Minggu, 04 Desember 2016

Organisasi dan Tujuan Ganda

                               
                                        Oleh: Nurkholis Lamaau

Pada hakikatnya, organisasi adalah alat (organon) yang memiliki tujuan ganda. Selain bertujuan sebagai solusi untuk memecah masalah di kalangan masyarakat luas, organisasi juga bertujuan sebagai refleksi pembenahan diri (individu) dalam setiap tindakan yang dilakukan.

Dalam pandangan Aristoteles, organisasi secara etimologi terbagi dua, yakni organon (alat) dan sasi (proses). Sedangkan secara terminologinya, dapat dikatakan sebagai wadah berkumpulnya dua orang atau lebih, yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama.

Di berbagai organisasi formal, materi keorganisasian sudah menjadi hal yang umum dalam proses kaderisasi. Berbagai kerangka keorganisasian kerap dijelaskan secara gamblang oleh pemateri. Namun pada orientasinya, organisasi senantiasa mengalami berbagai macam hambatan, terutama pada kinerja bidang struktur. Jika dirunut, persoalan ini hanyalah persoalan kesadaran tanggungjawab anggota sebagai pelaku keorganisasian. Pengalaman penulis, beberapa organisasi kedaerahan yang dimasuki, seringkali mengalami hal-hal seperti ini. Mungkin, diluar dari ini (organisasi primodial) juga mengalami hal yang sama. Hanya saja, dengan dinamika yang berbeda.

Memang, inilah dinamika organisasi, yang terlalu naif untuk berkesimpulan bahwa, kelemahannya terletak pada kinerja seorang pemimpin. Bukankah fungsi pemimpin dalam suatu organisasi hanyalah pengontrolan secara terus-menerus (continue). Sedangkan yang menjadi pengerak roda keorganisasian adalah bidang-bidang struktural. Nah, jika berangkat dari pandangan Aristoteles (organisasi-alat) maka secara hakikat tentu melekat pada individu. Hanya saja, implementasi dalam pergerakan visi misi tidak berjalan maksimal.

Harus diakui bahwa memang, setiap orang memiliki alasan yang berbeda dalam berorganisasi. Ada yang sekedar ikut-ikutan (iko-iko rame), sekedar mengusir kesepian, sekedar coba-coba, hingga memiliki tujuan lain, seperti mencari pasangan hidup (pacar), misalnya. Namun, penulis tidak mau terpaku lama pada persoalan ini. Sebab itu masih dalam batas kewajaran. Hanya saja, karsa (daya dorong) sebuah kesadaran dalam menemukan kedirian dan tujuan orientasi hidup dalam berorganisasi terhempas jauh dari hakikat lembaganya. Organisasi hanya dianggap sebagai sebuah " kesempatan " untuk menjawab berbagai macam alasan, yang diuraikan di atas. Maka pada akhirnya, organisasi seolah tidak mampu menjawab tujuannya. Ia seakan kehilangan ciri, makna, dan nilai untuk menjawab segala persoalan.

Selain itu, alasan yang paling sering penulis temui (yang dimasuki) dalam organisasi adalah, kekakuan anggota. Anggota seakan cenderung memiliki sebuah sistem multi. Antara organiasi dan desakan akademik. Walau hal ini lebih pada urusan managemen waktu, namun realitasnya, akademik seakan menjadi suatu lembaga tawar yang memberikan segala kepastian. Baik kepastian keilmuan, kepastian status/gelar, dan juga kepastian masa depan.

Untuk persoalan ini, ada semacam tekanan yang diterima. Beberapa pengakuan dari anggota yang penulis temui mengungkap berbagai  pelik yang dilatari dari dua hal. Pertama, ada dosen yang melarang berorganisasi. Katanya, organisasi hanya menghambat proses akademik. Kedua, orang tua. Entah kenapa. Disini, penulis tidak mau berspekulasi. Mungkin, jika dikaitkan dengan realitas yang ada, orang yang berorganisasi selalu terlambat dalam menyelesaikan study akademiknya. Sehingga, hal semacam ini terkonstruk dalam pemikiran dosen, orang tua, dan pelaku organisasi. Maka secara tidak langsung, organisasi memiliki pandangan negatif sebagai penghancur masa depan.

Jika dilihat, pendidikan di bangku akademik semacam candu sekaligus penjara. Implikasinya kerap berpengaruh pada mahasiswa yang bersangkutan. Tak heran jika muncul sebuah pameo "Mahasiswa 4 - K" yang berarti Kampus, kost-kostsan, kiriman, dan kampung. Dimana, bangun pagi-pagi ke kampus, apapun yang terjadi. Kadang - kadang, diselinggi tulisan " semoga tidak ada dosen ", ada juga " bosan di dalam ruangan ", dan berbagai macam keluhan. Namun, secara rutin terus dijalani. Ini candu. Sebab, di dunia akademik, proses interaksi hanya terjadi dalam satu arah. Dosen membaca, mahasiswa menulis. Sudah, itu saja. Selesai dari situ, lanjut ke kost-kostsan. Sukur-sukur kalau ada buku yang dibaca, sekedar menambah referensi. Disamping itu, dalam rutinitas yang dijalani, kiriman dan khayalan, "kapan libur" untuk Pulang Kampung, seakan menjadi penantian yang dirindukan mahasiswa tipe 4-K ini. Tak heran jika yang bersangkutan seakan mengalami krisis orientasi.

Padahal organisasi, oleh Aristoteles sebagai alat (organon) adalah kesempatan untuk mengembangan potensi kedirian. Karena jika dilihat, interaksi dalam organisasi terjadi dalam dua arah (feedback), sementara akademik hanya satu arah. Maka, disini akan terjadi sebuah aksiden seiring proses yang dilalui. Sebab selain sebagai tujuan pengembangan diri, organisasi juga sebagai alat untuk memecah berbagai problematika yang terjadi di lingkup masyarakat. Karena permasalahan di dalam masyarakat sosial seakan menjadi bagian dalam sistematika kehidupan. Olehnya itu, dibutuhkan suatu alat (organisasi) untuk menjawab itu.

Masyarakat oleh Aristoteles adalah Zon Politikon (Mahkluk Sosial). Maka dengan organisasi, tentu kita menjadi bagian dari itu. Karena, kadangkala lingkungan kerap membuat kita menjadi sesorang yang individualsitik. Kita seakan tidak memperdulikan orang lain, maka pada akhirnya kita menjadi seorang yang berkarakter sekuler, materialisme, dan lain-lain.

Berbicara organisasi, penulis sengaja mengarah pada perspektif Islam yang memiliki konteks kelompok, dan tujuan sosial. Pertama, dalam QS. Al-Hujarat ayat 13, dikatakan, " Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,".  Kemudian dalam QS. An-nisa, ayat 71 dijelaskan, "Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! ". Lalu, dalam QS. Al-imran ayat 104, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung,".

Dalam penggalan ayat di atas, jika dikaitkan dengan organisasi, bukankah secara terminologi, adalah sebuah wadah yang memberi manfaat untuk saling kenal mengenal antar satu sama lain dengan tujuan yang sama. Tujuan yang mengurus kemaslahatan ummat?. Maka, organisasi sebagai alat yang di dalamnya terhimpun sekelompok orang dengan tujuan yang sama, semestinya berada pada posisi ini. Bukan merusak masa depan. Salam mesrah untuk dosen dan orang tua.

Jumat, 14 Oktober 2016

Dialog

Bagian I

Kita belum terekspos dan belum menjadi suatu market pembangunan yang nantinya dijadikan sebagai sebuah pegangan. Kalau di Ternate menjadi perjumpaan dari semua budaya tadi, bahwa ada jalur niaga, tapi hari ini sudah tidak ada. Ini kan hanya fobia. Tidak bisa memiliki standar yang namanya perubahan pembangunan. Kenapa, karena lanscap perubahan yang terjadi diakibatkan oleh perjumpaan budaya (akulturasi) sehingga terjadi reduksi nilai-nilai tadi. Padahal, jauh sebelumnya, kita sudah mengenal uang dollar. Bukan baru hari ini. Dulu, orang bayar cengkeh menggunakan uang dollar. Silahkan dilihat datanya di buku Dunia Maluku, Leonard D Andaya. Semua jelas di situ. Dimana, kaum perempuan pun terlibat kedalam bisnis penjualan cengkeh dengan bangsa luar.

Jadi ada tiga hal yang melahirkan isu kepusakaan itu. Pertama, eks pemerintahan dalam konteks benteng. Kedua, nilai agama yang di praktekkan oleh klompok-kelompok dari luar Indonesia yang memiliki relevansi dengan pembangunan hari ini sebagai dasar-dasar terbobrok pembangunan dalam konteks swasta, atau yang bisa memainkan ritme dalam kompetisi-kompetisi yang dimainkan oleh kelompok-kelompok lokal yang mengatasnamakan putra daerah, walaupun putra daerah tidak terlibat reformasi, tapi sampai hari ini, dicap saja.

Berbicara putra daerah tidak pernah mati di reformasi ini. Dan gara-gara reformasi, semua orang berbondong-bondong memerangi budaya demi bargening politiknya. Di Ternate ada klenten, gereja,  masjid, yang masih bisa di ukur secara fisik. Sisanya, hanya dilihat dari karakter. Mungkin kalau dilihat dari bahasa, misalkan basombar, leper, kadera, macam-macam. Jadi, ada ribuan kalimat yang menjadi alat komunikasi kita yang bersumber dari pengaruh dari Portugis. Saya mau menegaskan bahwa mudah-mudahan dalam diskusi ini, kita bisa mengetahui bahwa, sekali lagi Ternate kota puska dari aspek apa saja masih bisa. Hanya saja, apakah kepusakaan ini menjdi patron pembangunan atau tidak. Bagi saya tidak!, Kenapa, kerena tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang melindungi. Semestinya, puska ini harus dilindungi oleh Perda sebagaimana yang tertuang dalam UUD No 6 tahun 2014. Kalau hanya banyak cerita, ataukah institusi yang melindungi itu, tidak bisa.

Bagi saya, jawban dengan tema 'masih layakkah Ternate berstatus kota pusaka?', secara tegas saya mengatakan masih bisa. Tapi pertanyaannya adalah, bisakah keinginan tersebut diikuti dengan logika pembangunan pemerintah. Ada satu disertasi terbaik di Universitas Indonesia (UI) yang mengangkat tentang 'satu kota dua aturan'. Disertasi ini ditulis oleh Herman Usman, mungkin arahnya lebih merujuk pada persoalan ini.

Jadi, dari pengantar saya ini, (tema dialog) tetap masih bisa. Sebab secara fisik, masih ada klenten, gereja, masjid, dan benteng. Ini menjadi saksi bisu atas sejarah kita yang kemudian mengidentikkan kita dengan kepusakaan. Bagi saya, pemerintah hari ini harus bekerja keras, sesuai visi misi pemerintah dalam buku Ternate Kota Pusaka yang di angkat langsung oleh Walikota Ternate, Burhan Abdurahman pada saat beliau terpilih pertama sebagai Walikota Ternate, tentang konsep bagimana membangun kota pusaka. Intinya, bagaimana Ternate maju dengan mempertahankan nilai-nilai yang ada, dan bisa bergaung dalam konteks perjumpaan-perjumpaan budaya. Baik itu Eropa, Asia, dan segala macam budaya. Semua akan ketemu di sini (Ternate). Kalau anda lihat kasus Sail Morotai, kebetulan saya sempat mendekam dalam jeruji besi selama seminggu, gara-gara menolak Presiden SBY dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) hanya gara-gara masalah lanskap kota pusaka. Makanya, tema yang sudah hampir kami tidak mau diskusikan lagi.
Jadi terkait kepusakaan ini, mestinya ada ruang yang harus di sterilisasi. Untuk itu, ada budaya Cina, Eropa, dan Lokal yang bisa terinstitusi melalui lembaga. Tapi sayangnya, itu memiliki keterkaitan langsung dengan nilai-nilai agama. Jadi mungkin ini cacatan singkat dari saya untuk sementara.

Pertanyaan peserta forum :

Saya, Abdul Qadir Soamloe, perwakilan dari Ikatan Mahasiswa Kota Ternate (IPMKT) Makassar. Jadi, terkait tema yang di angkat Pusmat ini, saya pikir sudah layak karena. Disini, menurut saya, pemateri hanya menyampaikan gambaran umum saja. Sebab, berbicara Ternate kita perlu sistematikan secara pemetaan dulu. Karena di Ternate itu, ada utara, tengah, dan selatan. Dari dua wilayah itu, memiliki kultur  yang berbeda. Sementara, berbicara pusaka, yang mau saya tanyakan, kepusakaan apa yang dimaksud pemateri. Kalau pusaka yang dimaksud itu lebih ke aspek pembangunan, saya pikir itu lebih umum. Sedangkan, pusaka yang dilekatkan ke masyarakat di bagian utara, itu lebih menyentuh pada esensi. Puska yang mendalam, bagi saya adalah etika di situ sangat luar biasa. Kalau Ternate tidak layak mendapatkan predikat pusaka, bagi saya, itu keliru.

Sementara, salah satu pembicara mewakili HIPMIN Makassar, Dikoks mengatakan, tema yang diangkat PUSMAT Cabang Makassar membuat dirinya merasa tertantang. Ia mengatakan, kalau kita bicara kelayakan, tentu ada indikator/barometer yang kemudian menentukan layak atau tidaknya sebuah kota pusaka.

Kedua, status. Apakah Ternate sudah memiliki status?, Kalau ada, apa buktinya, apa dasarnya?. Kemudian, jika kita giring ke konteks  pembangunan, apakah Ternate yang berstatus sebagai kota pusaka ini termuat dalam program perencanaan pembangunan kota Ternate atau tidak. Apakah ada di RPJP, RPJMD, atau RPJN, sehingga ini menjadi imbas koneksivitas yang pada akhirnya kita harapkan akhir dari diskusi ini melahirkan sebuah gagasan, dan rekomendasi yang kemudian diberikan ke Pemkot Ternate untuk menjadikan sebuah landasan untuk diperjuangan. Itu pertanyaannya.

Terakhir, saya mau sampaikan bahwa, kemarin, saya dapat data dari teman di Tidore, itu ada tim riset, Konsultan Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) dari Kementerian PU dan Perumahan Rakyat. Jadi, dia bahas terkait tentang rencana pembangunan Kota Sofifi dan Tidore sebagai kota pusaka dunia. Pertanyaanya,  mampukah kawan-kawan mahasiswa Ternate mendorong Kota Ternate yang di gadang-gadang menjadi kota pusaka atau tidak. Dimana, jika direalisasi maka hal ini dapat diakomodir dalam program pembangunan nasional.

Dua hari kemarin, ada pertemuan terkait Rencana Wilayah Pembangunan Kota Sofifi dan Tidore yang bakal menjadi kota baru. Pertanyaannya, mampukah Ternate bersaing dengan Tidore dalam merebut kue pembangunan. Berikutnya, seberapa besar teman – teman Kota Ternate meyakinkan Pemkot Ternate. Sebab, dalam dialog kali ini, menarik kalau ada dari pihak pemerintah kota yang hadir. Karena dia bertanggungjawab terhadap proses pembangunan. Tapi kalau aspek teknis, regulasi, saya kira Ternate layak menjadi Kota Pusaka. Terakhir, jika hasil dari dialog ini di rekomendasi, coba dicek di Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) Pemkot Ternate, apakah di akoomodir. Terus, bagaimana model pembangunan dalam konteks pariwisata. Apakah dimasukan kedalam atau tidak. Kalau tidak, maka percuma saja.

Sementara, salah satu peserta forum, Yanto Hasan, mewakili Asrama Mahasiswa Maluku Utara (ASMALUT) Makassar, mengatakan di RPJMB itu sudah ada. Tapi, kondisi hari ini sangat jauh dari harapan. Ia mengatakan, mereka pernah melakukan dialog bersama Sultan Ternate, H. Mudaffar Sjah (alm). "Waktu itu, Ou (sebutan untuk sultan) meminta batas reklamasi berhenti tepat di Kampug Makassar, Lelong. Namun, upaya tersebut berlanjut hingga ke Salero pantai. Tentu ini ada semacam indikasi konspirasi yang dibangun oleh kaum konservatisme. Pertanyannya, PUSMAT mau bergerak dari mana?."

Sementara, salah satu peserta dialog asal Kota Tidore, Fatir Muhammad  angkat bicara. Ia menanggapi pernyataan salah satu peserta asal Tidore, Dikoks, terkait status Kota Tidore sebagai Kota Pusaka Dunia, dan status Ternate yang terdaftar dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) dalam skala nasional.

"Berdasarkan data, Kota Ternate sudah terdaftar dalam keanggotaan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Sedangkan Tidore dan bahkan Gowa, yang kita kenal sebagai daerah yang memiliki histroris besar pun tidak terdaftar. Ini saya bawa datanya," tegas Fatir, sembari memperlihatkan datanya.

Ia mengatakan, tentu hal tersebut menjadi persoalan dan misteri. Bahkan, konkretisasinya menjadi beban dan tanggungjawab bagi Kota Ternate. Apalagi, berdasarkan data yang dirangkum dari Badan Pusat Statistik (BPS) Malut, ada peningkatan angka kelahiran. Jika di sinkronkan dengan data pembangunan di Ternate, tentu sangat berpengaruh terhadap status kepusakaan ini. Fatir bahkan mempertanyakan bahwa, mengapa kepusakaan tidak digiring kedalam konteks Bioetik yang lebih bermanfaat di masa depannya.

"Saya menantang anda sekalian, apakah standar kepusakaan ini dapat menjamin peradaban kehidupan anda di masa depan? jelas tidak. Hanya saja kita telah terjerumus dalam peraturan perundang-undangan aset kebudayaan di negeri ini bahwasanya benda mati pun masuk dalam aset pusaka," tukasnya.

Sementara, Nurkholish Lamaau selaku pengamat di lapangan membeberkan, berdasarkan amatan di lapangan, nasib aset kepusakaan banyak yang rusak akibat ketidakjelasan pemerintah dalam pelestariannya. Misalnya beberapa benteng di bagian Ternate tengah dan selatan yang hancur. Atau dermaga kesultanan Ternate, Dodoku Ali yang kini telah di reklamasi. Hal ini kemudian diikuti dengan ketidakjelasan zona cagar budaya yang masih entah berentah dalam penetapannya. "Tentunya ada pergeseran upaya yang kontra terhadap statusnya sebagai Kota Pusaka," pungkas Nurkholis.

Usai mendengar penjelasan dan pertanyaan dari tiga audiens tersebut, pemateri Sumarlin Maate mengaku kagum atas keberanian mereka dalam membongkar kebobrokan lembaga pemerintah daerah. Ia mengatakan, mengapa dirinya menyebut lembaga pemerintah. Disini, ada yang namanya leader drust akademik, dari legion drust akademik, dia akan berubah menjadi leader drust politic. Kemudian dari tiga drust politik akan diperdebatkan melalui Badan Legislasi Daerah, yang anehnya dipakai menjadi Peraturan Daerah (PERDA). Jadi mematok otonomi daerah dan kemudian memberikan ruang. Jadi agak aneh memang.
Disini, ada daerah otonomi baru, dan daerah otonomi. Kalau Ternate dan Tidore ada di situ, lucu. Kok sampai hari ini kita masih memperdebatkan tentang budaya. Agak mengelitik bagi saya. Kalau saya dari Taliabu Kabupaten Sula, atau dari hutan sana, baru tiba-tiba berbicara birokrasi, kan lucu. Memang, tema ini cukup menantang. Saya juga binggung, Mu dibawa kemana daerah ini. Aapalagi sampai bupati mengeluarkan statemen, keluar (dari Provinsi Malut) dan bergabung dengan Sulawesi Tengah (Sulteng). Sejujurnya, saya gelisah. Sama seperti kalian, dan memilih pindah ke Makassar. Sebab di Maluku Utara, tidak cukup untuk kita berbicara seperti ini. Kita selalu bangga dengan sejarah yang kita punya, tetapi secara realitas, hari ini kita masih terpinggirkan.
Oke, saya ingin kalian sepakat di sini dulu, bahwa sejarah kita hanyalah runtuhan fakta – fakta yang di opok – opok oleh berbagai macam logika kebijakan sentral bisnis. Jadi memang DPRD di Indonesia Timur ini, ya Allah hu Akbar... Saya pernah menjadi salah satu publishing atau bidang Penelitian dan Pengembangan dalam salah satu LSM yang bergerak pada pemantauan atau monitoring perlamen, pintu terakhir presiden sistrealisme yang di anut oleh Indonesia. Gaya ini menganut Quantit Parlement State. Kenapa saya katakan quantit? Sebab kita berbeda dengan Amerika. Di Indonesia, presiden memegang kekuasaan tertinggi terhadap pemerintahan. Begitupun di daerah.

Jadi memang kendala kita ada di sini. Kemarin, Jokowi menolak 103 Perda lokal yang menyangkut nilai- nilai kearifan lokal. Di dalamnya, kalau menyangkut kearifan lokal, jujur saja ada lembaga kesultanan. Sudah pasti menganut nilai-nilai yang jauh dengan apa yang kita bayangkan di republik ini. Nah, jadi mau kota pusaka dunia, nasional kalau modelnya seperti itu, sama saja.

Teruntuk Ternate, memang sudah masuk pusaka nasional. Itu sudah disepakati. Tapi, di sini, maksud saya adalah perubahan-perubahan inilah yang kalau saya mengunakan istilah Toffler dalam pergeseran yang dimana, laju perkembangan industri akan membawa masyarakat stagnan di tengah-tengahnya. Kira-kira kalau di analogikan seperti kita tidur kemudian bermimpi sedang berlari terus sambil memikul benda berat. Nah, jadi seperti itulah mentalitas pemerintah daerah kita. Makanya, orang berlomba-lomba mencari format masa lalu untuk melegitimasi kekuasan politiknya. Dalam UU pemekaran Provinsi Maluku Utara, sudah jelas bahwa Kota Sofifi sebagai kota administrasi, dan itu jelas. Kalaupun sebagaimana yang disampaikan teman-teman forum, maka disini saya tegaskan bahwa pembangunan dalam logika perencanaan manapun, atau dalam pendekatan kebijakan negara manapun,  ada 3 hal. Pertama, sektor pemerintahan tersendiri, sektor pendidikan tersendiri, sektor budaya tersendiri, sektor pasar tersendiri. Ini yang acak di Malut sebenarnya. Jadi nilai-nilai budaya juga nanti ketemu di belakang. Logikanya begini, Utara-Selatan. Ataukah dari Taliabu saja misalnya, (yang belum sepenuhnya tahu budaya di Ternate) kemudian ketemu di belakang, akhirnya rusak semua. Jadi, yang saya maksud platfrom pembangunan pemerintah itu harus di tegaskan tujuannya. Mana wilayah yang dikatakan kearifan lokal? Kan tidak ada. Kendalanya di mana? RANPERDA. Ini yang tidak ada di Malut.

Karena ini penting agar kita tahu, mana wilayah pendidikan, pasar, dan budaya. Tapi kenyataanya kan campur aduk semua. Akhirnya seperti hutan rimba. Mahasiwa pun sudah tergabung di situ, kapitalis bawa modal. Akhirnya sulit kita temukan teori pembangunan tersebut. Ingat, bicara teori pembangunan itu gampang saja, tinggal bagaimana kita melihat arah mata angin untuk menyelesaikan itu. Karena saya rasa kita semua punya referensi yang sama. Di sini, ada infra maupun supra. Manivest dari infra akan terjawab lewat supra. Ujungnya aturan yang bicara. Karena kita negara republik yang menganut sistem demokrasi. Isyarat utamanya adalah peraturan hukum. Jadi tidak bisa mengatakan, kita ini masa lalu, tidak bisa!. Di situ harus di atur, karena memang ada konsekuensi terhadap perundang-undangan. Di Malut saya juga bingung. Badan Legislatifnya mana?.

Ingat indikator kemajuan suatu wilayah otonomi adalah dimana, DPRDnya aktif melahirkan peraturan. Kenapa, karena yang dia tahu Perda itu cuma satu. Perda apa? Perda perubahan APBDP. Tidak ada Perda Pembangunan. Di sini saya tidak mengada-ada. Padahal kita diberikan otonomi itu jelas, jadi bisa dibijaki seluas luasnya. Kecuali yang diatur oleh UU. Misalnya alutista, itu tidak bisa diatur di daerah, peradilan, kemiliteran, HI, keuangan, dari lima hak ini tidak diberikan di daerah. Kenapa, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, di Malut kelemahan kita hanya satu, yakni lembaga - lembaga pemerintahan belum mampu menafsirkan kehendak otonomi daerah. Sehingga atas hal ini semestinya harus ada lembaga non govermen organisasi. Tapi wajar saja, sebab ada dinamika baru di dalamnya. Memang di sini bisa dilihat di daerah baru. Pemerintahnya ingin anggaran yang besar untuk membangun daerahnya. Pertanyaan sederhana, ada 2 ruang yang saling bertahan di Malut. Terus tiba-tiba ada tambang berdiri. Tidak tahu siapa yang izin. Inilah yang turut mempengaruhi budaya tadi. Tentu dengan hadirnya tambang, karyawan dari luar masuk, terjadi pertukaran budaya, selesai. Jadi menurut saya, yang bisa dibilang pusaka ini satu saja, bekas pemerintahan VOC. Itu kalau mau jujur.

Perlu kita ketahui bahwa yang namanya nilai-nilai budaya dalam kajian kosmologi pasti mengandung nilai magic. Makanya, dikatakan karismatik menurut Webber melahirkan rasionalisme kepemimpinan, kesatria. Oleh karena itu, memang benar di daerah otonomi baru atau otonomi rata-rata kecelakan kita adalah pemahaman tentang bagaimana msyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan.

Kalau lembaga – lembaga  budaya tadi bisa kita jadikan suatu patron gerakan untuk mengontrol nilai - nilai ini, selesai. Kenapa? UU lembaga MD 3 salah satu pasal 126 C menjelaskan, masyarakat bisa melakukan evaluasi terhadap anggota DPR melalui pengusulan terhadap badan kehormatan dewan. Nah kalau dewan isap ganja, masyarakat cium tangan, tidak bisa. Makanya saya katakan, pijakan otonomi itu bukan putra daerah yang teriak. Tetapi teman – teman  yang bukan dari Maluku, Maluku Utara, berteriak di 1998. Ada yang mati di tembak, sebagian hilang belum sempat dicari, disitu lahirlah otonomi. Nah, maksud saya adalah kira - kira Peraturan Daerah (Perda) mana yang mau kita jadikan indikator. Tapi Alhamdulillah, ada kementerian. Kalau kita mau buka-bukaan sejarah, inikan sederhana saja. Syarat pemekaran otonomi, secara normatif, oke ada UUD. Tapi secara sosiologi, pertama, perguruan tinggi masuk. Bagaimana pergeseran IT akan mmpengaruhi semua nilai - nilai tercabut dari akarnya. Fukuyama bilang, akan muncul kelompok yang tidak tahan dalam bersaing, maka akan muncul radikalisasi, dan Malut sudah mengarah ke situ.

Makanya, orang menggunakan budaya untuk bertahan. Saya anak si ini, saya anak si ini, jadi hanya sebatas itu. Makanya kita harus melihat, kira – kira  kepusakaan ini dalam bentuk konstitusi ini sederhana, oke saya pinjam Bahari Berkesan, Ternate Kota Madani, dan lain – lain. Jadi ini tidak bisa lagi dipungkiri, karena ini merupakan konsekuensi.

Realitas – realitas  ini yang kemudian dimana, kita tidak pernah ada partisipasi. Apakah Pusmat mampu di sini, ataukah elemen menengah lain yang mampu membaca fenomena ini?. Untuk sementra, ada  tapi itu untuk diri sendiri atau kelompok. Kalau di Malut, banyak. Satu hal yang paling baik dalam demokrasi itu ada 4 pilar. Pertama pers, perguruan tinggi, partai politik, dan LSM. Sebab partisipasi demokrasi modern, 4 komponen ini mestinya kita di kota Ternate yang berbicara kota pusaka. Maka dari sinilah Perda kita belum sampai di Malut. Bahkan study akademiknya, orang pakai UGM, UI. Kalau mereka pakai di sana, mereka tidak melihat efek sosiologi, walau normatifnya jalan.

Walaupun dalam penerapan sebuah aturan kita menganut 3 aspek di dalamnya. Ada kemanfaatan, ada kepastian, ada keadilan, pertanyaan – pertanyaan  ini yang kemudian bergeliat menjadi satu makna pembangunan. Okelah, untuk terminal menghubungkan antara utara dan selatan. Kalau tidak ada pasar, celaka. Ini lanskap yang dibangun. Apalagi dana pemerintahan Saya rasa kalian sudah tahu, berapa miliar pertahun. Namanya kota dan kabupaten itu beda, hanya 1 saja yang bisa di andalkan di kota. Kalau bukan maritim, berarti instansi pemerintahan.

Di Malut, untuk Kota Ternate dan Tidore itu, dia akan disanggah oleh daerah lain. Oleh karena itu dia (Ternate – Tidore) menghadapi dua fenomena, baik fenomena, nasional, global, maupun lokal, dalam rangka membiayai pemerintahan daerahnya. Tentu akselerasi pembangunan harus dibuka dengan historis secara kompetitif dalam membangun suatu rencana pembangunan, sehingga makna sejarah tadi kita bisa jadikan platform untuk mengambil sebuah keputusan dan keputusan keputusan itu bisa ditafsirkan.

Logisnya, demokrasi itu sederhana, budgetnya dalam pembangunan. Tapi di Ternate itu, untuk mengurus Jiko Malamo, Sulamadaa atau drainase di pasar saja tidak bisa. Kenapa, karena ada ruang yang masih dipertahankan oleh kelompok tertentu dalam tanda kutip, kelompok ini dalam teori sosiologis dikatakan kelompok konserfatisme, atau kelompok – kelompok tua yang masih mempertahankan ruang – ruang  budaya sebagai sumber legitimasi politiknya di era demokrasi modern. Jadi mau rancang bagaimanapun kalau saya tidak menang tidak jadi. Kata kasarnya begitu. Ini masih menjadi geliat. Memang kalau anda lihat di Komite Pemantau Pemberdayaan Wilayah Otonomi Daerah, rata – rata otonomi baru itu bermasalah di situ. Di ruang birokrasi, orang berdebat tentang penguasa lama dan baru. Ini menjadi konflik yang di distribusikan oleh struktur birokrasi yang nantinya masyarakat muncul dengan ego sektoral/budaya, bahkan sampai – sampai mempengaruhi keyakinan kita. Padahal sesunguhnya bagaimana mencoba mempertahankan nilai – nilai lama. Hanya disinilah kita bisa mengetahui, mau dibawa ke mana negeri ini. Saya kira kelompok - kelompok non departemen negara ada di sini kerjanya. Terkait APBN, logika hitungannya begini, satu jiwa memiliki kebutuhan dikali dengan luas wilayah, sama dengan DAK. Semua ini masuk dalam class platform tadi yang nantinya di gabung dalam pembangunan. Apa tujuan negara atau pemerintah pusat?, mempercepat kemandirian daerah untuk mampu membiayai daerahnya sendiri. Kalau tidak, akan dilakukan pengabungan wilayah. Mudah – mudahan Ternate tidak menjadi wilayah tersebut. Tapi jika dilihatdari kondisinya tidak bisa.

Tidak ada yang bisa menjawab akselerasi perjumpaan wilayah – wilayah tersebut. Padahal, secarah historis, dia (Ternate) menjadi pelabuhan yang menghubungkan wilayah – wilayah perairan barat. Kota pusaka dunia bagi saya masih membentuk tatanan konsepsi sehingga orang mencoba mencari rumusan – rumusan. Nah, untuk mau focus dimana, bagi saya, cek APBD. Itu dari mana sumbernya. Sebenarnya yang memberi anggaran itu kapitalis. APBD itu dari mana. Kalau tidak ada metode untuk membongkar APBD, sekali lagi kita hanya mengulangi sakit hati. Terakhir kita buat gerbong, kelompok A, B, C, bertemu di demokrasi langsung, ujung – ujungnya kacau. Saya kira organ – organ atau elemen – elemen gerakan kita belum menyentuh ke ruang itu. Seingga, disini kita bias mengukur, dimana yang diseriusi.

Jumat, 07 Oktober 2016

Kesultanan, Tapal Batas, dan Konspirasi

Kata Sultan sudah sangat familiar di masyarakat Ternate, karena kata tersebut menjadi bahasa dan wacana keseharian masyarakat di suatu tempat, akibat daripada akulturasi budaya melalui jalur dagang (Baca: Ternate jalur sutra). Dewasa ini, Sultan di identikan dengan kerajaan dan lembaga adat, sebab ikon suatu kebudayaan berkiblat pada kesultanan (raja dan kadaton). Lembaga suatu kerajaan dibawa kendali Sultan atau seorang Raja. Ketentuan ini diatur secara normatif dalam hukum adat, sistem monarki dan hirarki yang dipakai sehingga kekuasaan tertinggi berada pada keputusan suara tunggal dari seorang idin.

Sultan adalah seorang pemimpin dalam suatu lembaga kerajaan, namun fungsi sosialnya pada skala masyarakat lokal, dalam arti dia menjadi pemimpin pada masyarakat lokal yang menganut atau menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional.

Dari beberapa buku historis yang saya baca (terkait keternatean), serta diskusi bersama beberapa sahabat, wilayah Ternate tidak seutuhnya masuk dalam wilayah kesultanan. Mungkin indikasinya jelas terlihat dari batas wilayah yang dimana dimulai dari Soasio mengarah ke utara (wilayah kesultanan). Terbagi di bagian tengah, terdapat Benteng Oranje (eks Pemerintahan VOC) yang merupakan area administratif pemerintahan. Jelas terlihat, aturan ini seakan masih terjaga hingga sekarang. Lanskap haritage ini kemudian mengantarkan Ternate masuk kedalam deklarator Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) pada tahun 2003 silam. Sehingga, Walikota Ternate, H. Burhan Abdurahman dengan konsep Bahari berkesan Jilid I dan II bergeliat dengan semangat haritage-nya.

Sayangnya, realitas yang saya temui di lapangan, beberapa benteng yang terdapat di wilayah Selatan dikerumuni semak belukar, reruntuhan tembok benteng di mana-mana, ketidakjelasan zonasi cagar budaya, serta tumpang tindihnya pembangunan di area benteng, tidak dipeributkan oleh pihak manapun. Baik dari pemerintahan maupun kesultanan. Karena, warisan (bukan yang di maksud terwarisi secara subjektif) tetapi lebih pada pengertian peninggalan-peninggalan penting yang memiliki nilai tinggi, objektif. (Masjid, benteng, klaten, gereja, serta pusaka alam), sudah di tentukan dalam batas-batas wilayahnya.

Salah satu group di facebook, yang membahas seputar adat se atoran masyarakat Moloku Kie Raha, saya melempar sebuah wacana yang termuat dalam salah satu media online yang digeraki oleh relawan informasi dengan judul berita : Sisi Hitam Pantai Falajawa Dalam Nuansa Ramadhan.

Disitu, saya katakan, kok merebaknya para kupu-kupu malam di pantai Falajawa dan Bastiong, pihak kesultanan yang berasaskan Islam tidak turun tangan?, salah satu akun palsu menanggapi, "kesultanan punya urusan apa dengan hal itu?!"Disini, saya mulai mengerti bahwa, kesultanan pun tahu di mana batasnya. Pertanyaan, jika kapitalisasi mampu memperdaya pemerintah dalam penimpunan (reklamasi) Dodoku Ali yang masuk wilayah kesultanan, maka dalam hal ini patut dipertanyakan, dan gugatlah budaya yang disembunyikan, apakah ada konspirasi antara kerajaan dan pemerintahan dibalik ini?!

Sejarah secara gamblang menjelaskan bahwa hari ini, sistem pembayaran upeti sudah tidak berlaku di kesultanan. Lagi-lagi timbul pertanyaan, apakah mereka menggunakan slogan budaya, segala bisa tertaklukan? terlebih masyarakat kita yang setia di atas nilai-nilai ma co'ou (kepatuhan).

Sebuah buku, terbitan Ombak, "Dunia Maluku", yang ditulis oleh salah satu Sejarawan Dunia, Leonard D Andaya dengan tegas mengatakan, " Islam di Moloku Kie Raha sudah cukup tua, hanya saja pada prakteknya masyarakat masih bersandar dalam budaya leluhurnya". Lantas budaya seperti apa yang mereka maksudkan?. Adakah Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kebudayaan?.

Jika masyarakat yang bermukim di utara masih berpegang teguh dengan nilai-nilai kebudayaan, sudah kah di lembagakan? sehingga dengan harapan, hal tersebut bisa di jadikan sebagai patron pembangunan ?

Nurkholis Lamaau / Ahad - Januari - 2017

Kamis, 06 Oktober 2016

Negeri Setingan


Setelah meninggalkan Ternate sekitar sebulan lalu. Kabar informasi seputar tindaklanjut kasus lahan Hak Guna Bangunan (HGB) yang saat ini dibangun wahana hiburan Waterboom, di Kelurahan Kayu Merah, Kecamatan Ternate tengah yang menyeret nama Walikota dan Wakil Walikota Ternate, sudah tidak terdengar lagi.

Mungkin, saya sudah tidak berada di Ternate sehingga informasi tersebut pun ikut hilang dari amatan saya. Ataukah mungkin, kasus tersebut kurang menarik jika lembaga hukum belum menetapkan dalang dibalik proyek memperkaya diri sendiri dan orang lain tersebut.

Dalam perkembangan wacana, kasus Waterboom di sebagian masyarakat Ternate seakan sudah basi. Namun bagi saya, kasus korupsi tidak pernah basi dan tidak seharusnya di sejajarkan dengan menu makanan yang senantiasa basi pada waktunya. Kasus korupsi baru dikatakan basi apabila si korupsi sudah berada di balik jeruji besi, dan kemudian di ungkit lagi. Itu juga masih 'semi' basi.

Sejujurnya, saya cukup heran dengan sebagian masyarakat kita yang ada di Ternate. Apabila, sebagian dari kita yang tergerak untuk mengangkat sebuah kasus. Kita bakal dilabeli memiliki kepentingan untuk kelompok tertentu. Kita dipandang sebagai oknum yang digeraki oleh pihak lawan untuk menjatuhkan lawan dari pihak lain.

Sebab, disamping sebagian orang yang memanfaatkan kesalahan pemimpinnya untuk dijadikan sebagai salah satu senjata untuk menjatuhkan rivalnya, di satu sisi, kelompok yang berada di bawa pemimpin yang terbukti salah dalam kasus korupsi pun tidak tinggal diam dalam mengatur siasat, menseting, dan merekayasa

Di sini, saya pun mendapat pandangan lain dari kelompok tertentu sebagai orang yang di gerakan untuk menelusuri kasus yang mengendap. Saya seolah terjebak pada dua sisi yang bertolak belakang dengan penilaian dari kedua bela pihak yang berbeda pula. Ah, cuek saja.

Tertarik untuk di telusuri. Saya merasa tertantang untuk mendalami kasus tersebut. Mula - mula, saya mencoba mencari, siapa yang memegang lampiran amar putusan kasus lahan HGB Kayu Merah tahun 2014 tersebut. Setelah di peroleh, saya mempelajari, membaca isi lampiran tersebut dalam waktu satu malam. Ternyata, perjalanan kasusnya begitu rumit dan transparan. Tidak ada yang di tutup - tutupi dalam amar putusan yang diputuskan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut.

Melalui om Google, informasi seputar keterlibatan Walikota, Wakil Walikota, serta beberapa antek - anteknya sudah pernah di angkat dengan judul berita yang cukup memastikan. Namun, sampai hari ini, wacana tersebut hanyalah angin lalu. Barangkali, inilah yang membuat tiga pujuk kepemimpinan Kejaksaan Agung, dimutasikan hanya karena menangani kasus ini. Kalau benar!, seksi memang.

Waktu terus berjalan. Berkat campur tangan tuhan (mungkin), saya memperoleh sebuah salinan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dikeluarkan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 9 Agustus 2016 dari dua orang yang pernah di tetapkan tersangka. Lampiran tersebut ditujukan ke pihak Pengadilan Tinggi Negeri Kota Ternate, Kejaksaan Tinggi Negeri Kota Ternate, dan Kejaksaan Agung Maluku Utara. Di sini, pola "pimpong" yang mereka mainkan serta kesan menghindar nampak terasa. Lucu, kehadiran saya yang semestinya dipandang membantu, kemudian dibuat buntu.

Pengembangan terus berlanjut dan sampai pada waktu final informasi tahap awal dengan judul berita yang saya angkat "Surat Putusan PK Kasus Waterboom Mengendap".

Berita ini, mula-mula saya kirim ke salah satu media online milik salah seorang yang katanya, aktivis besar Maluku Utara. Kebetulan saya terdaftar sebagai seorang reporter di media yang dia buat. Namun, keesokan harinya, berita yang saya garap selama tiga hari di lapangan tidak diterbitkan. Maklum, selain baru saja media tersebut melakukan kontrak kerjasama antara media dan pemkot sekedar mendapatkan kue iklan dan advetorial, pemilik dari media tersebut ternyata, sekampung dengan Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Ternate. "Kita sedang membangun kerjasama dengan pemkot, jadi beritanya di buat baik-baik yah" kata pemilik media tersebut.

Tidak berhenti sampai di situ, naskah peliputan yang tidak di terbitkan di media Online tersebut, saya kirm ke salah satu media cetak yang berkantor di Tidore. Alhamdulillah, kabar yang saya dengar, di terbitkan.

Keesokan harinya. Saya bergegas ke tempat penjualan koran yang berlokasi di depan Ternate Mall, Kelurahan Santiong, sekedar mengecek berita tersebut. Namun, kata pedagang, korannya sudah habis. "Wah, masih jam 8 pagi, namun korannya sudah terburu laku. Mungkin beritanya seksi kali," pikirku.

Saya kemudian menuju ke prees room, Kantor Walikota Ternate. Setibanya di sana, tidak ada satupun koran yang saya cari di press room. Saya coba menuju ke ruang Kehumasan. Kata ibu-ibu pegawai yang ada di ruang kehumasan, koran yang saya cari, hari ini (waktu itu) tidak masuk (di ruang humas). Saya terdiam, dan pulang dengan lelah.

Perihal tersebut kemudian saya utarakan di salah seorang wartawan Radar Halmahera. Menurut dia, terkadang sudah ada beberapa oknum yang mencekal beredarnya, berita tersebut. Sebab, pengalaman dia sewaktu bertugas di Halmahera Utara, hal yang saya alami pernah di alaminya,". Saya pun beranjak pulang membawa suatu kenyataan yang tak dapat di percaya.

Dua hari berdiam di rumah, saya mencoba membangun sebuah upaya dengan salah seorang wartawan media cetak lokal. Dengan semangatnya, ia siap mempresure informasi yang saya gali selama tiga hari di lapangan. Keesokan harinya, berita tersebut akhirnya naik di tiga media cetak, selama tiga hari berturut-turut. Tidak berhenti sampai di situ, saya coba membangun relasi dengan salah satu media cetak di Makassar dan kemudian diterbitkan di media Onlinenya. Angka statistik pembaca tautan tersebut berkisar seratus lebih pembaca.

Bersamaan dengan itu, saya sudah kembali ke Makassar. Namun, informasi seputar tindaklanjut Kejati, Kejari, PN, terkait kasus HGB Kayu Merah, masih terus saya ikuti.

Suatu ketika, di beranda Facebook, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kota Ternate menggelar aksi di Kejaksaan Agung (Kejagung) Maluku Utara. Mereka mendesak Kejagung Malut untuk mengusut tuntas kasus korupsi di Maluku Utara, dan kemudian lebih ditekankan pada kasus KM. Faisayang dan Dana Bantuan Sosial (Bansos) Halmahera Selatan. Aksi pun berujung ricuh. Tentunya, solusi yang dihasilkan dari aksi tersebut hanyalah memenjarakan oknum Kejagung yang melakukan pemukulan, bukan lagi pada kefokuskan aksinya.

Berdasarkan informasi yang saya peroleh, pasca dari bentrokan tersebut, berita Waterboom pun tenggelam dari lembaran media massa, beriringan dengan pemukulan yang dilakukan oknum Kejagung terhadap salah seorang Anggota HMI Cabang Ternate.

Pertanyaanya, mengapa kasus yang sudah jelas di depan mata tidak di presure/full up. Mengapa sebuah organisasi yang senyata-nyatanya bercabang di Ternate, tidak menekankan kasus Waterboom kedalam poin aksinya. Dilibatkan kah organisasi kepayugubanan Halmahera Selatan dalam aksi tersebut?, bukankah empat pemberitaan seputar kasus Waterboom terbit selama empat hari berturut-turut di koran. Ada apa di balik semua ini ?

Minggu, 12 Juni 2016

UPEKS dan Pilihan Profesi

(Catatan Singkat Dalam Memperingati Awal Penerbitan Harian Ujungpandang Ekspres Yang Ke - 16)

Oleh : Nurkholis Lamaau
(Mantan Jurnalis Harian Ujungpandang Ekspres)

Setahun lebih (2014-2016) saya bekerja di Harian Ujungpandang Ekspres, salah satu media di bawah naungan Fajar Group, yang juga satu group dengan Jawa Post Nasional Network (JPNN).

Sesuai dengan taklinenya 'Barometer Bisnis Terdepan', maka Harian Ujungpandang Ekspres, atau biasa disingkat UPEKS, merupakan koran ekonomi lokal di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang masih tetap eksis hingga sekarang.

Di tahun 2014, saya mulai berkiprah di Upeks sebagai reporter magang. Saat itu, saya direkomendasikan oleh sahabat saya, Srahlin Rifaid untuk bergabung di Upeks. Kini, pria asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang kerap disapa Lin, sudah berkiprah di salah satu media online di Makassar sebagai wartawan olahraga.

Saat itu, saya diterima langsung oleh Muhammad Akbar sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred). Sejak bergabung di Upeks, saya mendapat banyak pengalaman, terutama dalam hal peliputan yang tak dapat saya ceritakan satu persatu. Namun, pengalaman pertama sebagai reporter magang di Upeks adalah meliput HUT Persatuan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) Sulsel, yang digelar di Gedung Mulog.

Saat itu, Kordinator Liputan (Korlip), Andi Jasruddin memberi penugasan kepada saya. "Kamu ke Gedung Mulog sekarang. Nanti ketemu dengan fotografer Upeks, H. Yusuf. Nanti dia yang arahkan," ucap Jasruddin kepada saya waktu itu.

Pria yang kerap di sapa Andi Jas begitu tegas dalam memberi penugasan. Ada beberapa perhatian yang ia sampaikan kepada saya. Pertama, handphone harus aktif 24 jam. Kedua, wajib mengangkat telpon, dan ketiga, selalu membangun komunikasi dalam setiap peliputan.

Pak Andi Jas jika dilihat sepintas memang memberi sinyal ketegasan yang terurai dari raut wajahnya. Namun, diluar dari pekerjaan, beliau sangat akrab dan intens dalam memberikan perhatian kepada kami para reporter.

Di dapur redaksi, saya di bawah kendali Ibu Sukawati, selaku redaktur pada rubrik Jasa dan Niaga. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, Ibu Sukawati digantikan oleh H. Abdul Jabbar untuk menangani rubrik tersebut. Nah, dari H. Abdul Jabbar inilah saya di tempa secara militansi.

Pria yang seringkali melahirkan lelucon tak terduga ini pernah mengeluarkan satu ungkapan akronim terhadap nama dari media tempat saya bekerja.

"Upeks itu singkatan dari Universitas Pencipta Karyawan Sukses," ucap H. Abdul Jabbar saat rapat redaksi di waktu itu. Tentu, istilah yang tak pernah terbayangkan ini membuat saya tertawa.

Di bawah kendalinya, saya benar - benar merasakan menjadi seorang jurnalis sejati. Bagi saya, beliau adalah redaktur yang sangat tegas, keras, dan konsisten. Menjadi wartawan di bawah kendalinya, jangan sekali-kali kau katakan, "hari ini tidak ada berita pak,". Dijamin, kritikan-kritikan pedasnya bakal membuatmu K.O.

Kini, tepat di Tanggal 12 Juni 2016, media ekonomi yang menjadi barometer bagi para pengusaha lokal masyarakat Sulsel tersebut telah memasuki usia yang ke - 16. Walaupun saya sudah tidak berada di Upeks, namun bagi saya, Upeks adalah perusahaan pers yang benar-benar menciptakan karyawan sukses. Hal ini terbukti, sebab banyak jeblosan-jeblosan Upeks yang menjadi wartawan handal di media tempat mereka bekerja.

Dari upeks, saya banyak belajar tentang prinsip dan kaidah-kaidah jurnalistik. Di Upeks, saya banyak memahami tentang ekonomi. Walaupun saya bukan sarjana ekonomi, tetapi bersama Upeks, saya dapat menyimpulkan bahwa ekonomi adalah ilmu yang mencoba berbicara tentang kebutuhan, nasib, siasat dan rekayasa, persaingan, kekuasaan, keberpolitikan, dan perang. Dan dari Upeks-lah saya menjatuhkan pilihan untuk tetap menjadi jurnalis.

"Untuk upeks, teruslah terbit dalam memberikan gambaran perekonomian dari sisi-sisi lain yang menjadi kekhasannya." (*)

Sabtu, 11 Juni 2016

10 Jam Dipermainkan Gelombang

Subuh itu, seusai sahur, kami dari tim yang tergabung dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ternate, Basarnas Maluku Utara, Palang Merah Indonesia (PMI) Maluku Utara, dan Kodim 1501 Ternate serta sejumlah Jurnalis, berkumpul di Dermaga Dufa-Dufa, Kecamatan Ternate Utara Kota Ternate, Kamis 9 Juni 2016.

Rencananya, kami akan membawa sejumlah bahan logistik dan sekaligus melakukan verifikasi data kerusakan bangunan di Kecamatan Pulau Batang Dua, akibat musibah gempa tektonik 6,6 SR, yang melanda wilayah Maluku Utara beberapa hari kemarin.

Terlihat, beberapa teman jurnalis sedang membuka handphone smartphone. Rupanya mereka tengah memperhatikan jarak tempuh antara Ternate - Pulau Batang Dua di Google Maps. Maklum, selain jarak yang sangat jauh, disamping itu, perairan di seputaran Batang Dua dikenal dengan gelombang yang menggunung. Was-was campur tugas kian beraduk.

Saat itu, kami menggunakan speed yang seringkali digunakan untuk rute Ternate - Jailolo. Saya lupa namanya, namun speed yang kami gunakan saat itu cukup besar.

Setelah semua bahan logistik dinaikkan, kami pun dipersilahkan memasuki speed. Tidak menunggu lama, speed dengan daya tampung 60 orang serta mesin PK 40 sebanyak 5 buah yang menempel di buritan akhirnya dihidupkan. Kami pun berangkat, berlayar membelah lautan.

Hari mulai pagi, saya menoleh ke belakang, terlihat Gunung Ternate dan Hiri mulai membiru, pudar, ditelan jarak pandang. Dari arah utara, buih putih dengan gelombang sebesar gunung mulai mengoyang speed yang kami tumpangi. Seketika kami seolah dihempas kiri dan kanan. Saat itu, perjalanan memakan waktu sekitar 5 jam. Dan selama itu pula kami dipermainkan gelombang. Jendela speed pun kami tutup agar tidak kemasukan air. Perjalanan yang sangat menegangkan.

Juru mudi yang membawa kami rupanya sangat berpengalaman. Terlihat ia sangat serius menyesuaikan naluri dengan lautan. Sesekali memperhatikan arah kompas yang tersedia di depan stir kemudi.

Pukul 11.00 WIT. siang, kami pun tiba di Pelabuhan Pulau Batang Dua. Pekerjaan pun di mulai. Masing-masing tim mulai mengambil tugas. Ada yang melakukan survei, membagikan stok ke wilayah yang mengalami dampak kerusakan, dan kami, Jurnalis, tentu melakukan peliputan.

Pukul 03.00 WIT, pekerjaan pun selesai. Kami pun kembali menaiki speed. Walaupun gelombang yang menerpa kami tak seganas saat bepergian, namun guncangan-guncangan kecil masih tetap di rasakan.

Waktu perjalanan pulang dari Pulau Batang Dua ke Ternate pun sama, 5 jam. Hari mulai magrib ketika memasuki Ternate. Dan Alhamdulillah, kami yang masih konsisten dalam menjalankan ibadah puasa akhirnya berbuka di atas speed.(*)

Rabu, 11 Mei 2016

Islam dan Ilmu Pengetahuan Teknologi

Perpaduan Konsep Islam Dalam Menghadapi Arus Teknologi Informasi

Oleh : Nurkholis

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang informasi dan komunikasi sunguh mengagumkan. Revolusi informasi di abad modern ini ditawarkan sebagai suatu rahmat besar bagi ummat manusia. Revolusi informasi juga mampu mengubah masyarakat secara radikal menjadi suatu masyarakat yang tercerahkan. Penjajahan informasi dan penyebaran informasi besar-besaran melalui TV, Radio, Surat kabar, Majalah, dan sebagainya begitu agresif. Kemajuan teknologi informasi seolah membawa kita ke suatu lompatan panjang ke arah peradaban yang lebih tinggi. Sehingga boleh dikata, hampir semua negara di dunia ini terlanda arus revolusi informasi, dan dinamakan juga abad ini " Abad informasi ".

Tidak lepas dari ini, negara-negara dibelahan dunia lainnya, khususnya negara Muslim, ikut juga menikmati kemajuan teknologi informasi yang kian membanjir. Padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan kepentinganya, dan bahkan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya negeri Muslim itu sendiri. Karena ketidaksesuaian itu ternyata berakibat, abad informasi bukan lagi rahmat, tetapi penyakit baru. Bagi masyarakat barat ia telah menghasilkan sejumlah problem, yang dimana, pemecahan terhadapnya terbukti tumpul bagi masyarakat Muslim.

Entah dengan hadirnya dunia teknologi informasi adalah jalan untuk mengefisiensi jarak komunikasi antar sesama, ataukah sebuah rekayasa dalam menelanjangi batas-batas moralitas. Kita tentu dilematis ketika diperhadapkan dengan berbagai macam kecanggihan dunia teknologi saat ini. Akibatnya, kita sedikit kesulitan dalam memecah substansi dari nilai guna teknologi tersebut.

Pandangan Yasraf Amir Piliang dalam bukunya 'Dunia Yang Dilipat' bahwa, saat ini kita sedang berada dalam sebuah zaman yang mengalami perubahan serba 'supercepat'. Gaya hidup supermodern di negara-negara maju dengan amat mudah dapat kita rasakan setiap saat, jam, dan hari. Melalui apa?!, tentu melalui Televisi, Handphone/seri tablet, Laptop, dan lain-lain sebagainya.

Sebuah dunia yang dilipat, kata Yasraf. Kini siapapun dapat menyaksikan dan memandang dunia secara keseluruhan. Negatifnya, representatif dari berbagai pertunjukan yang ditonton tersebut kemudian dijiwai dalam diri tanpa ada filterisasi. Ya.! Kehidupan yang baru. Maka pada prinsipnya, segala tindakan bersifat instan, cepat, dan tak menentu. Hal itu, kini menjadi suatu asupan yang wajib untuk dikonsumsi.

Arus informasi yang begitu cepat dari berbagai sumber dan kepentingan akhirnya kemudian akan membentuk paradigma dan keperibadian konsumennya, utamanya para remaja. Kemudian belum lagi dengan tayangan-tayangan televisi yang sekuler (seperti film barat misalnya), telah menjadi tontonan wajib sekaligus “trade mark” bagi identitas generasi masa kini. Tentu hal ini sedikit bertolak belakang dengan kebutuhannya sendiri. Perpaduan gaya dan kebutuhan kemudian dijewantahkan dalam bentuk-bentuk ciri. Tak heran jika identitas diri manusia muslim Indonesia seolah hilang kendali seiring kecepatan dunia teknologi. Tentu menyeret segala kepekaan dalam melihat porsi-porsi dampaknya. Maka tak heran jika manusia Indonesia sulit dibedakan dengan manusia Barat, dan akibat dari pada sesuatu yang berlebihan ini, maka terjadilah obesitas eksistensi (kegemukan pencitraan).

Segala bentuk pertunjukan yang nol akan nilai berlarian sana-sini. Seolah tak mau ketinggalan dalam mengikuti arus gaya (style) demi penilaian yang semu dari sesama pelaku teknologi. Maka pada akhirnya, gaya kemudian menjadi sebuah kebutuhan utama di masa kini. Segala keterbukaan telah mendorong perkembangbiakan, pelipatgandaan, dan penganekaragaman produksi informasi, serta tanda dan kesenangan tanpa batas dalam skala global.

Setelah semua batas-batas tersebut di atas lenyap, kemudian terbentuklah jaringan-jaringan transparansi diri. Didalam jaringan transparansi informasi (facebook misalnya), orang membaca, mendengar, melihat, menonton, menyukai, menyimpan, dan memamerkan apa saja yang dianggap amoral. Dengan lenyapnya daya tangkal dalam melihat sisi-sisi negatif, menyebabkan kita kehilangan energi spiritual, sebagaimana serangan virus HIV-AIDS yang mengerogoti daya tahan tubuh sehingga penyakit apapun dengan mudah masuk.

Memang, jamak dalam kehidupan ini selalu ada yang terbaik, bahkan diantara yang terburuk sekalipun. Tapi, wajah keeksistensian dengan gampang "berkat teknologi" dengan mudah bersalin rupa menjadi "wajar-wajar saja", jika semua pelaku teknologi mengangap itu adalah tabu.

Tan Malaka, dalam buku Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) serta Aksi Pergerakan Massa, memberikan sebuah penekanan dalam mengajak manusia Indonesia sebagai bangsa yang khas dengan keanekaragaman kultur untuk kembali ke esensial Indonesia yang sebenarnya. Ya.!! Manusia yang sarat akan nilai kebudayaan. Bukan bangsa yang plagiat, konsumtif, dan pragmatis.

Sekarang Kecepatan teknologi mengantarkan kita pada ruang-ruang instan yang banyak menimbulkan ketidakakuratan dalam melihat penentuan nilai. Hal ini dikarenakan tidak didasarinya Ilmu dan Agama, sehingga batasan-batasan etika dan estetika lenyap ditutupi ekstatse eksistensi. Terlihat dari arus informasi ini, banyak manusia yang tengelam di dalamnya. Arus informasi yang berlimpah ruah hanya sedikit yang mengandung makna, karena sudah terlepas dari basis tradisional masyarakat.

Lantas bagaimana kita menyikapi arus informasi ini. Sederhana, konsepnya perlu disusun berdasarkan dari konsep-konsep dasar Islam. Minimal ada tujuh konsep pokok Islam yang berkaitan langsung dengan penciptaan dengan penyebaran informasi, yaitu: tauhid (Ke-esaan Allah), 'ilm (Ilmu pengetahuan), hikmah (Kebijakan), 'adl (keadilan), ijma (konsensus), syura (musyawarah), istislah (kepentingan umum), dan ummah (komunitas muslim sedunia).

Dari tujuh konsep ini strateginya perlu dirancang, memadukan yang tradisional dan modern agar orientasinya tepat ke kebutuhan sendiri dan kepentingan umum, khususnya Muslim se dunia. Bukan untuk mereka pembuat teknologi dan penyebar informasi (dunia barat).

Beranjak dari konsep dan strategi itulah seharusnya dipancarkan informasi dunia Muslim. Hal itu agar sesuai dengan nilai-nilai Islami serta tidak kehilangan identitas sebagai bangsa peradaban yang mengedepankan ilmu pengetahuan.

Kelihatannya memang sedikit sulit, namun bagaimanapun juga sangat penting untuk dipikirkan, jika tidak, maka arus informasi bukan lagi rahmat, tetapi bencana bagi umat Islam itu sendiri. Sedikit saya mengutip penuturan Ali Syariati : " Rakyat dunia ketiga terlebih dahulu harus menegaskan warisan budaya mereka, termasuk warisan keagamaan mereka, sebelum mereka dapat berjuang melawan imprilialisme, dan agar mereka dapat meminjam teknologi barat tanpa kehilangan identitas mereka sendiri.(*)

Selasa, 03 Mei 2016

Romantislah Pada Tempatnya

ROMANTIS, adalah.....?????. Sejujurnya, saya sangat sulit mendeskripsikan romantis. Sebab, setiap pasangan memiliki cara yang berbeda dalam ber-romantisasi. Dan itulah yang menjadi kendala buat saya dalam mendudukan substansi dari romantis.

Namun, banyak gambaran romantis yang bertebaran bebas menabrak batas. Ada yang merayap dan ada yang melayang. Hal itu seakan menjadi suatu asupan jiwa untuk melanggeng status hubungan dalam kurun waktu yang selama-lamanya.

Entah sejak kapan romantis ini bergelora, dan sejak kapan adanya. Tentu sangat sulit kita menemukan kondisi yang berprinsip, namun apapun judul hubungannya, romantis tumbuh berkobar seiring panasnya cinta yang nyala.

Terkadang, posisi kita sebagai LAKI - LAKI yang sedikit BER - RAHANG KERAS, eh sory, maksudnya BERKARAKTER KERAS, agak kaku dalam menerima sifat dasar perempuan. Tapi, demi memuaskan birahi romantisasi sang gadis, style "miringkan kepala, bengkok-kan badan, julurkan lidah," dengan terpaksa dilakukan. Bahkan yang lebih cangih adalah, sms/bbm sekedar mengucap, "chayang, abis makan jang lupa minum air ee..." di scrand picture kemudian di upload di dunia maya. Maka pada akhirnya, obesitas romantisme terlihat fulgar dan sungguh mengelikan dipandang mata.

Romantis adalah sifat dasar perempuan manakala hatinya sudah terpaku pada orang yang dicinta. Dilain sisi, romantis dalam diri seorang perempuan merupakan suatu hal alamiah yang kelak akan mentransformasikan sikap kelembutan kepada anak-anaknya kelak.

Dalam buku Serial Cinta, karya Anis Matta pada pembahasan "Kelemahan Orang-orang Romantis", banyak memberikan gambaran tentang sisi-sisi melankolik dua insan yang jauh terjebak pada wilayah rasa, yang kemudian mengkerdilkan pemikirannya. Bahkan, kata Aniz, di zaman Rasulullah SAW, orang romantis pergi berperang dengan jiwa yang melankolik. Dalam gambarannya, sewaktu Perang Tabuk (perang melawan Bangsa Romawi), sebagian lelaki menolak turun ke medan perang dengan berbagai macam alasan. Adapun yang bergi, kata Anis, tubuhnya di medan perang, tetapi hatinya masih terpaut pada kehangatan ranjang. Kemungkinan inilah yang menjadi alasan diberlakukannya nikah Mut'ah (nikah kontrak) waktu itu. Sekarang so tarada...

Sepintas, memang kelihatannya sebuah kelemahan jika ditempatkan bukan pada tempatnya. Ibarat perhatian, "Buanglah Sampah Pada Tempatnya". Penegasan untuk menjaga "kebersihan" seolah relevan dalam setiap persoalan, termasuk perkara romantis. Tetapi, bagi saya, Anis Matta pun masih "galau" dalam menjelaskan sifat dasar manusia tentang romantis sebagai api cinta untuk mencairkan hubungan yang dingin membeku.

ah, maaf...!!! saya sudah terlalu banyak beromongkosong ria. Tapi, puncak klimaks dari tulisan ini adalah, romantis tidak selamanya berada pada wilayah foto bersama, jalan bersama, dan atau tidur bersama. Tetapi romantis yang paling agung adalah mendoakan dalam diam tanpa diketahui oleh siapapun.

Nurkholis Lamaau, Makassar, Kamis 8 Desember 2016

Sabtu, 16 April 2016

Mimpi Yang Tak Di Impikan

Secangkir kopi hitam,
Kuseruput menyisahkan ampas,
Menemani kesepian,
Dalam kesendirian.

Masih terbayang dengan mimpi semalam.
Tentang kau yang menutup hari-hari kesendirian,
Dengan pilihan yang tak pernah di impikan.

Suasana bahagia yang dinantikan sepasang insan,
Seolah momen mematikan dalam pilihan,
Deraian airmata jatuh tak tertahankan.
Kau telah dibumikan dalam kepasrahan.

Perempuanku...
Masihkah kau harapkan kepingan-kepingan kenangan
Untuk disatukan dalam ingatan.
Bukankah kita pernah bersepakat,
Tentang adanya cerita-cerita kehilangan.

Perempuanku...
Jangan kau ajak aku di dalam mimpi,
Sekedar melihatmu larut dalam tangisan.
Bukankah kita pernah bermimpi,
Dalam impian yang tak pernah menjadi kenyataan.

Ketahuilah perempuanku...
Bahwa cerita perpisahan kita adalah kenyataan.
Cukupkanlah do'a,
Sebagai perantara untuk saling megingatkan.

Minggu, 10 April 2016

Air Salobar Mengalirkan Kutukan Warga


                                                Oleh : Nurkholis
                                   (Pegiat PUSMAT Kota Ternate)

      Salobar adalah sebuah penuturan lokal masyarakat Maluku Utara yang diistilahkan untuk air yang terasa 'payau'. Diperjelas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi atau arti kata 'payau' adalah air yang terasa sedikit asin karena tercampur air laut. Hal ini seringkali terjadi pada wilayah yang berdekatan dengan lautan.

Air Salobar, pertama kali digemakan oleh warga yang bermukim di bagian utara Kota Ternate, tepatnya di Kelurahan Sangadji. Hal ini kemudian berlanjut hingga ke beberapa kelurahan lainnya. Sebab air yang seringkali mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, minum, dan memasak, berubah rasa menjadi asin. Sehingga, hampir sebagian besar masyarakat yang bermukim di beberapa Kelurahan bagian utara seperti Soasio, Salero, Kasturian, Koloncucu, Siko, Sangadji, Dufa-Dufa, Akehuda, Tafure, hingga Sango, beralih menggunakan air gelon untuk keperluan konsumsi.

Parahnya, di Kelurahan Dufa-Dufa, terdapat 30% warga yang beralih menggunakan sumur bor. Hal ini merupakan efek daripada distribusi air dari PDAM yang terasa payau/salobar. Jika dikaji secara ilmiah, pemompaan air tanah dari akuifer pantai, turut meningkatkan intrusi air laut, karena tekanan air tanah berkurang dan menjadi relatif kecil dibandingkan dengan tekanan dari air laut. Sementara pemanasan global yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara, tentu dapat meningkatkan tingginya volume air laut.

Tentu kejadian ini tidak serta-merta terjadi begitu saja, tetapi didasari dengan berbagai latar. Jika hal ini dipandang sebagai akibat dari intrusi air laut, maka penulis lebih tertarik untuk mencermati aktifitas manusia dibalik intrusi. Karena bagaimanapun upaya manusia dalam menyalahkan alam, Tuhan yang Maha Kuasa secara kompleks telah mengatur keseimbangan alam. "Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?" QS. Al-Waqiah ayat 68-69. Ayat ini seolah membawa manusia pada tahapan perenungan untuk melihat bagaimana air itu telah di atur keseimbangannya oleh Allah SWT.

Perlu kita ketahui bahwa intrusi air asin dapat terjadi secara alami hingga derajat tertentu pada sebagian besar akuifer pantai. Hal ini dikarenakan adanya hubungan hidrolik antara air tanah dan air laut. Karena air laut memiliki kadar mineral yang lebih tinggi dari air tawar, maka air laut memiliki massa jenis yang lebih tinggi, sehingga pergerakan air laut menuju air tawar cukup besar. Apalagi jika dilihat dari sisi geografis, Ternate adalah sebuah pulau yang dikelilingi lautan yang tentunya sangat mudah mengalami tekanan air laut yang begitu besar. Permasalahannya tentu dikembalikan pada kinerja pemerintah. Sebab mulai dari konsep "Ternate Kota Madani" yang lebih pada geliat pembangunan, maraknya galian C, hingga masuk pada konsep "Bahari Berkesan" yang ujung-ujungnya hanya reklamasi pantai, hingga adanya eksploitasi air tawar yang dilakukan secara berlebihan untuk bisnis pengadaan air kemasan Ino Oke. Hal inilah yang merupakan faktor utama intrusi air laut. Ditambah dengan tidak adanya antisipatif pemerintah dalam mensterilkan wilayah yang diprioritaskan untuk sumber mata air. Alhasil, pohon-pohon sagu sebagai penetralisir kadar air ditebang habis-habisan untuk orientasi pembangunan.

Atas dasar ini, tak heran jika perintah untuk menjaga alam, jauh sebelum itu, Allah SWT telah mengingatkan kita, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Al-A'raf : 56). Namun, masih saja sebagian manusia yang selalu memandang ke atas dalam konteks kepemilikan material. Mereka selalu merasa kurang atas apa yang sudah digenggamnya. Akibatnya, manusia selalu mencari dan mengambil secara material demi memenuhi kepuasan tak berujung.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Pemerintah Kota Ternate selaku penanggungjawab atas kebutuhan masyarakat untuk memperoleh air bersih seolah tak becus dalam menyelesaikan persoalan ini. Tak heran jika problem yang sudah memakan waktu hampir dua tahun berjalan ini menuai kutukan dari warga Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate.

Beberapa waktu lalu, sejumlah warga Dufa-Dufa beramai-ramai melakukan aksi di depan Kantor Walikota Ternate. Kedatangan mereka cukup kondusif. Terlihat beberapa massa aksi mencoba menuangkan segelas air salobar dengan rasa dan warna yang biasa di konsumsi warga di Kecamatan Ternate Utara. Air kemudian dilayangkan ke Satpol PP untuk di minum, namun hal tersebut ditolak oleh Satpol PP. Entah karena geli, gengsi, ataukah memang, mereka yang bercokol di bahwa instansi pemerintahan tak layak meneguk air se-salobar itu. Perlakuan ini bukan sebuah teatrikal yang diperagakan mahasiswa seniman. Tetapi itu adalah sebuah pertunjukan atas kenyataan yang dilayangkan warga dalam mencari setitik nurani para penguasa. Walaupun kedatangan mereka tidak membuahkan hasil, aksi pun kembali dilanjutkan di Kantor PDAM Kota Ternate.

Terdengar beribu-ribu kalimat cemoohan terlontar dari mulut-mulut warga. Mulai dari 'ketidakbecusan pemerintah', 'kegagalan pemerintah', 'PDAM dan Pemkot Ternate berbisnis', 'ada toko di dalam perusahaan', 'PDAM menggunakan air laut untuk didistribusikan ke warga', pembacaan 'QS. Al-Fatiha sebagai simbol sumpah-serapah' hingga pada desakan terhadap 'Direktur PDAM untuk turun dari jabatannya'. Terbawa suasana serta tak tahan menerima tekanan-tekanan yang keluar dari hati nurani masyarakat, Direktur PDAM Kota Ternate, Syaiful Djafar pun mengeluarkan sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan, "ya! Air kemasan Ino Oke milik Pemkot Ternate,". Satu kalimat yang mewakili sejuta keserakahan dibalik jabatan kaum mapan. Sebuah ironi yang menuai sejuta ketidaksangkahan atas apa yang dilakukan mereka selama ini.

Perlu diketahui, air kemasan Ino Oke sebelumnya bernama Ake Qua, sesuai dengan nama perusahannya yang dikelolah langsung di dalam lingkup kantor PDAM Kota Ternate. Ironisnya, air kemasan tersebut diambil dari sumber mata air yang sama, yakni 'Ake Gaale'. Sementara, air yang berada di dalam kemasan terasa tawar dibandingkan dengan air yang didistribusikan ke masyarakat yang terasa payau/salobar. Padahal, hampir setahun masyarakat yang bermukim di bagian utara mengalami krisis air bersih, bahkan sumber mata air Ake Gaale yang menjadi andalan mereka telah mengering.

Walikota Ternate, H. Burhan Abdurahman pernah mengatakan, secepatnya menyelesaikan masalah tersebut. Namun sampai hari ini, masyarakat masih tetap mengkonsumsi air payau/salobar. Direktur PDAM Kota Ternate, Syaiful Djafar pernah menyatakan bahwa air di bagian utara Kota Ternate masih layak di minum. Namun hasil LAB menunjukan bahwa air tersebut tidak layak diminum. Pernyataan ini pernah dijelaskan sendiri oleh Kepala Teknisi PDAM Kota Ternate, Dahlan Muhammad bahwa, air yang didistribusikan PDAM di Ternate Utara tak layak di konsumsi. Sebuah upaya berupa pengadaan sumur bor yang dikerjakan di Kelurahan Facei tidak membuahkan hasil. Katanya, di bawa titik pengalian terdapat bebatuan.

Ini merupakan suatu bukti bahwa pemerintah selaku penanggungjawab segala kebijakan terlanjut salah, dan seolah tidak serius dalam menyelesaikan masalah ini. Padahal, pemerintah bisa saja melakukan relasi terhadap para ahli maupun pihak-pihak terkait yang paham dengan kondisi itu untuk mencari berbagai solusi. Namun, dari sejumlah lembaran media massa, yang diributkan hanyalah, siapa yang layak di kompensasikan, air salobar tidak di gratiskan, pengadaan 155 sumur bor pada hasil Musrenbang sebagai solusi, hingga keributan-keributan angin lalu lainnya.

Sejatinya, Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalimat inilah yang terkandung di dalam dasar negara kita. Di dalam UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Alam (SDA) ditegaskan bahwa rakyatlah yang sejatinya menikmati sumber daya alam tanpa terkecuali. Begitu juga dengan sumber daya air, rakyat harus menikmati air bersih, sehat, dan tidak tercemar. Namun sampai hari ini, penderitaan rakyat masih terus berlanjut. Tentunya, selama itu pula "kutukan-kutukan warga" akan terus mengalir.(*)

Rabu, 06 April 2016

Air dan Rasionalisasi Al-Qur'an

                                          Oleh : Nurkholis

Air adalah sumber segala kehidupan. Tanpa air, segala kehidupan akan terhenti, dan bahkan mati. Air adalah bagian terkecil dari kekuasaan Allah SWT yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh makhluk di dunia.

Terkait hal ini, Allah SWT telah menjelaskan di dalam Al-Qur'an, surat an-Naba ayat (14) "Dan kami telah menurunkan air yang tercurah dari mega-mega yang tebal, (15) Untuk kami keluarkan dengan air itu biji-biji dan tumbuh-tumbuhan, (16) Dan kebun-kebun yang lebat,".

Di ayat lain, Allah SWT menjelaskan, "Sesungguhnya kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, (pohon) anggur, dan sayur-sayuran, (pohon) zaitun dan kurma, dan kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan dan rumput-rumputan, untuk kesenangan bagimu dan hewan-hewan ternakmu,".QS. Abasa: ayat 25-32.

Tak heran jika perintah untuk menjaga alam, Allah SWT telah mengingatkan kita, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Al-A'raf : 56).

Berbicara tentang air, Al-Qur'an sendiri banyak menjelaskan bagaimana Tuhan menciptakannya dengan penjelasan yang dapat dikaji secara ilmiah. Bukti ilmiah tersebut membuktikan bahwa ayat-ayat yang disampaikan Rasulullah SAW yang hidup di jazirah Arab yang kering kerontang adalah benar-benar firman Allah.

Perlu kita ketahui bahwa kondisi geografis di tanah Arab didominasi oleh padang pasir yang sangat jarang disiram air hujan. Hal ini berbeda dengan kondisi geografis yang berada di Indonesia sebagai wilayah tropis. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan.

Dalam hal ini, Rasulullah SAW telah memberikan penjelasan sangat ilmiah tentang siklus air. Sedangkan orang yang hidup di tanah Arab hanya mengenal air yang mereka konsumsi berasal dari sumur atau sungai Nil yang menjadi sumber air utama bangsa Arab waktu itu.

Terkait hal ini, di dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 22 disebutkan, "Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan Dialah yang menurunkan air dari langit …"

Ayat tersebut secara jelas mengatakan bahwa air yang kita minum adalah air yang diturunkan dari langit. Dalam hasil penelitian menyebutkan bahwa air tawar yang kita minum berasal dari hujan. Air tersebut turun melalui siklus peredarannya sehingga tersedia air tawar di hulu pegunungan. Awalnya ia berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan es, hujan gerimis dan atau kabut.

Dalam tahapan ini, Al-Qur’an memberikan informasi secara tepat mengenai pembentukan hujan. "Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira" QS-Ar-Rum [30]:48).

Al-Qur’an tidak langsung mengatakan bahwa air yang kita minum berasal dari sungai, sumur, atau danau. Tapi ia diturunkan berupa air hujan. Dan dari hujan inilah terbentuk sumber-sumber air yang akan mengaliri sungai-sungai, mengisi sumur-sumur, dan memenuhi danau. Tanpa air hujan, siklus air di planet bumi ini tidak akan berjalan. Secara ilmiah siklus ini dinamakan siklus hidrologi.

"Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?" QS. Al-Waqiah ayat 68-69.

Ayat ini seolah membawa manusia pada tahapan perenungan untuk melihat bagaimana air itu diciptakan. Hanya saja, dari sederet tahapan yang telah di atur oleh Allah SWT ini, masih ada sebagian dari manusia yang selalu memandang ke atas dalam konteks kepemilikan material. Mereka selalu merasa kurang atas apa yang sudah digenggamnya. Akibatnya, manusia selalu mencari dan mengambil secara material demi memenuhi kepuasan tak berujung.

                         Air dan Komersialisasi para Penguasa

Satu bukti keserakahan yang diperlihatkan manusia adalah tingginya eksploitasi air secara berlebihan. Hal ini dapat dilihat di Kota Ternate. Hampir setahun, masyarakat yang bermukim di bagian utara KotaTernate mengalami krisis air bersih, bahkan sumber mata air Ake Gaale telah mengering, menyisahkan air mata warga.

Problem ini telah berjalan hampir setahun lamanya. Walikota Ternate, H. Burhan Abdurahman pernah mengatakan secepatnya menyelesaikan masalah tersebut. Namun sampai hari ini, masyarakat masih tetap mengkonsumsi air payau/salobar.

Direktur PDAM Kota Ternate, Syaiful Djafar pernah menyatakan bahwa air di bagian utara Kota Ternate masih layak di minum. Namun hasil LAP menunjukan bahwa air tersebut tidak layak diminum. Pernyataan ini pernah dijelaskan sendiri oleh Kepala Teknisi PDAM Kota Ternate, Dahlan Muhammad.

Seiring dengan itu, PDAM bersama Pemerintah Kota Ternate dengan semangat kapitalisnya meluncurkan sebuah air kemasan bermerek "Ino Oke" yang diambil dari sumber yamg sama, yakni "Ake Gaale". Sedangkan air yang berada di dalam kemasan, terasa tawar. Ini merupakan suatu bukti bahwa pemerintah seolah tidak serius dalam menyelesaikan masalah ini.

Padahal, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalimat inilah yang terkandung di dalam dasar negara kita. Di dalam UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Alam (SDA) ditegaskan bahwa rakyatlah yang sejatinya menikmati sumber daya alam tanpa terkecuali. Begitu juga dengan sumber daya air, rakyat harus menikmati air bersih, sehat, dan tidak tercemar. Namun sampai hari ini, penderitaan rakyat masih terus berlanjut.

Di sela-sela aksi yang dilakukan oleh masyarakat Dufa-Dufa pada Senin 4 April 2016 kemarin, Direktur PDAM Kota Ternate, Syaiful Djafar secara mengejutkan mengeluarkan pernyataan bahwa Bisnis Ino Oke milik Pemerintah Kota Ternate. Pertanyaannya, stambuk Kekhalifaan yang diamanatkan Tuhan kepada manusia dikemanakan para beliau-beliau...?!

                                                           *****

Minggu, 28 Februari 2016

Lelaki, Perempuan, Celana Robek dan Perjuangan Gender


                          
                                                Oleh: Nurkholis

        Akhir-akhir ini, sebagian perempuan di negeri ini cukup aktif dalam mengampanyekan muatan gender berupa sobekan pada celana panjang, tepat di bagian lutut. Sukar dipungkiri bahwa perjuangan mereka sebatas ekspresi gundah gulana. Mereka tidak ingin celana robek di bagian lutut menjadi penanda sejati kaum lelaki. Isu kesetaraan gender pun ingin melibatkan soal style/gaya para lelaki. Celana robek-robek dalam pandangan mereka, tidak lagi domain kejantanan yang hanya didominasi lelaki. Toh sejak mengenakan celana robek-robek di dunia kampus, didapati pula para lelaki yang tampil jantan dengan celana robek-robek.

Celana Robek dan penegasan kelas nampaknya menggoda sebagian kaum perempuan untuk mengikutinya. Tidak sekadar meniru, bahkan mereka sejak lama secara sadar masuk dalam industrialisasi brand (merek) lewat taburan iklan. Lihatlah betapa banyak iklan fasion yang diperankan wanita-wanita Eropa menyuratkan sisi maskulin yang selalu melibatkan perempuan cantik dan seksi. Perempuan menjadi komplemen wajib dari hadirnya pejantan dalam sehelai benang. Hal ini seolah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Awalnya mungkin hanya menjadi figuran iklan, tapi lambat laun berubah menjadi gaya hidup. Glamorisme iklan niscaya menyertakan gaya hidup yang kemudian termanifestasikan dalam kesan dan citra. "Aku mengenakan celana robek-robek maka aku bergaya hidup". Yah, semacam adagium yang hadir, seiring larutnya perempuan dalam kapitalisasi tubuh dan gaya hidup. Maka, gaya para lelaki pun menjadi tiruan yang ampuh untuk mensejajarkan diri. Saat yang sama, pesona sobekan di sisi perempuan malah dilihat sebagai alat untuk perjuangan kelas dan gender. Jadilah gaya hidup yang kemudian mengideologi sebagai kesadaran menyetarakan diri dalam jagat materi.

Menolak bergaya sebagai ciri khas pria sejatinya logis saja. Mana mungkin simbol perjuangan kelas dan gender perempuan diklaim hanya milik pria. Padahal, celana robek-robek dalam kesehariannya sendiri memiliki fungsi praktis dan simbolis yang sudah lama melekat. Secara praktis mungkin saja kejantanan layak diperdebatkan bila hanya milik styles lelaki. Tapi, dalam praktis keseharian di negara kita misalnya, celana robek dari lelaki identik dengan kehidupannya yang tak perduli diri.

Celana robek-robek bagi kaum lelaki sering dianggap berfungsi sebagai kejantanan hingga hal tersebut semacam doping kala berhadapan dengan perempuan. Bahkan pada sebagian lelaki, celana robek sebagai candu wajib agar jiwa terus dilirik. Jiwa seolah hampar bahkan tak memiliki estetika apabila celana tidak dirobek. Demikianlah anggapan yang berkembang luas, bahkan diyakini jadi ideologi para lelaki bercelana robek.

Identitas styles itulah yang coba diimitasi oleh sebagian perempuan fasion, terutama yang aktif mengikuti trend. Bagi mereka, fungsi ideologis celana robek ini, berhak dikenakan perempuan. Bagaimanapun juga, dalam alam kesetaraan gender karakter ketidakpedulian menilai diri dari seorang lelaki bukan monopoli lelaki semata.

Di sisi lain, celana robek secara abstraksi juga memiliki nilai simbolis dan nilai ini sudah tabu di alam bawah sadar. Celana robek dalam kajian simbol, identik dengan kejantanan dalam arti organ genital lelaki. Sudah tentu, wilayah ini eksklusif dan tidak dapat direbut perempuan. Meskipun begitu, ada upaya di kalangan perempuan pencinta sesama jenis untuk menggunakan celana robek sebagai perantara maskulinitasnya.

Karena celana robek sebagai simbol genital lelaki, sangat mudah memahami bila iklan-iklan yang bertebaran sejatinya tidak hanya melibatkan unsur styles lelaki, tetapi juga superioritas lelaki secara percintaan. Celana robek mewakili genital lelaki, sementara perempuan direpresentasikan dalam bentuk berjalan lengak-lenggok indah menggoda. Sadar ataupun pura-pura, perempuan-perempuan tertentu, terutama gadis muda memainkan imajinasi lelaki dengan permainan tanda lewat cara mengapit betis dan memainkan gerak langkahnya dari sisi kulit yang terlihat. Praktik tanda ini disengaja untuk menarik objek yang disasar, entah satu ataupun ribuan.

Sebelum ada kesepakatan bahwa celana robek juga berhak dikenakan perempuan, generasi yang lahir sebelum era 1990-an ataupun media sosial masif dipakai pasti paham bagaimana permusuhan pencitraan khalayak pada citra perempuan. Dengan cara berpakaian seperti ini tentu biasanya di stigma nakal, liar, jalang, penggoda, atau minimal rumah tangganya tidak beres. Perempuan bergaya seperti ini banyak disimpulkan sebagai sosok tidak bermoral.

Citra-citra buruk itulah yang ingin diubah belakangan ini yang sayangnya, malah perilaku hidup perjuangannya nyaris setemali. Nyaris kehidupan bebas lepas menjadi kiblat, kendati dibungkusi label perjuangan kearifan membawa-bawa isu iklan dan dominasi asing. Para perempuan itu lupa bahwa selagi mereka masih mengkonfirmasi tanda-tanda yang melawan kodrat ketimuran yang tradisional, maka bersiaplah untuk dicurigai. Di ranah media mungkin mereka sudah dibantu, tapi tidak demikian di dunia nyata.

Belum lagi citra-citra sebagai simbol kemandirian lelaki yang dipakai malah kerap tumpang tindih dengan pesona kemesuman yang dilakukan sebagian perempuan. Amat berbeda para perempuan tua yang mengenakan pakaian disulam kain tetapi tetap saja dinilai si fakir miskin.

Celana robek bagi perempuan tua hanyalah musibah karena digigit tikus dan atau dimakan waktu sehingga disegerakan untuk ditambal/disulam. Ketika ditawarkan penggantinya berupa kebaya/rok atau minimal, celana yang tidak ada robeknya, tentu mereka menerima. Lain halnya dengan perempuan yang sadar tanda (semiotika). Mana ada keseksian yang ingin dihadirkan dengan kebaya atau rok. Tentu tidak seksi.

Gerakan tubuh yang dilakukan perempuan bercelana robek sejatinya menandai siapa dirinya. Dan itulah yang dikehendaki mereka. Maka, ketika ada perempuan yang tadinya dilihat baik-baik bercelana robek, maka gambaran-gambaran buruk bertebaran sana-sini. Karena melihat gaya mereka dengan celanannya yang robek sudah menjelaskan siapa mereka.(*)

Sabtu, 23 Januari 2016

Kebebasan Pers, Kendali Penguasa dan Tanggungjawab Sosial


Oleh: Nurkholis
_______________
                                                                                       

           Sebelum memulai sebuah penjelasan tentang pendapat yang berpacu dari tema di atas, ada baiknya, penulis memberikan sedikit penjelasan tentang pengertian dari pers itu sendiri. Pers berasal dari perkataan Belanda yang artinya menekan. Kata pers merupakan kesepadanan dari kata press dalam bahasa Inggris yang juga memberi arti yang sama, menekan. Maka, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi dewasa ini, pers atau press digunakan untuk merujuk pada semua kegiatan kejurnalistikan yang dilakukan oleh wartawan dalam kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita.

Sebagaimana sendi-sendi kehidupan yang memiliki pengertian filsafat, dalam tulisan ini, penulis sengaja menyematkan filsafat yang tentunya tidak akan keluar dalam topik dari tema di atas (kebebasan pers, kendali penguasa, dan tanggungjawab sosial). Dalam buku Jurnalistik-Teori dan Praktek, penulis Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat menyatakan, pers pun memiliki filsafatnya sendiri. Sama halnya dalam buku Jurnalisme Modern, pada bagian ketiga tentang Filsafat dan Jurnalistik, yang ditulis langsung oleh Saidulkarnain Ishak. Walaupun pada prinsipnya mereka tetap memisahkan dua hal ini namun pada haikatnya, ujung tombak pemberitaan berlandaskan pada kebenaran (substansi informasi), bukan sekedar yang salah di benar-benarkan hanya karena mengejar oplah pendapatan.

Singkatnya, Filsafat dalam bahasa Inggris yakni philosophy dan Arab falasafah adalah sebuah pedoman yang berurusan dengan tata nilai, atau prinsip-prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan yang bersifat praktis. Falasafah pers disusun berdasarkan sistem politik yang dianut oleh masyarakat. Dimana, pers memiliki hubungan dengan kehidupan. Falasafah pers yang dianut bangsa Amerika berpaham liberalistis. Liberalistis dalam konteks Amerika jangan dipahami dengan bebas tanpa batas. Karena pemahaman ini sudah ditinggalkan Amerika sejak 1956. Walaupun, Amerika sendiri lebih menganut paham liberal. Sedangkan falasafah pers yang dianut Indonesia dengan sistem politik demokrasinya sangat berlainan dengan falasafah pers yang dianut Myanmar yang sarat akan materialistis.

Berbicara falasafah pers, terdapat sebuah buku klasik mengenai hal ini, yaitu 'empat teori tentang pers'. Buku ini ditulis oleh Siebert, Peterson, dan Schramm, lalu kemudian diterbitkan oleh Universitas Illinois pada tahun 1956. Dari karya ini, pada tahun 1980, muncul teori baru tentang tanggungjawab sosial dalam komunikasi massa yang dipelopori oleh Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka berjudul Responsibility in Mass Communication. Baik Siebert maupun Rivers, pada prinsipnya, keduanya sama dalam mewakili pandangan Barat yang pada dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat. Ketiga cara tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia yaitu negara, kebenaran, dan perilaku moral. Hanya saja, bagi Siebert, ketiga cara tersebut merupakan landasan untuk lahirnya empat teori tentang pers. Sedangkan bagi Rivers, menjadi konsep dasar untuk mengembangkan teori baru tentang tanggungjawab sosial dalam komunikasi massa.

Dalam teori pers, pada dasarnya merupakan perkembangan dari teori libertarian yang tidak terlalu jauh beda dengan teori tanggungjawab sosial dalam buku empat teori tentang pers. Hanya saja, perlu diketahui bahwa penerimaan atas teori Rivers ini didukung oleh kecurigaan dan ketidakpuasan orang terhadap libertarianisme dan jurnalisme yang terlalu pers-sentris. Dalam buku klasik tersebut banyak memaparkan pandangan normatif dari Siebert, tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe masyarakat. Dari asumsi dasar mereka adalah bahwa, pers selalu mengambil bentuk dan warna struktrual sosial dan politik dimana ia beroperasi. Sehingga berdasarkan sistem dasar sosial dan politik yang berlaku di dunia itulah sehingga dikembangkanlah empat teori tentang pers tersebut.

Teori pertama dalam buku tersebut yakni Teori Pers Otoriter, yang diakui sebagai teori pers paling tua yang hadir dari abad-16. Ia berasal dari falasafah kenegaraan yang membela kekuasaan secara absolut. Penetapan tentang hal-hal yang benar, dipercayakan hanya kepada segelintir orang bijaksana yang dianggap mampu dalam memimpin. Maka pada dasarnya, pendekatan lebih dilakukan dari atas ke bawah (top down). Dimana, pers harus mendukung kebijakan pemerintahan dan mengabdi kepada negara. Para penerbit diawasi melalui paten-paten, izin-izin terbit, dan sensor. Menurut Siebert, konsep inilah yang kemudian menetapkan pola asli bagi sebagian besar sistem-sistem pers nasional dunia, dan itu masih bertahan hingga sekarang.

Jika dilihat dalam teori pers otoriter ini, negara seakan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Artinya, jika dipandang pembenaran negara dalam sudut kekuatan, siapa yang berkemampuan memiliki kekuatan maka, mereka akan mendapat kekuasaan, termasuk mengendalikan kebebasan pers. Lihat saja dinamika pers Indonesia selama 32 tahun (1965-1997) dibawah rezim Orde Baru Soeharto. Jenderal Soeharto yang berhasil mengambil alih kekuasaan atas kendali pemerintahan dan kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI ke-2 pada tahun 1967, mencanangkan untuk melaksanakan UU 1945 secara murni dan penuh konsekuen. Tetapi, pada pasal 28 konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat itu tetap saja tidak dijalankan secara konsekuen. Kebebasan pers Indonesia diwaktu itu seolah dipasung. Rambu-rambu untuk membatasi kebebasan pers seperti SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) untuk penerbitan pers dan sensor yang masih ditambah dengan praktek instansi militer yang sewaktu-waktu meminta ditangguhkannya pemuatan suatu berita hanya melalui telepon. Jika sebuah media tidak mematuhi permintaan tersebut maka, pemerintah dapat mencabut SIUPP media yang bersangkutan. Di bawa resim Orde Baru, pemerintah Indonesia begitu menganut sistem otoriter yang keras sekeras-kerasnya.

Seiring kebebasan politik, agama, dan ekonomi yang semakin tumbuh, maka hadir pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Sehingga hal inilah yang kemudian melahirkan teori baru yakni Libertarian Theory, atau Teori Pers Bebas, yang dimana teori ini mencapai puncaknya hingga di abad ke-19. Dengan lahirnya teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Sehingga teori inilah yang kemudian memberikan penekanan terhadap pers sebagai mitra dalam upaya pencarian kebenaran, bukan sebagai alat pemerintahan. Jadi, tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berdasarkan teori ini terjadi.

Di Indonesia sendiri, sejak masuknya era reformasi pasca dilengserkannya Soeharto dari kursi kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia pun kembali longgar. Di masa kepemimpinan B.J. Habibie, kran-kran kebebasan berpikir yang tidak dirintangi oleh rambu-rambu sensor, izin-izin, atau larangan-larangan melalui media massa mulai dibuka. Meskipun pada tahun 1975, mulai muncul lembaga SIT di Jakarta yang disebabkan kebijakan mutlak dari Pimpinan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Cabang Jakarta dengan mengusulkan kepada Pimpinan KMKB-DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) agar diberlakukannya izin terbit bagi penerbitan pers, yang dimana, pada waktu itu PWI merasa terganggu dengan bermunculan secara bebas penerbitan-penerbitan pers yang mencari keuntungan dengan menyiarkan berita dan tulisan-tulisan tentang seks, pembunuhan, gosip, dan sebagainya yang dinilai kelewatan batas.

Sebutan terhadap pers sebagai 'pilar kekuasaan keempat' setelah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi umum dan diterima dalam teori libertarian tadi. Tetapi dengan maksud, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah dalam upaya mencari kebenaran. Tentunya, semua gagasan harus dikembangkan sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan sedangkan sebaliknya akan lenyap.

John Milton dengan gagasannya tentang "proses menemukan sendiri kebenaran" dan "kebebasan menjual gagasan" menjadi sentral dalam teori pers bebas. Berdasarkan gagasan Milton ini, dalam sistem pers bebas (pers libertarian), pers dikontrol self-righting process of turth, lalu diperhadapkan dengan free market of ideas dan oleh pengadilan. Artinya, implikasi dari self righting process adalah bahwa, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan setiap orang punya akses yang sama untuk menuju ke sana.

Sangat diakui bahwa, teori pers bebas ini memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karena itu, pers bebas tidak sekedar hadir sebagai sebuah substansi informasi, tetapi hadir dengan ratusan rubrik yang ditawarkan. Namun ironisnya, dibalik dari kebebasan itu, paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit pula mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Sebagian besar aturan-aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemiliknya sendiri. Singkatnya, pers semacam ini cenderung kurang sekali tertarik pada kepentingan masyarakat. Misalnya, penulis mengambil salah satu contoh dari sebuah peristiwa berupa bencana alam gempa bumi yang terjadi di Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, sejak 16 November 2015 kemarin, dimana, informasi yang diperoleh penulis berupa bantuan beras dari Badan Logistik (Bulog) sebanyak 2 ton ternyata rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi oleh penggungsi, hanya menghempas sejenak. Entah hal tersebut tidak terlepas dari intrik persaingan lawan politik yang bertepatan dengan pemilihan kepala daerah di wilayah tersebut namun, lagi-lagi wacana itu tersapu gelombang euforia pemilu. Barangkali penuturan dari Lord Northclife mengatakan bahwa, "News is anything out of ordinary: berita adalah segala sesuatu yang tidak biasa", sangat relevan dengan orang yang berada dibalik kasus beras rusak, bukan orang biasa. Ataukah, berita tentang sumber air Ake Gaale di Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara cukup disorot datar, karena orang yang berada dibalik bisnis tersebut bukan orang biasa, maka hal tersebut bukan berita. Ataukah memang warisan Orde Baru masih bersemayam di wilayah tersebut. Prasangka ini merupakan sebuah konsekuensi atas ketidaktransparannya fungsi informasi yang berasal dari segelintir orang yang kemungkinan paham akan kinerja pers.

Dalam salah satu teori, yaitu 'Teori Pers Bertanggungjawab Sosial'. Teori ini diturunkan sebagai sebuah modifikasi dengan penjabaran berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam pers libertarian, para pemilik dan operator pers paling intens dalam menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan dan dalam versi apa. Teori pers libertarian diklaim tidak berhasil memahami masalah-masalah seperti proses kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab sosialnya ini kemudian diformulasikan secara jelas pada tahun 1949 dalam laporan, "Commission on the Freedom of the Press" yang diketuai oleh Robert Hutchins. Maka, dibentuklah sebuah komisi yang terkenal dengan sebutan Hutchins Commission dengan mengajukan 5 prasyarat sebagai syarat bagi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat. (Lihat: John C. Merril, Journalism Ethics - Philosophical Foundations for News Media, St. Martin's Press, New York, 1997).

Teori pers bertanggungjawab sosial itu merespon pendapat bahwa orang dengan sia-sia mengharapkan adanya pasar media yang mengatur dan mengontrol sendiri sebagaimana digembargemborkan oleh pendukung teori pers libertarian. Dalam fungsi pers libertarian, fungsi ganda media massa yang dimiliki oleh perusahaan swasta, yaitu untuk mencari keuntungan dan melayani para peng-iklan mereka ketimbang melayani publik yang dipenuhi secara sepihak. Sehingga, Lazarferld dan Merton mengatakan, "perusahaan besar membiayai produksi dan distribusi media massa dan di atas segala-galanya, dia yang menanggung biaya dialah yang menentukan semuanya,".(Lihat: P.F. Lazarsfeld dan R.K. Merton, Mass Communication, Populer Taste and Organized Sosial Action, dalam Wilbur Schramm, Urbana, III, 1947). Masih dalam tulisan yang sama, keduanya memberikan ciri pada fungsi-fungsi media dalam masyarakat bahwa, "karena media massa kita yang disponsori secara komersial itu mempromosikan kesetiaan tanpa berpikir kepada struktur sosial kita, media massa ini tidak dapat diandalkan bekerja untuk perubahan, bahkan perubahan kecil pun dalam struktur tersebut."

Memang, teori 'pers bertanggungjawab sosial' ini masih relatif teori baru dalam kehidupan pers di dunia. Tidak seperti teori pers bebas (libertarian). Teori ini memungkinkan dimilikinya tanggungjawab oleh pers yang padahalnya, dengan teori ini juga pers memberikan banyak informasi dan penghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan. Sebagaimana fungsi pers sendiri yang menjadikan manusia sebagai objek informasi dalam komunikasi, selain dia harus mendapatkan informasi, disamping itu dia harus memberikan informasi kepada orang lain. Semestinya, tugas dan fungsi kontrol pers dalam ruang pemerintahan adalah masuk dibalik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintahan dan atau perusahaan (investigatif). Pers harus memberitakan apa yang berjalan dengan baik dan tidak baik. Fungsi "watchdog/anjing penjaga" atau fungsi kontrol ini harus dilakukan dengan lebih aktif dan tentunnya, tetap berpedoman pada kode etik yang diberlakukan. Sebab, media yang lebih informatif tidak akan pernah kehilangan pembaca seiring nilai kebenaran yang diberitakannya, ketimbang media yang melacur suara demi keuntungan yang berslogan terpercaya.

______________

Sumber referensi:

*https://id.m.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru
*https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_pers
*http://sejarahdoloe.blogspot.co.id/2014/04/pers-sejarah-pers-di-          indonesia.html
*Buku Jurnalisme Modern. Penulis; Saidulkarnain Ishak.
*Buku Jurnalistik, teori & praktik. Penulis; Hikmat Kusumaningrat dan       Purnama kusumaningrat.
*Buku Ilmu Negara, penulis; Prof. H. Abu Daud Busroh, S.H.
*http://pinisijuanga.blogspot.co.id/2015/11/pengguna-jalan-tersentuh-bencana-alam.html
*http://pinisijuanga.blogspot.co.id/2016/01/lambat-menangani-persoalan-sumber-air.html