Bagian I
Kita belum terekspos dan belum menjadi suatu market pembangunan yang
nantinya dijadikan sebagai sebuah pegangan. Kalau di Ternate menjadi perjumpaan
dari semua budaya tadi, bahwa ada jalur niaga, tapi hari ini sudah tidak ada.
Ini kan hanya fobia. Tidak bisa memiliki standar yang namanya perubahan
pembangunan. Kenapa, karena lanscap perubahan yang terjadi diakibatkan
oleh perjumpaan budaya (akulturasi) sehingga terjadi reduksi nilai-nilai tadi. Padahal, jauh sebelumnya, kita sudah mengenal uang dollar. Bukan baru hari
ini. Dulu, orang bayar cengkeh menggunakan uang dollar. Silahkan dilihat
datanya di buku Dunia Maluku, Leonard D Andaya. Semua jelas di situ. Dimana,
kaum perempuan pun terlibat kedalam bisnis penjualan cengkeh dengan bangsa
luar.
Jadi ada tiga hal yang melahirkan isu kepusakaan itu. Pertama, eks pemerintahan
dalam konteks benteng. Kedua, nilai agama yang di praktekkan oleh
klompok-kelompok dari luar Indonesia yang memiliki relevansi dengan pembangunan
hari ini sebagai dasar-dasar terbobrok pembangunan dalam konteks swasta, atau
yang bisa memainkan ritme dalam kompetisi-kompetisi yang dimainkan oleh
kelompok-kelompok lokal yang mengatasnamakan putra daerah, walaupun putra daerah
tidak terlibat reformasi, tapi sampai hari ini, dicap saja.
Berbicara putra daerah tidak pernah mati di reformasi ini. Dan gara-gara
reformasi, semua orang berbondong-bondong memerangi budaya demi bargening
politiknya. Di Ternate ada klenten, gereja, masjid, yang masih bisa
di ukur secara fisik. Sisanya, hanya dilihat dari karakter. Mungkin
kalau dilihat dari bahasa, misalkan basombar, leper, kadera,
macam-macam. Jadi, ada ribuan kalimat yang menjadi alat komunikasi kita yang
bersumber dari pengaruh dari Portugis. Saya mau menegaskan bahwa mudah-mudahan
dalam diskusi ini, kita bisa mengetahui bahwa, sekali lagi Ternate kota puska
dari aspek apa saja masih bisa. Hanya saja, apakah kepusakaan ini menjdi patron
pembangunan atau tidak. Bagi saya tidak!, Kenapa, kerena tidak ada Peraturan Daerah
(Perda) yang melindungi. Semestinya, puska ini harus dilindungi oleh Perda
sebagaimana yang tertuang dalam UUD No 6 tahun 2014. Kalau hanya banyak cerita,
ataukah institusi yang melindungi itu, tidak bisa.
Bagi saya, jawban dengan tema 'masih layakkah Ternate berstatus kota
pusaka?', secara tegas saya mengatakan masih bisa. Tapi pertanyaannya adalah,
bisakah keinginan tersebut diikuti dengan logika pembangunan pemerintah.
Ada satu disertasi terbaik di Universitas Indonesia (UI) yang mengangkat tentang
'satu kota dua aturan'. Disertasi ini ditulis oleh Herman Usman, mungkin arahnya lebih merujuk pada persoalan ini.
Jadi, dari pengantar saya ini, (tema dialog) tetap masih bisa. Sebab secara fisik, masih
ada klenten, gereja, masjid, dan benteng. Ini menjadi saksi bisu atas sejarah
kita yang kemudian mengidentikkan kita dengan kepusakaan. Bagi saya,
pemerintah hari ini harus bekerja keras, sesuai visi misi pemerintah dalam buku
Ternate Kota Pusaka yang di angkat langsung oleh Walikota Ternate, Burhan
Abdurahman pada saat beliau terpilih pertama sebagai Walikota Ternate, tentang
konsep bagimana membangun kota pusaka. Intinya, bagaimana Ternate maju dengan
mempertahankan nilai-nilai yang ada, dan bisa bergaung dalam konteks
perjumpaan-perjumpaan budaya. Baik itu Eropa, Asia, dan segala macam budaya.
Semua akan ketemu di sini (Ternate). Kalau anda lihat kasus Sail Morotai,
kebetulan saya sempat mendekam dalam jeruji besi selama seminggu, gara-gara
menolak Presiden SBY dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) hanya gara-gara
masalah lanskap kota pusaka. Makanya, tema yang sudah hampir kami tidak mau
diskusikan lagi.
Jadi terkait kepusakaan ini, mestinya ada ruang yang harus di sterilisasi.
Untuk itu, ada budaya Cina, Eropa, dan Lokal yang bisa terinstitusi melalui
lembaga. Tapi sayangnya, itu memiliki keterkaitan langsung dengan nilai-nilai
agama. Jadi mungkin ini cacatan singkat dari saya untuk sementara.
Pertanyaan peserta forum :
Saya, Abdul Qadir Soamloe, perwakilan dari Ikatan Mahasiswa Kota Ternate
(IPMKT) Makassar. Jadi, terkait tema yang di angkat Pusmat ini, saya pikir
sudah layak karena. Disini, menurut saya, pemateri hanya menyampaikan gambaran
umum saja. Sebab, berbicara Ternate kita perlu sistematikan secara pemetaan
dulu. Karena di Ternate itu, ada utara, tengah, dan selatan. Dari dua wilayah
itu, memiliki kultur yang berbeda. Sementara, berbicara pusaka, yang mau
saya tanyakan, kepusakaan apa yang dimaksud pemateri. Kalau pusaka yang
dimaksud itu lebih ke aspek pembangunan, saya pikir itu lebih umum. Sedangkan,
pusaka yang dilekatkan ke masyarakat di bagian utara, itu lebih menyentuh pada
esensi. Puska yang mendalam, bagi saya adalah etika di situ sangat luar biasa.
Kalau Ternate tidak layak mendapatkan predikat pusaka, bagi saya, itu keliru.
Sementara, salah satu pembicara mewakili HIPMIN Makassar, Dikoks mengatakan,
tema yang diangkat PUSMAT Cabang Makassar membuat dirinya merasa tertantang.
Ia mengatakan, kalau kita bicara kelayakan, tentu ada indikator/barometer yang
kemudian menentukan layak atau tidaknya sebuah kota pusaka.
Kedua, status.
Apakah Ternate sudah memiliki status?, Kalau ada, apa buktinya, apa dasarnya?.
Kemudian, jika kita giring ke konteks pembangunan, apakah Ternate yang
berstatus sebagai kota pusaka ini termuat dalam program perencanaan pembangunan
kota Ternate atau tidak. Apakah ada di RPJP, RPJMD, atau RPJN, sehingga ini
menjadi imbas koneksivitas yang pada akhirnya kita harapkan akhir dari
diskusi ini melahirkan sebuah gagasan, dan rekomendasi yang kemudian diberikan ke Pemkot Ternate untuk menjadikan sebuah landasan untuk
diperjuangan. Itu pertanyaannya.
Terakhir, saya mau sampaikan bahwa, kemarin, saya
dapat data dari teman di Tidore, itu ada tim riset, Konsultan Badan
Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) dari Kementerian PU dan Perumahan
Rakyat. Jadi, dia bahas terkait tentang rencana pembangunan Kota Sofifi dan
Tidore sebagai kota pusaka dunia. Pertanyaanya, mampukah kawan-kawan
mahasiswa Ternate mendorong Kota Ternate yang di gadang-gadang menjadi kota
pusaka atau tidak. Dimana, jika direalisasi maka hal ini dapat diakomodir dalam
program pembangunan nasional.
Dua hari kemarin, ada pertemuan terkait Rencana Wilayah Pembangunan Kota
Sofifi dan Tidore yang bakal menjadi kota baru. Pertanyaannya, mampukah Ternate
bersaing dengan Tidore dalam merebut kue pembangunan. Berikutnya, seberapa
besar teman – teman Kota Ternate meyakinkan Pemkot Ternate. Sebab, dalam dialog
kali ini, menarik kalau ada dari pihak pemerintah kota yang hadir. Karena dia
bertanggungjawab terhadap proses pembangunan. Tapi kalau aspek teknis,
regulasi, saya kira Ternate layak menjadi Kota Pusaka. Terakhir, jika hasil
dari dialog ini di rekomendasi, coba dicek di Rencana Program Jangka Menengah
(RPJM) Pemkot Ternate, apakah di akoomodir. Terus, bagaimana model pembangunan
dalam konteks pariwisata. Apakah dimasukan kedalam atau tidak. Kalau tidak,
maka percuma saja.
Sementara, salah satu peserta forum, Yanto Hasan, mewakili Asrama Mahasiswa
Maluku Utara (ASMALUT) Makassar, mengatakan di RPJMB itu sudah ada. Tapi,
kondisi hari ini sangat jauh dari harapan. Ia mengatakan, mereka pernah melakukan dialog bersama Sultan Ternate, H. Mudaffar
Sjah (alm). "Waktu itu, Ou (sebutan untuk sultan) meminta batas reklamasi
berhenti tepat di Kampug Makassar, Lelong. Namun, upaya tersebut berlanjut
hingga ke Salero pantai. Tentu ini ada semacam indikasi konspirasi yang dibangun oleh kaum konservatisme. Pertanyannya, PUSMAT mau bergerak dari mana?."
Sementara, salah satu peserta dialog asal Kota Tidore, Fatir Muhammad angkat
bicara. Ia menanggapi pernyataan salah satu peserta asal Tidore, Dikoks, terkait status
Kota Tidore sebagai Kota Pusaka Dunia, dan status Ternate yang terdaftar dalam
Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) dalam skala nasional.
"Berdasarkan data, Kota Ternate sudah terdaftar dalam keanggotaan
Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Sedangkan Tidore dan bahkan Gowa, yang
kita kenal sebagai daerah yang memiliki histroris besar pun tidak terdaftar.
Ini saya bawa datanya," tegas Fatir, sembari memperlihatkan datanya.
Ia mengatakan, tentu hal tersebut menjadi persoalan dan misteri. Bahkan,
konkretisasinya menjadi beban dan tanggungjawab bagi Kota Ternate. Apalagi,
berdasarkan data yang dirangkum dari Badan Pusat Statistik (BPS) Malut, ada
peningkatan angka kelahiran. Jika di sinkronkan dengan data pembangunan
di Ternate, tentu sangat berpengaruh terhadap status kepusakaan ini. Fatir bahkan mempertanyakan bahwa, mengapa kepusakaan tidak digiring kedalam
konteks Bioetik yang lebih bermanfaat di masa depannya.
"Saya menantang anda sekalian, apakah standar kepusakaan ini dapat
menjamin peradaban kehidupan anda di masa depan? jelas tidak. Hanya saja kita
telah terjerumus dalam peraturan perundang-undangan aset kebudayaan di negeri
ini bahwasanya benda mati pun masuk dalam aset pusaka," tukasnya.
Sementara, Nurkholish Lamaau selaku pengamat di lapangan membeberkan, berdasarkan amatan di lapangan,
nasib aset kepusakaan banyak yang rusak akibat ketidakjelasan pemerintah dalam
pelestariannya. Misalnya beberapa benteng di bagian Ternate tengah dan selatan
yang hancur. Atau dermaga kesultanan Ternate, Dodoku Ali yang kini telah di
reklamasi. Hal ini kemudian diikuti dengan ketidakjelasan zona cagar budaya
yang masih entah berentah dalam penetapannya. "Tentunya ada pergeseran upaya yang kontra terhadap statusnya sebagai
Kota Pusaka," pungkas Nurkholis.
Usai mendengar penjelasan dan pertanyaan dari
tiga audiens tersebut, pemateri Sumarlin Maate mengaku kagum atas keberanian
mereka dalam membongkar kebobrokan lembaga pemerintah daerah. Ia mengatakan,
mengapa dirinya menyebut lembaga pemerintah. Disini, ada yang namanya leader
drust akademik, dari legion drust akademik, dia akan berubah menjadi leader
drust politic. Kemudian dari tiga drust politik akan diperdebatkan melalui
Badan Legislasi Daerah, yang anehnya dipakai menjadi Peraturan Daerah (PERDA).
Jadi mematok otonomi daerah dan kemudian memberikan ruang. Jadi agak aneh
memang.
Disini, ada daerah otonomi baru, dan daerah otonomi. Kalau Ternate dan
Tidore ada di situ, lucu. Kok sampai hari ini kita masih memperdebatkan tentang
budaya. Agak mengelitik bagi saya. Kalau saya dari Taliabu Kabupaten Sula, atau
dari hutan sana, baru tiba-tiba berbicara birokrasi, kan lucu. Memang, tema ini
cukup menantang. Saya juga binggung, Mu dibawa kemana daerah ini. Aapalagi
sampai bupati mengeluarkan statemen, keluar (dari Provinsi Malut) dan bergabung dengan Sulawesi
Tengah (Sulteng). Sejujurnya, saya gelisah. Sama seperti kalian, dan memilih pindah ke
Makassar. Sebab di Maluku Utara, tidak cukup untuk kita berbicara seperti ini. Kita selalu
bangga dengan sejarah yang kita punya, tetapi secara realitas, hari ini kita
masih terpinggirkan.
Oke, saya ingin kalian sepakat di sini dulu, bahwa sejarah kita hanyalah
runtuhan fakta – fakta yang di opok – opok oleh berbagai macam logika kebijakan
sentral bisnis. Jadi memang DPRD di Indonesia Timur ini, ya Allah hu Akbar...
Saya pernah menjadi salah satu publishing atau bidang Penelitian dan
Pengembangan dalam salah satu LSM yang bergerak pada pemantauan atau monitoring
perlamen, pintu terakhir presiden sistrealisme yang di anut oleh Indonesia.
Gaya ini menganut Quantit Parlement State. Kenapa saya katakan quantit? Sebab
kita berbeda dengan Amerika. Di Indonesia, presiden memegang kekuasaan
tertinggi terhadap pemerintahan. Begitupun di daerah.
Jadi memang kendala kita ada di sini. Kemarin, Jokowi menolak 103 Perda
lokal yang menyangkut nilai- nilai kearifan lokal. Di dalamnya, kalau
menyangkut kearifan lokal, jujur saja ada lembaga kesultanan. Sudah pasti
menganut nilai-nilai yang jauh dengan apa yang kita bayangkan di republik ini.
Nah, jadi mau kota pusaka dunia, nasional kalau modelnya seperti itu, sama
saja.
Teruntuk Ternate, memang sudah masuk pusaka nasional. Itu sudah disepakati.
Tapi, di sini, maksud saya adalah perubahan-perubahan inilah yang kalau saya
mengunakan istilah Toffler dalam pergeseran yang dimana, laju perkembangan
industri akan membawa masyarakat stagnan di tengah-tengahnya. Kira-kira kalau
di analogikan seperti kita tidur kemudian bermimpi sedang berlari terus sambil
memikul benda berat. Nah, jadi seperti itulah mentalitas pemerintah daerah
kita. Makanya, orang berlomba-lomba mencari format masa lalu untuk melegitimasi
kekuasan politiknya. Dalam UU pemekaran Provinsi Maluku Utara, sudah jelas bahwa
Kota Sofifi sebagai kota administrasi, dan itu jelas. Kalaupun sebagaimana yang
disampaikan teman-teman forum, maka disini saya tegaskan bahwa pembangunan
dalam logika perencanaan manapun, atau dalam pendekatan kebijakan negara
manapun, ada 3 hal. Pertama, sektor pemerintahan tersendiri, sektor
pendidikan tersendiri, sektor budaya tersendiri, sektor pasar tersendiri. Ini
yang acak di Malut sebenarnya. Jadi nilai-nilai budaya juga nanti ketemu di belakang. Logikanya begini, Utara-Selatan. Ataukah dari Taliabu
saja misalnya, (yang belum sepenuhnya tahu budaya di Ternate) kemudian ketemu di
belakang, akhirnya rusak semua. Jadi, yang saya maksud platfrom pembangunan
pemerintah itu harus di tegaskan tujuannya. Mana wilayah yang dikatakan
kearifan lokal? Kan tidak ada. Kendalanya di mana? RANPERDA. Ini yang tidak ada
di Malut.
Karena ini penting agar kita tahu, mana wilayah pendidikan, pasar, dan
budaya. Tapi kenyataanya kan campur aduk semua. Akhirnya seperti hutan rimba.
Mahasiwa pun sudah tergabung di situ, kapitalis bawa modal. Akhirnya sulit kita
temukan teori pembangunan tersebut. Ingat, bicara teori pembangunan itu gampang
saja, tinggal bagaimana kita melihat arah mata angin untuk menyelesaikan itu.
Karena saya rasa kita semua punya referensi yang sama. Di sini, ada infra maupun
supra. Manivest dari infra akan terjawab lewat supra. Ujungnya aturan yang
bicara. Karena kita negara republik yang menganut sistem demokrasi. Isyarat
utamanya adalah peraturan hukum. Jadi tidak bisa mengatakan, kita ini masa
lalu, tidak bisa!. Di situ harus di atur, karena memang ada konsekuensi
terhadap perundang-undangan. Di Malut saya juga bingung. Badan Legislatifnya
mana?.
Ingat indikator kemajuan suatu wilayah otonomi adalah dimana, DPRDnya aktif
melahirkan peraturan. Kenapa, karena yang dia tahu Perda itu cuma satu. Perda
apa? Perda perubahan APBDP. Tidak ada Perda Pembangunan. Di sini saya tidak
mengada-ada. Padahal kita diberikan otonomi itu jelas, jadi bisa dibijaki
seluas luasnya. Kecuali yang diatur oleh UU. Misalnya alutista, itu tidak bisa
diatur di daerah, peradilan, kemiliteran, HI, keuangan, dari lima hak ini tidak
diberikan di daerah. Kenapa, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
Maka, di Malut kelemahan kita hanya satu, yakni lembaga - lembaga pemerintahan
belum mampu menafsirkan kehendak otonomi daerah. Sehingga atas hal ini
semestinya harus ada lembaga non govermen organisasi. Tapi wajar saja, sebab
ada dinamika baru di dalamnya. Memang di sini bisa dilihat di daerah baru.
Pemerintahnya ingin anggaran yang besar untuk membangun daerahnya. Pertanyaan
sederhana, ada 2 ruang yang saling bertahan di Malut. Terus tiba-tiba ada
tambang berdiri. Tidak tahu siapa yang izin. Inilah yang turut mempengaruhi
budaya tadi. Tentu dengan hadirnya tambang, karyawan dari luar masuk, terjadi pertukaran
budaya, selesai. Jadi menurut saya, yang bisa dibilang pusaka ini satu saja,
bekas pemerintahan VOC. Itu kalau mau jujur.
Perlu kita ketahui bahwa yang namanya nilai-nilai budaya dalam kajian
kosmologi pasti mengandung nilai magic. Makanya, dikatakan karismatik menurut
Webber melahirkan rasionalisme kepemimpinan, kesatria. Oleh karena itu, memang
benar di daerah otonomi baru atau otonomi rata-rata kecelakan kita adalah
pemahaman tentang bagaimana msyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan.
Kalau lembaga – lembaga
budaya tadi
bisa kita jadikan suatu patron gerakan untuk mengontrol nilai - nilai ini,
selesai. Kenapa? UU lembaga MD 3 salah satu pasal 126 C menjelaskan, masyarakat
bisa melakukan evaluasi terhadap anggota DPR melalui pengusulan terhadap badan
kehormatan dewan. Nah kalau dewan isap ganja, masyarakat cium tangan, tidak
bisa. Makanya saya katakan, pijakan otonomi itu bukan putra daerah yang teriak.
Tetapi teman – teman
yang bukan dari
Maluku, Maluku Utara, berteriak di 1998. Ada yang mati di tembak, sebagian
hilang belum sempat dicari, disitu lahirlah otonomi. Nah, maksud saya adalah
kira - kira Peraturan Daerah (Perda) mana yang mau kita jadikan indikator. Tapi
Alhamdulillah, ada kementerian. Kalau kita mau buka-bukaan sejarah, inikan
sederhana saja. Syarat pemekaran otonomi, secara normatif, oke ada UUD. Tapi secara
sosiologi, pertama, perguruan tinggi masuk. Bagaimana pergeseran IT akan
mmpengaruhi semua nilai - nilai tercabut dari akarnya. Fukuyama bilang, akan
muncul kelompok yang tidak tahan dalam bersaing, maka akan muncul radikalisasi,
dan Malut sudah mengarah ke situ.
Makanya, orang menggunakan budaya untuk bertahan. Saya anak si ini, saya
anak si ini, jadi hanya sebatas itu. Makanya kita harus melihat, kira – kira
kepusakaan ini dalam bentuk konstitusi ini
sederhana, oke saya pinjam Bahari Berkesan, Ternate Kota Madani, dan lain –
lain. Jadi ini tidak bisa lagi dipungkiri, karena ini merupakan konsekuensi.
Realitas – realitas
ini yang kemudian
dimana, kita tidak pernah ada partisipasi. Apakah Pusmat mampu di sini, ataukah
elemen menengah lain yang mampu membaca fenomena ini?. Untuk sementra, ada
tapi itu untuk diri sendiri atau kelompok. Kalau di Malut, banyak. Satu hal yang
paling baik dalam demokrasi itu ada 4 pilar. Pertama pers, perguruan tinggi,
partai politik, dan LSM. Sebab partisipasi demokrasi modern, 4 komponen ini
mestinya kita di kota Ternate yang berbicara kota pusaka. Maka dari sinilah
Perda kita belum sampai di Malut. Bahkan study akademiknya, orang pakai UGM, UI.
Kalau mereka pakai di sana, mereka tidak melihat efek sosiologi, walau normatifnya
jalan.
Walaupun dalam penerapan sebuah aturan kita menganut 3 aspek di dalamnya. Ada
kemanfaatan, ada kepastian, ada keadilan, pertanyaan – pertanyaan
ini yang kemudian bergeliat menjadi satu makna
pembangunan. Okelah, untuk terminal menghubungkan antara utara dan selatan. Kalau
tidak ada pasar, celaka. Ini lanskap yang dibangun. Apalagi dana pemerintahan Saya
rasa kalian sudah tahu, berapa miliar pertahun. Namanya kota dan kabupaten itu
beda, hanya 1 saja yang bisa di andalkan di kota. Kalau bukan maritim, berarti
instansi pemerintahan.
Di Malut, untuk Kota Ternate dan Tidore itu, dia akan disanggah oleh daerah
lain. Oleh karena itu dia (Ternate – Tidore) menghadapi dua fenomena, baik
fenomena, nasional, global, maupun lokal, dalam rangka membiayai pemerintahan
daerahnya. Tentu akselerasi pembangunan harus dibuka dengan historis secara
kompetitif dalam membangun suatu rencana pembangunan, sehingga makna sejarah tadi
kita bisa jadikan platform untuk mengambil sebuah keputusan dan keputusan
keputusan itu bisa ditafsirkan.
Logisnya, demokrasi itu sederhana, budgetnya dalam pembangunan. Tapi di
Ternate itu, untuk mengurus Jiko Malamo, Sulamadaa atau drainase di pasar saja
tidak bisa. Kenapa, karena ada ruang yang masih dipertahankan oleh kelompok tertentu
dalam tanda kutip, kelompok ini dalam teori sosiologis dikatakan kelompok
konserfatisme, atau kelompok – kelompok tua yang masih mempertahankan ruang –
ruang
budaya sebagai sumber legitimasi
politiknya di era demokrasi modern. Jadi mau rancang bagaimanapun kalau saya
tidak menang tidak jadi. Kata kasarnya begitu. Ini masih menjadi geliat. Memang
kalau anda lihat di Komite Pemantau Pemberdayaan Wilayah Otonomi Daerah, rata –
rata otonomi baru itu bermasalah di situ. Di ruang birokrasi, orang berdebat
tentang penguasa lama dan baru. Ini menjadi konflik yang di distribusikan oleh
struktur birokrasi yang nantinya masyarakat muncul dengan ego sektoral/budaya,
bahkan sampai – sampai mempengaruhi keyakinan kita. Padahal sesunguhnya bagaimana
mencoba mempertahankan nilai – nilai lama. Hanya disinilah kita bisa mengetahui,
mau dibawa ke mana negeri ini. Saya kira kelompok - kelompok non departemen
negara ada di sini kerjanya. Terkait APBN, logika hitungannya begini, satu jiwa
memiliki kebutuhan dikali dengan luas wilayah, sama dengan DAK. Semua ini masuk
dalam class platform tadi yang nantinya di gabung dalam pembangunan. Apa tujuan
negara atau pemerintah pusat?, mempercepat kemandirian daerah untuk mampu membiayai daerahnya
sendiri. Kalau tidak, akan dilakukan pengabungan wilayah. Mudah – mudahan Ternate tidak menjadi wilayah tersebut. Tapi jika
dilihatdari kondisinya tidak bisa.
Tidak ada yang bisa menjawab akselerasi
perjumpaan wilayah – wilayah tersebut. Padahal, secarah historis, dia (Ternate)
menjadi pelabuhan yang menghubungkan wilayah – wilayah perairan barat. Kota
pusaka dunia bagi saya masih membentuk tatanan konsepsi sehingga orang mencoba
mencari rumusan – rumusan. Nah, untuk mau focus dimana, bagi saya, cek APBD.
Itu dari mana sumbernya. Sebenarnya yang memberi anggaran itu kapitalis. APBD
itu dari mana. Kalau tidak ada metode untuk membongkar APBD, sekali lagi kita
hanya mengulangi sakit hati. Terakhir kita buat gerbong, kelompok A, B, C,
bertemu di demokrasi langsung, ujung – ujungnya kacau. Saya kira organ – organ atau
elemen – elemen gerakan kita belum menyentuh ke ruang itu. Seingga, disini kita
bias mengukur, dimana yang diseriusi.