatean), serta diskusi bersama beberapa sahabat, wilayah Ternate tidak seutuhnya masuk dalam wilayah kesultanan. Mungkin indikasinya jelas terlihat dari batas wilayah yang dimana dimulai dari Soasio mengarah ke utara (wilayah kesultanan). Terbagi di bagian tengah, terdapat Benteng Oranje (eks Pemerintahan VOC) yang merupakan area administratif pemerintahan. Jelas terlihat, aturan ini seakan masih terjaga hingga sekarang. Lanskap haritage ini kemudian mengantarkan Ternate masuk kedalam deklarator Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) pada tahun 2003 silam. Sehingga, Walikota Ternate, H. Burhan Abdurahman dengan konsep Bahari berkesan Jilid I dan II bergeliat dengan semangat haritage-nya.

Sayangnya, realitas yang saya temui di lapangan, beberapa benteng yang terdapat di wilayah Selatan dikerumuni semak belukar, reruntuhan tembok benteng di mana-mana, ketidakjelasan zonasi cagar budaya, serta tumpang tindihnya pembangunan di area benteng, tidak dipeributkan oleh pihak manapun. Baik dari pemerintahan maupun kesultanan. Karena, warisan (bukan yang di maksud terwarisi secara subjektif) tetapi lebih pada pengertian peninggalan-peninggalan penting yang memiliki nilai tinggi, objektif. (Masjid, benteng, klaten, gereja, serta pusaka alam), sudah di tentukan dalam batas-batas wilayahnya.

Salah satu group di facebook, yang membahas seputar adat se atoran masyarakat Moloku Kie Raha, saya melempar sebuah wacana yang termuat dalam salah satu media online yang digeraki oleh relawan informasi dengan judul berita : Sisi Hitam Pantai Falajawa Dalam Nuansa Ramadhan.

Disitu, saya katakan, kok merebaknya para kupu-kupu malam di pantai Falajawa dan Bastiong, pihak kesultanan yang berasaskan Islam tidak turun tangan?, salah satu akun palsu menanggapi, "kesultanan punya urusan apa dengan hal itu?!"Disini, saya mulai mengerti bahwa, kesultanan pun tahu di mana batasnya. Pertanyaan, jika kapitalisasi mampu memperdaya pemerintah dalam penimpunan (reklamasi) Dodoku Ali yang masuk wilayah kesultanan, maka dalam hal ini patut dipertanyakan, dan gugatlah budaya yang disembunyikan, apakah ada konspirasi antara kerajaan dan pemerintahan dibalik ini?!

Sejarah secara gamblang menjelaskan bahwa hari ini, sistem pembayaran upeti sudah tidak berlaku di kesultanan. Lagi-lagi timbul pertanyaan, apakah mereka menggunakan slogan budaya, segala bisa tertaklukan? terlebih masyarakat kita yang setia di atas nilai-nilai ma co'ou (kepatuhan).

Sebuah buku, terbitan Ombak, "Dunia Maluku", yang ditulis oleh salah satu Sejarawan Dunia, Leonard D Andaya dengan tegas mengatakan, " Islam di Moloku Kie Raha sudah cukup tua, hanya saja pada prakteknya masyarakat masih bersandar dalam budaya leluhurnya". Lantas budaya seperti apa yang mereka maksudkan?. Adakah Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kebudayaan?.

Jika masyarakat yang bermukim di utara masih berpegang teguh dengan nilai-nilai kebudayaan, sudah kah di lembagakan? sehingga dengan harapan, hal tersebut bisa di jadikan sebagai patron pembangunan ?

Nurkholis Lamaau / Ahad - Januari - 2017

Kamis, 06 Oktober 2016

Negeri Setingan


Setelah meninggalkan Ternate sekitar sebulan lalu. Kabar informasi seputar tindaklanjut kasus lahan Hak Guna Bangunan (HGB) yang saat ini dibangun wahana hiburan Waterboom, di Kelurahan Kayu Merah, Kecamatan Ternate tengah yang menyeret nama Walikota dan Wakil Walikota Ternate, sudah tidak terdengar lagi.

Mungkin, saya sudah tidak berada di Ternate sehingga informasi tersebut pun ikut hilang dari amatan saya. Ataukah mungkin, kasus tersebut kurang menarik jika lembaga hukum belum menetapkan dalang dibalik proyek memperkaya diri sendiri dan orang lain tersebut.

Dalam perkembangan wacana, kasus Waterboom di sebagian masyarakat Ternate seakan sudah basi. Namun bagi saya, kasus korupsi tidak pernah basi dan tidak seharusnya di sejajarkan dengan menu makanan yang senantiasa basi pada waktunya. Kasus korupsi baru dikatakan basi apabila si korupsi sudah berada di balik jeruji besi, dan kemudian di ungkit lagi. Itu juga masih 'semi' basi.

Sejujurnya, saya cukup heran dengan sebagian masyarakat kita yang ada di Ternate. Apabila, sebagian dari kita yang tergerak untuk mengangkat sebuah kasus. Kita bakal dilabeli memiliki kepentingan untuk kelompok tertentu. Kita dipandang sebagai oknum yang digeraki oleh pihak lawan untuk menjatuhkan lawan dari pihak lain.

Sebab, disamping sebagian orang yang memanfaatkan kesalahan pemimpinnya untuk dijadikan sebagai salah satu senjata untuk menjatuhkan rivalnya, di satu sisi, kelompok yang berada di bawa pemimpin yang terbukti salah dalam kasus korupsi pun tidak tinggal diam dalam mengatur siasat, menseting, dan merekayasa

Di sini, saya pun mendapat pandangan lain dari kelompok tertentu sebagai orang yang di gerakan untuk menelusuri kasus yang mengendap. Saya seolah terjebak pada dua sisi yang bertolak belakang dengan penilaian dari kedua bela pihak yang berbeda pula. Ah, cuek saja.

Tertarik untuk di telusuri. Saya merasa tertantang untuk mendalami kasus tersebut. Mula - mula, saya mencoba mencari, siapa yang memegang lampiran amar putusan kasus lahan HGB Kayu Merah tahun 2014 tersebut. Setelah di peroleh, saya mempelajari, membaca isi lampiran tersebut dalam waktu satu malam. Ternyata, perjalanan kasusnya begitu rumit dan transparan. Tidak ada yang di tutup - tutupi dalam amar putusan yang diputuskan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut.

Melalui om Google, informasi seputar keterlibatan Walikota, Wakil Walikota, serta beberapa antek - anteknya sudah pernah di angkat dengan judul berita yang cukup memastikan. Namun, sampai hari ini, wacana tersebut hanyalah angin lalu. Barangkali, inilah yang membuat tiga pujuk kepemimpinan Kejaksaan Agung, dimutasikan hanya karena menangani kasus ini. Kalau benar!, seksi memang.

Waktu terus berjalan. Berkat campur tangan tuhan (mungkin), saya memperoleh sebuah salinan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dikeluarkan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 9 Agustus 2016 dari dua orang yang pernah di tetapkan tersangka. Lampiran tersebut ditujukan ke pihak Pengadilan Tinggi Negeri Kota Ternate, Kejaksaan Tinggi Negeri Kota Ternate, dan Kejaksaan Agung Maluku Utara. Di sini, pola "pimpong" yang mereka mainkan serta kesan menghindar nampak terasa. Lucu, kehadiran saya yang semestinya dipandang membantu, kemudian dibuat buntu.

Pengembangan terus berlanjut dan sampai pada waktu final informasi tahap awal dengan judul berita yang saya angkat "Surat Putusan PK Kasus Waterboom Mengendap".

Berita ini, mula-mula saya kirim ke salah satu media online milik salah seorang yang katanya, aktivis besar Maluku Utara. Kebetulan saya terdaftar sebagai seorang reporter di media yang dia buat. Namun, keesokan harinya, berita yang saya garap selama tiga hari di lapangan tidak diterbitkan. Maklum, selain baru saja media tersebut melakukan kontrak kerjasama antara media dan pemkot sekedar mendapatkan kue iklan dan advetorial, pemilik dari media tersebut ternyata, sekampung dengan Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Ternate. "Kita sedang membangun kerjasama dengan pemkot, jadi beritanya di buat baik-baik yah" kata pemilik media tersebut.

Tidak berhenti sampai di situ, naskah peliputan yang tidak di terbitkan di media Online tersebut, saya kirm ke salah satu media cetak yang berkantor di Tidore. Alhamdulillah, kabar yang saya dengar, di terbitkan.

Keesokan harinya. Saya bergegas ke tempat penjualan koran yang berlokasi di depan Ternate Mall, Kelurahan Santiong, sekedar mengecek berita tersebut. Namun, kata pedagang, korannya sudah habis. "Wah, masih jam 8 pagi, namun korannya sudah terburu laku. Mungkin beritanya seksi kali," pikirku.

Saya kemudian menuju ke prees room, Kantor Walikota Ternate. Setibanya di sana, tidak ada satupun koran yang saya cari di press room. Saya coba menuju ke ruang Kehumasan. Kata ibu-ibu pegawai yang ada di ruang kehumasan, koran yang saya cari, hari ini (waktu itu) tidak masuk (di ruang humas). Saya terdiam, dan pulang dengan lelah.

Perihal tersebut kemudian saya utarakan di salah seorang wartawan Radar Halmahera. Menurut dia, terkadang sudah ada beberapa oknum yang mencekal beredarnya, berita tersebut. Sebab, pengalaman dia sewaktu bertugas di Halmahera Utara, hal yang saya alami pernah di alaminya,". Saya pun beranjak pulang membawa suatu kenyataan yang tak dapat di percaya.

Dua hari berdiam di rumah, saya mencoba membangun sebuah upaya dengan salah seorang wartawan media cetak lokal. Dengan semangatnya, ia siap mempresure informasi yang saya gali selama tiga hari di lapangan. Keesokan harinya, berita tersebut akhirnya naik di tiga media cetak, selama tiga hari berturut-turut. Tidak berhenti sampai di situ, saya coba membangun relasi dengan salah satu media cetak di Makassar dan kemudian diterbitkan di media Onlinenya. Angka statistik pembaca tautan tersebut berkisar seratus lebih pembaca.

Bersamaan dengan itu, saya sudah kembali ke Makassar. Namun, informasi seputar tindaklanjut Kejati, Kejari, PN, terkait kasus HGB Kayu Merah, masih terus saya ikuti.

Suatu ketika, di beranda Facebook, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kota Ternate menggelar aksi di Kejaksaan Agung (Kejagung) Maluku Utara. Mereka mendesak Kejagung Malut untuk mengusut tuntas kasus korupsi di Maluku Utara, dan kemudian lebih ditekankan pada kasus KM. Faisayang dan Dana Bantuan Sosial (Bansos) Halmahera Selatan. Aksi pun berujung ricuh. Tentunya, solusi yang dihasilkan dari aksi tersebut hanyalah memenjarakan oknum Kejagung yang melakukan pemukulan, bukan lagi pada kefokuskan aksinya.

Berdasarkan informasi yang saya peroleh, pasca dari bentrokan tersebut, berita Waterboom pun tenggelam dari lembaran media massa, beriringan dengan pemukulan yang dilakukan oknum Kejagung terhadap salah seorang Anggota HMI Cabang Ternate.

Pertanyaanya, mengapa kasus yang sudah jelas di depan mata tidak di presure/full up. Mengapa sebuah organisasi yang senyata-nyatanya bercabang di Ternate, tidak menekankan kasus Waterboom kedalam poin aksinya. Dilibatkan kah organisasi kepayugubanan Halmahera Selatan dalam aksi tersebut?, bukankah empat pemberitaan seputar kasus Waterboom terbit selama empat hari berturut-turut di koran. Ada apa di balik semua ini ?