" Eufemisme (Penghalusan Bahasa) terkadang dapat mengaburkan makna, sehingga makna semula tidak terwakili lagi oleh bentuk atau konsep yang menggantikannya. Pergeseran makna ini tentu akan memberikan pengaruh terhadap masyarakat sebagai pemakai bahasa"
Ketika Eufimisme Dijadikan Kepentingan
Oleh: Nurkholis Hamid
Dalam mengenal hakikat keadilan adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Dan apabila meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, maka hal itu dikatakan sebuah kezaliman. Hal ini tidak hanya berlaku pada satu hal saja, namun pada semua aspek kehidupan umat manusia. Termasuk penggunaan bahasa.
Dalam Ilmu bahasa ada yang kita kenal dengan istilah “Eufimisme” atau secara harfiah bisa diartikan sebagai “Penghalusan Bahasa”. Eufimisme pada hakikatnya sangat diperlukan oleh manusia di dalam hubungan sosialnya, terlebih lagi bagi bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang aslinya memiliki watak berbudi luhur dan penuh dengan kesopan santunan.
Oleh karena itu, dalam pergaulan sehari-hari kita lebih sering mendengar beberapa istilah halus, seperti “Kamar Kecil” untuk menyebut tempat membuang hajat, sebutan “Kurang Bagus” untuk menyebut sesuatu hal yang jelek, sebutan “Kurang Pandai” untuk seseorang yang “Bodoh”, sebutan “Kurang Banyak” untuk “ Sesuatu Yang Sedikit”, dan lain sebagainya.
Selain itu, dalam ranah psikologi, eufimisme sering juga digunakan untuk memotivasi seseorang. Eufimisme juga sering dimanfaatkan di dalam kelas - kelas hubungan antar masyarakat, etikat, kepribadian, maupun kelompok. Namun di dunia ini, segala sesuatu tentu ada sisi baik dan buruknya. Istilah populernya, "Man Behind The Gun". Tergantung siapa yang berada di belakang segala sesuatunya.
Eufimisme yang awalnya digunakan untuk hal-hal positif dalam artian, menjaga hubungan antar manusia agar menjadi lebih baik dan bijak, namun ketika diseret ke ranah politik menjadi sesuatu hal yang jahat. Misalnya politik. Sebagaimana yang kita ketahui, politik adalah seni atau cara untuk merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Didalam kekuasaan, terdapat berbagai keistimewaan yang tidak akan diperoleh seseorang atau suatu kelompok jika dia tidak berkuasa. Sebab itu, kekuasaan seringkali membuat lupa seseorang atau sekelompok orang. Jika seseorang atau sekelompok orang telah berhasil meraih kekuasaan, maka dengan cara apa pun, tak perduli halal atau haram, baik atau buruk, dengan sekuat tenaga mereka akan mempertahankan kursi kekuasaan itu. Bahkan dengan menjual keyakinannya sekalipun atau membunuh suara hati nuraninya sendiri.
Disamping itu, semakin berkembang media massa dalam suatu Negara, maka semakin banyak penggunaan eufimisme atau penghalusan kata, maka tanpa kita sadari, semakin tiranik-lah sifat dari sejumlah rezim yang berkuasa, bahkan bila penguasa tersebut menyebut sistem kekuasaannya sebagai Demokrasi, maka hal itu adalah Demokrasi - Demokrasian alias pseudo - democration. Ini merupakan hukum besi sejarah.
Dalam ranah politik, eufimisme sering kali dimanfaatkan untuk menutupi kejahatan, kebobrokkan, dan kinerja penguasa, dari rakyatnya sendiri. Dengan menggunakan eufimisme, rakyat dikelabui, ditipu, oleh penguasa dengan istilah-istilah yang terdengar bagus.
Di Indonesia, rezim yang mengawali pemanfaatan eufimisme untuk melanggengkan status quo kekuasaannya adalah rezim Jenderal Harto. Kita tentu masih ingat bagaimana penguasa menyebut “Sistem Ekonomi Pancasila” bagi sistem kapitalisme yang dianutnya. Lalu istilah “Diamankan” atau “Disukabumikan”, sebagai istilah untuk menangkap dan membunuh siapa pun yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan Jenderal Harto. Kita tentu masih ingat bagaimana “Utang Luar Negeri” disebut sebagai “Bantuan Luar Negeri”. Padahal dua hal ini sangat berbeda. Bantuan tentu tidak perlu dikembalikan, sebagaimana halnya Hibah. Namun Utang wajib dikembalikan berikut bunga dan syarat-syarat yang sangat mengikat bagi negara yang berhutang. Rezim Jenderal Harto juga sering mengistilahkan Kenaikan Harga sebagai “Penyesuaian Harga”. Lalu status Indonesia sebagai “Negara Terkebelakang”, disebutnya dengan istilah “Negara Berkembang”, dan masih banyak lagi istilah - istilah halus lainnya.
Mei 1998 Jenderal Harto memang lengser. Namun sistem kekuasaan yang dibangunnya ternyata diwarisi para penguasa setelahnya. Bahkan kian hari kian menggila dan konyol. Para penguasa tanpa malu-malu dan dengan sangat kreatif membuat istilah-istilah baru yang terdengar sangat indah di telinga namun pada hakikatnya adalah lagu lama.
“Suap” yang dulu sering disebut sebagai “Uang Pelicin”, sekarang diberi istilah keren bernama “Gratifikasi”, bahkan ada yang tanpa malu menyeretnya ke ranah pembenaran religius dengan menyebutnya sebagai “Mahar Politik”. Padahal Suap ya! tetap juga suap. Entah, apakah dengan memberi embel-embel bernuansa religi ini hati nurani bisa dibohongi?. Padahal statusnya tetap saja haram. Bangkai tetap saja akan mengeluarkan bau busuk walau disiram dengan minyak wangi berkilo-kilo liter banyaknya. Lalu kemudian, “Maling Uang Rakyat” disebutnya sebagai “Koruptor”. Dan dukun yang dari dulu sampai sekarang akrab dengan para petinggi negeri ini malah diberi dengan nama yang lebih keren lagi, bukan lagi disebut “Paranormal”, namun “Konsultan Metafisika”.
Katakan Benar Walaupun Pahit
Bagi orang yang terdidik, eufimisme mungkin tidak terlalu menjadi soal, karena mereka bisa memahami dengan baik jika “Gratifikasi” atau “Mahar Politik” itu hanyalah nama lain dari “Suap” atau “Sogokan” yang dalam Islam tentu saja ini hukumnya haram. Atau “Koruptor” itu hanyalah nama lain dari “Maling Uang Rakyat”. Namun bagi orang-orang yang tidak terdidik, apakah itu ada di kota maupun di desa, istilah-istilah itu tentu memiliki ‘suasana batin’ yang berbeda.
Sudah saatnya, media massa dan para jurnalis sebagai pejuang bahasa dituntut untuk cerdas dalam mempergunakan kata atau istilah yang sesungguhnya. “Koruptor” tulis saja sebagai “Maling Uang Rakyat”, “Gratifikasi” tulis saja sebagai “Suap”, “Penyesuaian Harga” tulis saja sebagai “Kenaikan Harga”, dan istilah-istilah halus lainnya.
Umat harus dicerdaskan dan dicerahkan. Buanglah semua eufimisme di dalam penulisan media massa, karena eufimisme hanya akan menguntungkan kepentingan penguasa dan membunuh kekritisan umat. Padahal, untuk bisa bekerja dan membangun negeri dibutuhkan umat yang kritis dan cerdas, bukan yang "Taqlid Muqoliddun".