Minggu, 10 April 2016

Air Salobar Mengalirkan Kutukan Warga


                                                Oleh : Nurkholis
                                   (Pegiat PUSMAT Kota Ternate)

      Salobar adalah sebuah penuturan lokal masyarakat Maluku Utara yang diistilahkan untuk air yang terasa 'payau'. Diperjelas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi atau arti kata 'payau' adalah air yang terasa sedikit asin karena tercampur air laut. Hal ini seringkali terjadi pada wilayah yang berdekatan dengan lautan.

Air Salobar, pertama kali digemakan oleh warga yang bermukim di bagian utara Kota Ternate, tepatnya di Kelurahan Sangadji. Hal ini kemudian berlanjut hingga ke beberapa kelurahan lainnya. Sebab air yang seringkali mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, minum, dan memasak, berubah rasa menjadi asin. Sehingga, hampir sebagian besar masyarakat yang bermukim di beberapa Kelurahan bagian utara seperti Soasio, Salero, Kasturian, Koloncucu, Siko, Sangadji, Dufa-Dufa, Akehuda, Tafure, hingga Sango, beralih menggunakan air gelon untuk keperluan konsumsi.

Parahnya, di Kelurahan Dufa-Dufa, terdapat 30% warga yang beralih menggunakan sumur bor. Hal ini merupakan efek daripada distribusi air dari PDAM yang terasa payau/salobar. Jika dikaji secara ilmiah, pemompaan air tanah dari akuifer pantai, turut meningkatkan intrusi air laut, karena tekanan air tanah berkurang dan menjadi relatif kecil dibandingkan dengan tekanan dari air laut. Sementara pemanasan global yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara, tentu dapat meningkatkan tingginya volume air laut.

Tentu kejadian ini tidak serta-merta terjadi begitu saja, tetapi didasari dengan berbagai latar. Jika hal ini dipandang sebagai akibat dari intrusi air laut, maka penulis lebih tertarik untuk mencermati aktifitas manusia dibalik intrusi. Karena bagaimanapun upaya manusia dalam menyalahkan alam, Tuhan yang Maha Kuasa secara kompleks telah mengatur keseimbangan alam. "Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?" QS. Al-Waqiah ayat 68-69. Ayat ini seolah membawa manusia pada tahapan perenungan untuk melihat bagaimana air itu telah di atur keseimbangannya oleh Allah SWT.

Perlu kita ketahui bahwa intrusi air asin dapat terjadi secara alami hingga derajat tertentu pada sebagian besar akuifer pantai. Hal ini dikarenakan adanya hubungan hidrolik antara air tanah dan air laut. Karena air laut memiliki kadar mineral yang lebih tinggi dari air tawar, maka air laut memiliki massa jenis yang lebih tinggi, sehingga pergerakan air laut menuju air tawar cukup besar. Apalagi jika dilihat dari sisi geografis, Ternate adalah sebuah pulau yang dikelilingi lautan yang tentunya sangat mudah mengalami tekanan air laut yang begitu besar. Permasalahannya tentu dikembalikan pada kinerja pemerintah. Sebab mulai dari konsep "Ternate Kota Madani" yang lebih pada geliat pembangunan, maraknya galian C, hingga masuk pada konsep "Bahari Berkesan" yang ujung-ujungnya hanya reklamasi pantai, hingga adanya eksploitasi air tawar yang dilakukan secara berlebihan untuk bisnis pengadaan air kemasan Ino Oke. Hal inilah yang merupakan faktor utama intrusi air laut. Ditambah dengan tidak adanya antisipatif pemerintah dalam mensterilkan wilayah yang diprioritaskan untuk sumber mata air. Alhasil, pohon-pohon sagu sebagai penetralisir kadar air ditebang habis-habisan untuk orientasi pembangunan.

Atas dasar ini, tak heran jika perintah untuk menjaga alam, jauh sebelum itu, Allah SWT telah mengingatkan kita, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Al-A'raf : 56). Namun, masih saja sebagian manusia yang selalu memandang ke atas dalam konteks kepemilikan material. Mereka selalu merasa kurang atas apa yang sudah digenggamnya. Akibatnya, manusia selalu mencari dan mengambil secara material demi memenuhi kepuasan tak berujung.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Pemerintah Kota Ternate selaku penanggungjawab atas kebutuhan masyarakat untuk memperoleh air bersih seolah tak becus dalam menyelesaikan persoalan ini. Tak heran jika problem yang sudah memakan waktu hampir dua tahun berjalan ini menuai kutukan dari warga Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate.

Beberapa waktu lalu, sejumlah warga Dufa-Dufa beramai-ramai melakukan aksi di depan Kantor Walikota Ternate. Kedatangan mereka cukup kondusif. Terlihat beberapa massa aksi mencoba menuangkan segelas air salobar dengan rasa dan warna yang biasa di konsumsi warga di Kecamatan Ternate Utara. Air kemudian dilayangkan ke Satpol PP untuk di minum, namun hal tersebut ditolak oleh Satpol PP. Entah karena geli, gengsi, ataukah memang, mereka yang bercokol di bahwa instansi pemerintahan tak layak meneguk air se-salobar itu. Perlakuan ini bukan sebuah teatrikal yang diperagakan mahasiswa seniman. Tetapi itu adalah sebuah pertunjukan atas kenyataan yang dilayangkan warga dalam mencari setitik nurani para penguasa. Walaupun kedatangan mereka tidak membuahkan hasil, aksi pun kembali dilanjutkan di Kantor PDAM Kota Ternate.

Terdengar beribu-ribu kalimat cemoohan terlontar dari mulut-mulut warga. Mulai dari 'ketidakbecusan pemerintah', 'kegagalan pemerintah', 'PDAM dan Pemkot Ternate berbisnis', 'ada toko di dalam perusahaan', 'PDAM menggunakan air laut untuk didistribusikan ke warga', pembacaan 'QS. Al-Fatiha sebagai simbol sumpah-serapah' hingga pada desakan terhadap 'Direktur PDAM untuk turun dari jabatannya'. Terbawa suasana serta tak tahan menerima tekanan-tekanan yang keluar dari hati nurani masyarakat, Direktur PDAM Kota Ternate, Syaiful Djafar pun mengeluarkan sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan, "ya! Air kemasan Ino Oke milik Pemkot Ternate,". Satu kalimat yang mewakili sejuta keserakahan dibalik jabatan kaum mapan. Sebuah ironi yang menuai sejuta ketidaksangkahan atas apa yang dilakukan mereka selama ini.

Perlu diketahui, air kemasan Ino Oke sebelumnya bernama Ake Qua, sesuai dengan nama perusahannya yang dikelolah langsung di dalam lingkup kantor PDAM Kota Ternate. Ironisnya, air kemasan tersebut diambil dari sumber mata air yang sama, yakni 'Ake Gaale'. Sementara, air yang berada di dalam kemasan terasa tawar dibandingkan dengan air yang didistribusikan ke masyarakat yang terasa payau/salobar. Padahal, hampir setahun masyarakat yang bermukim di bagian utara mengalami krisis air bersih, bahkan sumber mata air Ake Gaale yang menjadi andalan mereka telah mengering.

Walikota Ternate, H. Burhan Abdurahman pernah mengatakan, secepatnya menyelesaikan masalah tersebut. Namun sampai hari ini, masyarakat masih tetap mengkonsumsi air payau/salobar. Direktur PDAM Kota Ternate, Syaiful Djafar pernah menyatakan bahwa air di bagian utara Kota Ternate masih layak di minum. Namun hasil LAB menunjukan bahwa air tersebut tidak layak diminum. Pernyataan ini pernah dijelaskan sendiri oleh Kepala Teknisi PDAM Kota Ternate, Dahlan Muhammad bahwa, air yang didistribusikan PDAM di Ternate Utara tak layak di konsumsi. Sebuah upaya berupa pengadaan sumur bor yang dikerjakan di Kelurahan Facei tidak membuahkan hasil. Katanya, di bawa titik pengalian terdapat bebatuan.

Ini merupakan suatu bukti bahwa pemerintah selaku penanggungjawab segala kebijakan terlanjut salah, dan seolah tidak serius dalam menyelesaikan masalah ini. Padahal, pemerintah bisa saja melakukan relasi terhadap para ahli maupun pihak-pihak terkait yang paham dengan kondisi itu untuk mencari berbagai solusi. Namun, dari sejumlah lembaran media massa, yang diributkan hanyalah, siapa yang layak di kompensasikan, air salobar tidak di gratiskan, pengadaan 155 sumur bor pada hasil Musrenbang sebagai solusi, hingga keributan-keributan angin lalu lainnya.

Sejatinya, Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalimat inilah yang terkandung di dalam dasar negara kita. Di dalam UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Alam (SDA) ditegaskan bahwa rakyatlah yang sejatinya menikmati sumber daya alam tanpa terkecuali. Begitu juga dengan sumber daya air, rakyat harus menikmati air bersih, sehat, dan tidak tercemar. Namun sampai hari ini, penderitaan rakyat masih terus berlanjut. Tentunya, selama itu pula "kutukan-kutukan warga" akan terus mengalir.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar