Rabu, 11 Januari 2017

LITERASI





 
















Oleh: Nurkholis Lamaau
 
(Redaktur Metro dan Pendidikan Koran Pedoman Makassar)



LITERASI. Awalnya, kata " literasi " adalah hal yang asing bagi saya. Literasi, baru saya ketahui setelah berkenalan dengan beberapa sahabat yang aktif bergerak sebagai relawan di komunitas - komunitas tersebut.


Literasi diartikan “membaca” yang tidak sekadar membaca biasa. Para pengamat pendidikan berpendapat, literasi lebih merujuk pada metode membaca substansif, reflektif, dan analisis. Substansif yang berarti membaca dengan melihat intisarinya, membaca reflektif yang berarti membaca sambil membuat perbandingan, dan membaca analisis yang berarti menganalisa sesuatu yang dibaca. 


Literasi sendiri penerapannya lebih dilakukan pada anak – anak usia dini. Tujuannya adalah untuk memenuhi kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan si anak yang bersangkutan. Sehingga, untuk mencapai semua itu, si anak harus dibiasakan dengan membaca . Tujuannya, generasi penerus bangsa tidak lagi mengalami buta huruf. Ya!, suatu problem yang belum tuntas sampai hari ini.


Beberapa waktu lalu, saya menyambangi salah satu toko buku di bilangan Jl Monginsidi Makassar. Di situ, saya temukan sebuah buku dengan judul “Literasi Media”. Jika sejauh ini, yang kita temui adalah sebuah komunitas tertentu yang aktif menyebarkan virus-virus membaca di kalangan anak – anak, lantas bagaimana pula dengan bentuk literasi media itu. Penerapannya pada siapa?. Sayangnya, saya tak berkesempatan memiliki buku itu lantaran bayangan tanggal tua yang tiba – tiba datang meneror. Semoga di awal Februari 2017, buku bersampul biru itu masih berdiam setia di rak toko buku itu.


Literasi dan Media


Sebagai pendatang baru yang bergelut dalam dunia media, bagi saya media dalam arti sempit bersifat penengah (mediator). Nah’ jika literasi dan media digabungkan maka, tentu memiliki pengertian yang berbeda. Saya rasa, setiap penulis memiliki alasan (latar belakang) untuk menyusun buku tersebut. Tentunya, dalam buku itu, pembahasannya cukup kompleks, walau dipaparkan dalam konteks yang relatif singkat. 


Namun, jika disematkan istilah literasi kedalam konteks media, tentu penjabaran dalam isi buku tersebut lebih spesifik dan merujuk pada isi atau konten berita yang disajikan di sejumlah media massa. Dimana, masyarakat dituntut lebih cerdas dalam membaca berita. Barangkali dengan mamahami isi berita yang disajikan, masyarakat akan lebih dewasa dalam menilai, apakah berita yang dibaca bersifat hoax, hoex, atau huax. Sebab, berita yang disajikan dapat berimpliksi terhadap kehidupan sosial masyarakat luas.


Singkat kata, literasi adalah membaca yang dibarengi kriteria – kriteria tertentu.
Di sini, saya sedikit berhati – hati untuk menyimpulkan isi buku yang belum saya baca itu. Namun, judulnya selalu menghantui saya untuk meraba, apa – apa yang dibahas dalam isi buku tersebut.


Atas perihal ini, saya sempat bertanya ke salah seorang guru. Dimana, belakangan ini, geliat literasi di Indonesia, terutama di daratan Maluku Utara semakin tumbuh subur. Berbagai aktivitas keliterasian kian meningkat. 


Bagaimana bapak melihat itu. Tanya saya kepada beliau. Jawabannya, “ yang harus kita ketahui, literasi itu memiliki makna tersendiri. Ada pesan – pesan pendidikan di dalamnya.

"Literasi kalau dilihat dalam program pemerintahan yakni Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Hanya saja, persoalan tersebut belum mencapai titik klimaks dalam mengikuti setiap perubahan. Hal ini tentu dilatari dari pemangku pendidikan yang belum menunjukan peranan secara maksimal," katanya.


Menurutnya, dari sisi kata, literasi itu membaca. Tapi masih di terjemahkan seperti PBA (Pemberantasan Buta Aksara). Karena yang dimaksud literasi adalah membaca substansif, reflektif, dan analisis. Namun nyatanya, literasi dalam program (PBA) yang dicanangkan pemerintah dilihat sebagai sesuatu kebiasan formalitas berupa sekadar membaca biasa. Sehingga, yang terlihat hanyalah belajar membaca, bukan membaca belajar. 

"Semua belum menyentuh ke arah itu, mengapa?, karena guru belum dimaksimalkan untuk mengimplementasikan program literasi yang dicanangkan pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu lulusan," ujarnya.


Ia memaparkan, pada umumnya, "mutu pendidikan" merupakan sebuah istilah lazim yang biasa dipakai secara umum dengan melihat penerpan yang berjalan di sekolah-sekolah. Sementara, berbicara mutu tak melulu terpaku pada mutu lulusan semata. Tetapi, mutu lebih disandarkan pada sebuah sistem. Diantaranya, mutu isi, mutu proses, mutu penilaian, mutu sekolah dan lain-lain. 

"Komponen – komponen inilah yang kemudian menjadi suatu sistem dalam satu kesatuan yang apabila semua dapat dicapai maka akan menciptakan suatu lulusan yang bermutu," tandasnya.


Pendidikan dan Realitas Hari Ini

Kalau kita mau menanam tetumbuhan dalam jumlah besar di sebuah lahan, tentu yang kita lakukan adalah memilih bibit unggul. Namun kenyataannya, kita belum memahami pendidikan secara utuh dan holistik. Baik dari aspek normatif maupun predikat. 


Dengan demikian, maka Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) itu, dianggap sebagai sesuatu yang formalitas, atau paling dasarnya, “yang penting anak bisa bermain”. Padahalnya, dia (anak) adalah bibit – bibit unggul yang sedang disiapkan untuk menunjang prosesnya kedepan. Hanya saja, nawacita itu belum dikelolah secara profesional oleh pemerintah. Kenyataan sekarang, guru PAUD adalah guru yang tidak sempat memperoleh ambisi utamanya, maka pilihannya adalah “jadi guru PAUD sajalah... yang penting ada yang dikerja sajalah...”. 


Tak bisa dibayangkan, apa yang akan mereka lakukan untuk bibit unggul tadi. Sebab, bibit-bibit unggul ini harus ditangani oleh mereka yang berkompeten sesuai dengan bidang keahliannya. Ada ahli psikologi anak, ahli psikologi perkembangan, ahli psikologi sosial, sehingga terbentuklah karakter yang berkualitas. Sebab, karakter bukan di ajarkan, tetapi dibentuk.


Apalagi, di tahun 2016 kemarin, dari Central Conectitut State University merilis, Indonesia termasuk negara yang tingkat membaca para warganya masih sangat rendah. Bahkan, berada di urutan ke 60 dari 61 negara. Untuk itu, dibutuhkan keseriusan semua pihak untuk ikut terlibat dalam menanggulanginya.

Pertanyaannya, jika buta aksara di Indonesia masih tetap bertahan di urutan 60 dari 61 negara, lantas bagaimana mereka membaca media ?... 


(Do'a dan harapan selalu ada untuk sahabat - sahabat pegiat literasi).

1 komentar: